29 December 2008

Menyoal Fatwa Haram jadi Golput

Bangsa kita ini aneh ya. Demikian lamanya kita diatur oleh partai. Dikungkungi oleh partai. Mereka merendah-rendah, bahkan rela berdebu-debu, berbasah-basah, kotor-kotor bersama masyarakat yang bermimpi indah bahwa orang yang mereka banggakan itu akan mampu mengangkat martabat mereka. Setelah pemilu selesai, maka mereka lupa dengan rakyatnya, yg dulu rela berkorban materi, waktu, tenaga, perasaan, bahkan rumah mereka dirusak massa pendukung partai lain, rela menggunakan uang keluarga, dan jadi miskin demi partai.
Partai dan jadi anggota legislatif pun, menjadi pekerjaan yang tiada tandingannya. Dulu, tidak ada yg berani ungkap korupsi di legislatif. Puncaknya di era 2000-an. Mereka bak penguasa. Bikin aturan macam-macam yang beberapa diantara ditujukan untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk bisa memperkaya diri. Termasuk meningkatkan kesejahteraan sendiri. Sejak 1998, gaji legislatif meningkat lebih dari 400%.
Kehadiran KPK membuat kesombongan mereka pudar. Bahkan, mereka berusaha menghambat regulasi-regulasi yang membuat KPK makin ampuh. Mengapa? jelas, kan?

Jadi, wajar kan rakyat tidak percaya pada partai lagi? Wajar kan kalau rakyat tidak mau menanggung dosa, karena memilih seorang anggota legislatif yg kemudian korup? Iya, barangkali tidak bisa digeneralisir. Tapi sulit untuk menentukan siapa yang tidak korup. Bukankah "kekuasaan itu cenderung korup?" dan legislatif bangsa kita sudah memberi contoh nyata. Mohon maaf, kepada Anggota Dewan Yth., Adakah yang ingin mengakukan diri tidak pernah korupsi? (termasuk korupsi absen lho). Saya sangat menghargai yang demikian ini.

Iya... iya, bukan hanya legislatif yang korup. Semua lembaga negara juga punya kecenderungan untuk korup. tapi topik kita kali ini adalah legislatif. jadi, kita diskusikan yang satu ini dulu, ok?

Kembali ke topik. Alhasil, rakyat sudah tidak percaya dengan lembaga legislatif, dan kuat dorongan untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu/pilkada. Lalu, tiba-tiba muncul wacana bahwa MUI akan memfatwakan "Golput adalah haram!". Lho kok?

COba kita jujur, Yang bermasalah sebenarnya siapa? Bukankah partainya yang bermasalah? Bukan pemilihnya?
Jadi, sebaiknya, sebelum MUI men-teror rakyat yang notabene pemilih sejati, MUI bikin fatwa bahwa berniat untuk menjadi anggota legislatif, dengan menghalalkan segala cara, dengan menipu orang lain, dengan niat untuk memperkaya diri dengan cara yang ilegal dan "legal", dan lain-lain yang jelek-jelek adalah HARAM.

Rakyat tidak berdaya dengan sistem presidensiil dan model regulasi pemilu saat ini. Fatwa Mahkamah Konstitusional (MK) barangkali membantu rakyat untuk sedikit mempercayai partai. Namun itu saja tidak cukup. Kita semua tahu, nomor urut dalam daftar caleg itu mahal. Tidak sedikit caleg yang mengeluarkan banyak uang supaya dapat nomor urut 1. Termasuk menjegal teman se-partai sendiri.
Jadi, apa yang akan dicari kalau bukan untuk mengembalikan modal? Apalagi bila modalnya dapat dari hutang! Tidak heran, banyak partai yang lantang menentang, karena sudah terlanjur menerima "sesuatu" dari para caleg nomor urut atas. Hayooooo.... ngaku :P

Sekali lagi, ini bukan generalisasi. Ada kok yang barangkali jujur ingin jadi anggota legislatif dengan niatan mulia. Ayo, ngacung dan respon di blog ini dengan identitas jelas. Supaya rakyat yang menilai, jangan menilai diri sendiri!

