07 July 2008

MENGAPA INTEROPERABILITAS?

Proses pengembangan e-government di Indonesia memang cukup menarik. Meskipun sudah berjalan lebih dari 15 tahun, namun strata mapan masih juga sulit diwujudkan. Sebagian besar pejabat strategis negeri ini masih melihat e-government sebagai sesuatu yang terpisah dari pemerintahan umum dan layanan publik yang sebenarnya mereka geluti selama ini. Tak heran apabila e-government di kalangan internal pemerintahan sendiri sulit berkembang, lantaran para birokratnya lebih banyak memandang e-government sebagai perangkat canggih mahal dan sulit, bukan sebagai sesuatu yang bisa memudahkan mereka mengelola negeri ini.

Pemikiran skeptis dari sisi internal seperti itu menyebabkan publik juga memandang rendah kemampuan pemerintah menjalankan Teknologi Informasi bagi kepentingan publik. Padahal berbagai produk pemerintah yang kurang mengoptimalkan Teknologi Informasi berdampak pada gejolak dalam masyarakat, seperti ketidakpercayaan masyarakat dan kalangan implementator dalam pemerintah sendiri terhadap data pemilih Pemilu, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan lain-lain. E-government yang semestinya mampu menjadi jembatan koordinasi lintas sektoral untuk menghasilkan nilai tambah yang luar biasa, justru dihancurkan oleh ego sektoral yang barangkali dibijaksanai oleh pengambil kebijakan yang gagap teknologi.

Ego sektoral yang menghasilkan belanja Teknologi Informasi dan e-government sektoral menghasilkan produk sektoral pula. Namun kenyataan tersebut tidak serta merta menjadi tanggungjawab sektoral lembaga pemerintah yang bersangkutan. Pengembangan e-government yang tidak dilandasi dokumen perencanaan komprehensif dan standarisasi e-government lintas sektoral menyebabkan produk e-government Indonesia sangat variatif, mulai dari sisi pemilihan teknologi, bisnis proses, hingga duplikasi kewenangan dan database.

Kondisi yang serba terlanjur tersebut beresiko terhadap biaya tinggi dalam integrasi e-government. Karena itu kebijakan interoperabilitas yang saat ini sedang disusun oleh Depkominfo menjadi angin harapan untuk menghasilkan e-government yang bertanggungjawab dan mumpuni di Indonesia, dalam waktu yang tidak terlalu lama.

E-government Indonesia

Kenyataan menunjukkan bahwa e-government Indonesia itu kaya akan aplikasi-aplikasi e-government berikut perangkat keras dan IT network pendukungnya. Antara lain :

- Saat ini, hampir tidak ada Pemerintah Kabupaten yang tidak menjalankan komputerisasi untuk layanan kependudukan. Bahkan IT Network pun sudah tergelar pada beberapa bagian Pemerintah daerah. Namun untuk memperpanjang KTP antar kabupaten di satu provinsi pun belum bisa dijalankan.

- Saat ini, Kantor One Stop Service sudah beroperasi di banyak Pemerintah daerah, bahkan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi canggih, namun untuk melakukan investasi, para investor masih dihadapkan pada banyaknya variasi regulasi dan tarif antar Pemerintah daerah.

- Saat ini, meskipun Dinas kependudukan sudah mengelola data dan informasi kependudukan yang diklaim cukup valid, namun Dinas-Dinas lain masih enggan memanfaatkannya untuk menopang aplikasi sektoral mereka. Mereka lebih suka melakukan entry data penduduk/warga melalui aplikasi sektoral mereka. Seperti data siswa sekolah, data pasien, data tenaga kerja, data pegawai, dan lain-lain, yang notabene data-data tersebut sudah ada pada server kependudukan Dinas Kependudukan. Tidak heran bila jumlah penduduk menjadi banyak versi. Bahkan data PNS dan honorer negeri ini pun pun lebih dari 2 versi.

- Saat ini, dinas pertanian, perikanan/kelautan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan lain-lain, melalui aplikasi e-government sektoral mereka telah menghasilkan banyak informasi yang luar biasa. Namun informasi-informasi tersebut hanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan dinas tersebut sendiri. Belum terbangun sharing informasi sehingga dapat dimanfaat bagi kepentingan kantor pemerintah lain, seperti bagi kepentingan perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan lainnya.

