02 May 2012

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidang Kabinet akhir tahun 2011 yang lalu di Bogor. Hanya saja rencana penyelesaian masalahnya selalu klasik, Pembinaan mental SDM Birokrat, ESQ, pembuatan SOP konvensional dan strategi Reformasi Birokrasi Klasik lainnya.
Bukan berarti mengesampingkan atau mengabaikan cara-cara tersebut, namun opsi canggih yang sebenarnya sudah dilakukan oleh birokrat di banyak negara, tetap tidak menjadi perhatian, yaitu e-Government. Dunia telah berubah. Pemerintahan di banyak negara pun tidak khawatir untuk menjadikan Teknologi Informasi sebagai salah satu backbone pemerintahan.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya pemanfaatan e-Government sudah cukup masif, termasuk di kalangan pemerintahan. Tak terkecuali para birokrat yang digenggamannya terdapat Teknologi Informasi dan Komunikasi. Namun dominasi birokrasi konvensional yang tradisional tetap saja kuat dipertahankan. Bila kita lihat pengalaman kita dalam mengatur negara, maka regulasi dan SOP menjadi salah satu langkah efektif.
Kita merasakan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah KPK lahir. Bukan hanya karena ada KPK, namun regulasi dan aturan-aturan yang dilahirkan menjadi “pagar listrik” yang cukup efektif dalam mencegah dan menindak pelanggaran. Kultur negatif dapat diatasi dengan aturan dan sangsi yang tegas. Birokrasi mestinya bisa melihat pengalaman ini. Disamping sisi moral dan SOP konvensional yang relatif mudah “diakali” oleh sistem, perlu dikembangkan sistem informasi yang memastikan suatu rule tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan pihak-pihak yang berniat jahat.

Ok, rasanya sampai titik ini kita sepakat untuk mengkompilasi birokrasi dengan Sistem Informasi pemerintahan yang efektif dan menyeluruh, tidak cukup setengah hati. Namun mari kita lihat status pengembangan e-Government di Indonesia saat ini. Hingga saat ini pengembangan e-Government kita masih mengandalkan Instruksi Presiden nomor 3 Tahun 2003 tentang Strategi dan Kebijakan e-Government.
Beberapa regulasi yang muncul setelahnya juga tidak banyak, diantaranya Peraturan Menteri (Permen) Kominfo tentang kelembagaan yang kemudian dimentahkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permen Kominfo nomor 28/PER/M.KOMINFO/9/2006 tentang Penggunaan Nama Domain .go.id.
Kenyataannya regulasi-regulasi tentang e-Government tersebut tidak dapat berbuat banyak, terutama karena ketidaktegasan regulasi tentang pengelolaan pemerintahan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Tidak ada panduan yang tegas tentang bagaimana pemerintahan dibentuk dan dijalankan berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, sebaliknya justru dibiarkan tanpa bentuk dengan alasan otonomi daerah. Paradoks dari “kebijakan” tersebut adalah, justru Kementerian/Lembaga Pusat dan Pemerintah Daerah menuntut adanya kebijakan tegas tentang program Reformasi Birokrasi berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi ini.
K/L/Pemerintah Daerah mulai menyadari, bahwa tanpa kepemimpinan nasional yang kuat, tujuan implementasi e-Government tidak akan terwujud.

Up Date Kebijakan Nasional 
Inpres 3/2003 disusun untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dan berdasarkan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi pada masa itu. Era di mana Sistem Informasi belum terlalu kompleks, tidak terintegrasi bahkan terkesan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi masih “eksklusif” di kalangan birokrat.
Pada masa itu belum dikenal teknologi Cloud Computing, Service Bus, website 2.0, interoperabilitas Sistem Informasi, bahkan belum mengakomodir kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika di bidang software legal, open source dan Open Government. Setelah lebih dari sewindu, sudah selayaknya Inpres 3/2003 disesuaikan dengan kondisi aktual. Ini menjadi urgent bagi bangsa ini, terutama bila dihadapkan dengan statenment Presiden SBY yang menilai bahwa birokrasi cenderung sangat lambat mereformasi diri.
Di sisi lain, seluruh K/L/Pemerintah Daerah telah membangun sendiri-sendiri e-Government mereka, tidak terintegrasi. Tidak sedikit diantaranya didasari sebagai proyek tanpa idealisme untuk mewujudkan good-government governance.