Kembali ke soal sistem kenegaraan yang tidak memberi kesempatan kepada rakyat untuk turut menentukan kualitas para wakil rakyatnya. Jadi, pilihan rakyat memang hanya satu, yaitu "Tidak memilih". Menurut mereka, salah satu alasannya adalah: Tidak ada yang layak untuk dipilih.
Misalkan, jadi MUI keluarkan fatwa haram untuk Golput, maka tidak sedikit rakyat yang akan datang ke bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS), tetapi tidak melakukan : contreng, coblos, atau apa pun bentuk untuk memilih. Sekedar supaya terlihat di TPS dan terabsen hadir memberikan suara. Maka, apakah mereka ini bukan Golput?

Bukankah sebenarnya, tidak memilih itu juga berarti pilihan? Harusnya dihargai dong. Itu kan bagian dari hak berdemokrasi. Silahkan saja kalau mau diasumsikan bahwa: 'Tidak memilih, maka harus ikut pada pilihan terbanyak'. Bukan masalah kok. Lebih baik jadi penonton dan diam saja, daripada ikut menanggung dosa. Setidaknya itu salah satu hal yang ada dibenak para golputer.

Yup, si Oneng bernah berkata, "untuk bisa memperbaiki partai, sebaiknya masuk dan memilih partai yang dianggap baik". tapi, benar begitukah aturan main partai? Hehehehe...... jelas tidak. Rakyat ya tetap rakyat. Tidak bisa memperbaiki partai, kecuali para pengurusnya. Dan, untuk jadi pengurus, bukan hal yang mudah. Bila pun ada yang menjadi pengurus dan jujur, maka dia tidak punya arti, bila hidup di sarang penyamun.
Sorry, bukan berarti saya menilai semua partai adalah penyamun. Barangkali ada kok, partai yang bukan penyamun. Penyamun atau tidaknya, bisa dilihat dari perilaku para pengurusnya. Iya nggak? Rakyat tetaplah rakyat. Penguasa tetap saja penguasa. Ada beda yang jelas diantaranya.

Oneng, "Berubah". Mengapa? Mana jiwa lugu kamu?

Jadi, kalau meng-counter Golputer (orang yang golput, maksudnya) dengan mengajak mereka menjadi member partai, punya kartu partai dan memilih partai dalam pemilu, itu bentuk himbauan yang konyol. Sekedar bahasa politik untuk mencari dukungan dengan 'kata (yang seolah-olah) bijak'. Jelas ada maksud dibalik itu. Dan kita patut curiga ada apa dibelakang statement tersebut. Rakyat Golput sudah bosan dengan kata-kata konyol seperti itu. Ayo, Neng, suarakan saja isi hatimu.....

bahkan, statement seperti itu cenderung berniat memojokkan golputer, dengan menempatkan golputer sebagai sebuah kelompok yang salah. Lagi-lagi rakyat jadi kambing hitam. Padahal sebenarnya, mereka Golput karena kelakuan partai yang salah. Jelas, hingga saat ini, hampir tidak ada partai yang berusaha mengubah perilakunya untuk meyakinkan bahwa partai mereka bisa menjadi solusi tepat, dibawah sumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, partai tetaplah partai, dengan segala loyalitas pada kepentingan. Bahkan, Partai yang mengaku berlandaskan agama pun, tertangkap KPK dengan bukti nyata. Bahkan diantaranya dengan kuitansi yang bertuliskan nama tokoh besar partai (yang dulu pernah) besar.

Iya deh, itu sekedar contoh kecil. tapi justru itulah, banyak kasus yang belum (atau tidak) terungkap/diungkap. Mengapa? lagi-lagi, kalau kita menuntut kejujuran pengurus/anggota partai, kita harus mencari bukti sendiri. Mana bisa rakyat melakukan itu. Itu bagian yang membuat makin kuatnya golputer.