Permasalahannya menjadi lebih rumit ketika kesadaran untuk bersinergi menjalankan negara ini melalui e-government mulai tumbuh, maka bervariasinya teknologi dan arsitektur melahirkan kendala baru.

Munculnya teknologi interoperabilitas menjadi jawaban atas kendala aneka ragam teknologi e-government Indonesia. Interopeabilitas meungkinkan integrasi e-government dapat diwujudkan tanpa harus melakukan penyeragaman teknologi, baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya, seperti apa yang telah dijalankan melalui kebijakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang telah berjalan dengan relatif terseok-seok selama ini.

Service Oriented Architecture

Implementasi interoperabilitas e-government melalui pendekatan Service Oriented Architecture (SOA) memungkinkan sharing informasi produk aplikasi e-government dapat dilakukan tanpa memberi akses langsung ke database kepada pihak yang memanfaatkan informasi tersebut. Pihak pengakses informasi (aplikasi e-government Kantor pemerintah lain) dapat memanfaatkan informasi dalam bentuk service (layanan) yang disediakan oleh aplikasi e-government yang sudah mendukung konsep interoperabilitas.

Secara teknis SOA memisahkan antara pesan/query/call dengan pemrosesan databasenya. dengan demikian, wilayah privat dan wilayah publik akan terpisah secara tegas. Bagian privat hanya dapat diakses oleh penanggungjawabnya, sementara bagian publik dapat diakses oleh siapa pun, yang berupa deskripsi tentang layanan yang disediakan. Supaya Pesan/Query/call tersebut dapat diterima oleh siapa pun, maka harus disusun berdasarkan standar tertentu tanpa mengkaitkannya dengan produk Teknologi Informasi tertentu.

Sebagai contoh praktis, Sistem Informasi Kependudukan yang secara tegas merupakan tanggungjawab Dinas Kependudukan dapat menyediakan service kepada publik : informasi data series Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, kelompk umur, pekerjaan, dan lain-lain. Sedangkan untuk kepentingan antar lembaga pemerintah, service tersebut dapat diperluas dengan pemberian informasi lebih banyak seperti nama penduduk, usia, nomor Kartu Keluarga dan lain-lain, sehingga Dinas Kesehatan misalnya, dapat memanfaatkannya untuk membangun informasi kesehatan keluarga bagi berbagai kepentingan.

Melalui sharing informasi tersebut, suatu data pokok, seperti data penduduk misalnya dapat dilengkapi berbagai atribut yang berkaitan dengan kehidupannya. Misalkan, seseorang dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tertentu, dapat dilengkapi atributnya oleh Dinas Kesehatan dengan catatan medik/rekam medik, oleh Dinas pendidikan dengan atribut edukasi secara series, oleh Dinas Tenaga Kerja dengan atribut pekerjaan, dan lain-lain. Maka, Pemerintah akan menghasilkan data yang luar biasa, dan menjadi serba tahu tentang warganya.

Interoperabilitas e-government lahir sebagai dampak dari meningkatnya kebutuhan komputasi yang makin kompleks. Namun pada saat yang bersamaan, muncul tuntutan akan independensi dan keterkaitan yang relatif rendah antar aplikasi. Secara empiris kita harus mengakui, bahwa terlalu sulit membangun satu aplikasi e-government yang mampu menampung semua data negara. Struktur kenegaraan pusat dan daerah membangun sektoralisasi dengan harapan profesionalisme. Namun demikian, kekakuan struktur tersebut bukan berarti berbagi informasi menjadi sesuatu yang tabu.

Oleh karena itu, setiap lembaga pemerintah silahkan membangun aplikasi e-government sesuai wilayah kerjanya masing-masing. Namun jangan sampai semangat berbagi informasi, baik untuk kepentingan publik maupun kepentingan internal kenegaraan sebagai sesama penyelenggara negara, menjadi terlupakan.


(Dimuat di Biskom edisi Juli 2008)

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...