Salah satu faktor utama tidak efektifnya birokrasi adalah terkotak-kotaknya birokrasi nasional oleh struktur kewilayahan dan Kementerian/Lembaga. Bahkan dalam satu Kementerian pun ditemukan perilaku disintegrasi. Kebuntuan ini mesti dan harus dipecahkan melalui keputusan politis nasional. Tidak cukup hanya mengandalkan Reformasi Birokrasi Terkotak-kotak, atau hanya diserahkan secara “gerilya” pada masing-masing K/L/Pemerintah Daerah.
Melalui regulasi/kebijakan nasional inilah e-Government masuk menjadi solusi integrasi yang efektif untuk menyikapi besarnya negeri ini, ego sektoral K/L/Pemerintah Daerah dan menjembatani kepentingan publik untuk dilayani. Ketegasan nasional tersebut diperlukan, salah satunya untuk mengatasi kesulitan masyarakat, dunia usaha, bahkan koordinasi internal antar lembaga pemerintahan sendiri, sementara kita mengaku sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Satu hal yang simple saja, bahkan aturan yang mewajibkan Sistem Informasi e-Government saling terhubung antar K/L/Pemerintah Daerah pun tidak ada. Bagaimana layanan satu pintu nasional dapat diwujudkan? Barrier wilayah dan sektoral pemerintahan ala pusat mestinya tidak menjadi alasan suatu layanan pemerintah bagi publik terhambat.
Jelas ini perlu kemauan besar dan serius untuk merubah. Infrastruktur e-Government Kekecewaan Presiden terhadap birokrasi mestinya disikapi dengan penanganan extra-ordinary oleh setiap pihak. Upaya melalui UKP4 dengan fokus-fokus pada program-program tertentu, terbukti kurang komprehensif dan solutif. Kondisi telah darurat.
Pilihannya, biarkan saja berjalan secara alami menuju perubahan yang terbukti memerlukan waktu sangat lama, atau Presiden dengan hak prerogatif-nya mengambil kebijakan cepat melalui pembenahan-pembenahan. Regulasi-regulasi yang tidak pro integrasi Sistem Informasi e-Government nasional harus dievaluasi dan sesuaikan.
Beberapa regulasi nasional, seperti regulasi tentang administrasi kependudukan, badan usaha, keimigrasian, dan lain-lain, menutup atau sangat membatasi, kalau tidak ingin disebut dengan mempersulit, integrasi e-Government nasional. Atau setidaknya “kebijakan pejabat” nya tidak mengijinkan integrasi data dan Sistem Informasi antar pemerintahan dengan berbagai alasan.
 Disamping regulasi dan Tata Kelola e-Government nasional, Pemerintah perlu bekerja paralel dengan menyiapkan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk kepentingan NKRI, seperti Government Cloud Computing, Government Secure Network dan Government Service Bus.
Teknologi tersebut urgent diadakan untuk menjawan in-efektifitas, in-efisiensi hingga perilaku tidak aman dalam pengelolaan data dan informasi milik Pemerintah yang selama ini dilakukan oleh K/L/Pemerintah Daerah. Contoh sederhana dari perilaku tidak produktif ini terlihat dari besarnya belanja infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi hingga duplikasi belanja software. Setiap pengadaan Sistem Informasi, selalu belanja server dan infrastruktur pendukung lainnya. Negara ini juga diketahui membelanjakan Sistem Informasi Kepegawaian berkali-kali, misalnya. Dan diperparah dengan tidak adanya peluang untuk wajib terintegrasi.
Selalu ketiadaan aturan yang menjadi alasan, justifikasi legal. Siapa yang dapat membantah? Sehingga, kesadaran atau kemauan birokrat per birokrat dengan posisi strategis yang memungkinkan integrasi birokrasi dengan dukungan e-Government selama ini dapat terjadi. Oleh karena itu, layanan infrastruktur e-Government nasional baik bagi kepentingan layanan internal maupun ekternal pemerintah urgent untuk diadakan. SDM dan kelembagaan juga perlu serius diperhatikan.

Bila birokrasi menjadi biang masalah dan Teknologi Informasi dan Komunikasi dianggap sebagai salah satu cara strategis, maka e-Government mesti menjadi pokok perhatian. Pemerintah juga perlu menunjuk, siapa pengelola informasi di tingkat nasional, K/L hingga tingkat Pemerintah Daerah dalam kerangka Indonesia Government Chief Information Officer (G-CIO). Tidak seperti saat ini, Dinas atau fungsi Kominfo di daerah diposisikan sebagai lembaga yang sunah untuk diadakan.

Serius? 
Statement Presiden tentang kondisi birokrasi yang kurang mendukung pembangunan nasional dan tawaran solusi melalui pembenahan e-Government hanya akan menjadi lips service tanpa adanya konsistensi dukungan finansial nasional bagi e-Government itu sendiri. Status pengembangan e-Government saat ini sudah dikembangkan secara silo-silo oleh K/L/Pemerintah Daerah.
Pemerintah perlu menyusun puzzle ini untuk menjadi satu sistem yang terintegrasi, untuk menghasilkan birokrasi pemerintahan yang baik. Presiden secara tidak langsung telah menetapkan status darurat birokrasi. Eksistensi birokrasi sebagai penghambat pembangunan merupakan kondisi yang berbahaya dan perlu diatasi segera.
Bila Teknologi Informasi dan Komunikasi memang akan dijadikan opsi reformasi dalam birokrasi, maka perlu kerja keras menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur e-Government. Regulasi yang jauh tertinggal dengan perkembangan teknologi, kemampuan SDM, pembiayaan yang tidak konsisten, kelembagaan, infrastruktur dasar dan teknologi dasar e-Government dan aplikasi yang tidak terintegrasi serta terkotak-kotak dalam struktur wilayah dan sektor pusat masih membayangi. Dapat dikatakan, kondisi pengembangan e-Government pun belum dapat diandalkan untuk dijadikan “skoci penyelamat” kondisi birokrasi. Masterplan, blueprint atau skema nasional pengembangan e-Government yang terintegrasi pun belum ada. Ini perlu kerja keras dan kerjasama seluruh kalangan bangsa ini untuk mewujudkannya.

Penyerahan pengembangan e-Government secara desentralisasi penuh tanpa kendali/arahan & tujuan nasional yang jelas selama ini dijalankan terbukti tidak menghasilkan birokrasi nasional yang kuat, sehingga perlu ada komitmen nasional. Keluhan Presiden SBY tersebut sebenarnya kembali kepada Presiden sendiri. Berniat mengatasi dengan memimpin langsung perubahan kulturan birokrasi tradisional menuju birokrasi modern melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi, berdiri dan melangkah memimpin sebagai Panglima e-Government, atau keluhan itu hanya akan menjadi konsumsi media selama sepekan dua pekan dan hilang begitu saja, tanpa ada perubahan sama sekali.

(Dimuat di Biskom edisi Maret 2012)

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...