Jadi, sebaiknya MUI berpikir lagi. Barangkali memang Golput tidak baik bagi demokrasi. Tapi jangan jadikan itu haram. Sebaliknya, sebaiknya MUI meng-edukasi para Caleg dan fungsionaris partai. Tanamkan kepada mereka bahwa kelakuan buruk oknum partai (oknum itu kan sebagian kecil ya, kalau sebagian besar namanya apa?) dapat menyebabkan kehancuran bangsa ini, demokrasi ini, silaturahmi ini.

Bila partai di Indonesia sudah murni bernafaskan moril yang terbaik, tapi rakyat masih saja Golput, nah, barangkali saat itu fatwa HARAM GOLPUT bisa diwacanakan kembali. Ini yang sakit partai nya, kok rakyat yang diintimidasi! Maaf, jangan samakan golputer dengan babi. (Sekali lagi maaf bila ini terlalu kasar. Lama sekali saya coba cari kalimat yang lebih halus). Golputer itu, tidak sedikit diantaranya adalah umat islam yang sangat taat beribadah.
Astagfirullah....

Semoga tulisan ini dapat membangun diskusi yang lebih nyaman, meski kita berbeda pendapat. Kita sepakati untuk tidak harus sepakat. Karena, Allah juga mengijinkan perbendaan pendapat. Yang pasti, diskusi kita sebaiknya diarahkan pada dataran yang menjunjung tinggi silaturahmi dan martabat umat. Thanks

2 comments:

endarto said...

assalamualaikum....
saya setuju banget ma pendapat mas ibenk ini... jika MUI mendasarkan fatwanya pada dalil bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib, sebagaimana hadits yang menyatakan bahwa jika ada 3 orang di antara kamu kalian harus memilih salah satunya menjadi pemimpin...saya keliatannya fatwa haram itu menjadi sesuatu yang "masuk akal". tetapi jika kita melihat lebih jauh tentang mekanisme pemilihan pemimpin yang sesuai syariat (Islam), tentu kita harus berpikir ulang. diakui atau tidak, negara kita adalah negara sekuler. sistem demokrasi sendiri memang bersumber dari sekulerisme. di sinilah letak kejanggalan fatwa itu. kita kita sepakat menjalankan sistem sekuler itu, kenapa jadi memakai hukum agama untuk mengaturnya??? kalau mau, sekalian aja terakan syariat di seluruh aspek bernegara ini. apa bisa?? bisa! bangsa romawi dulu saja bisa menerapkan hukum kristen untuk mengatur negaranya.
seharusnya banyaknya golput ini bisa menjadi shock terapi bagi para "pemimpin" bangsa ini, ini lah bukti bahwa kepercayaan masyarakat sudah begitu rendah, apatis bahkan mungkin putus asa. ibarat dalam pewayangan, ganti pemimpin cuma ganti "buta" aja.
Trus lagi, mohon maaf kepada para caleg, apakah kita sebelumnya kenal mereka?? bahkan satu desa pun belum tentu mengenal mereka. terus tiba2 saja mereka berlagak seperti artis, minta dukungan sana-sini. boleh2 saja, tapi kita semua juga tau, apa sih yang ada mereka cari dengan menjadi caleg itu. di sinilah rakyat semakin enggan untuk memberikan suaranya. akibanya, politik uang pun menjadi tren yang susah trbendung. padahal dengan demikian, tidak ada lagi pertanggungjawaban caleg setelah menjadi anggota legislatif kepada para pemilihnya, karena suara mereka suda DIBELI.
di negara kita, memilih adalah HAK. dan ketika orang itu tidak mengambil haknya, apakah dia BERDOSA? atau sebalaiknya, dengan memilih itu kita BERPAHALA? bukankah demikian hukum halal haram?

AnTYoX said...

saat ini bangsa kita sudah menjadi negara sekuler. banyak sekali pemikiran yang tidak mutlak benar, bahkan banyak sekali pemikiran yang akan saling bersinggungan dengan pemikiran lain. banyak kasus yang menjadikan suara terbanyaklah yang menang padahal merugikan suara yang sedikit. dimana kebenaran itu?

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...