17 January 2008

Keuntungan E-Government bagi Rakyat

Sampai tahap sekarang ini sebagian besar komponen pemerintahan mengoperasikan E-Government lebih bagi kepentingan internal pemerintahan atau komunikasi yang cenderung lebih banyak satu arah kepada rakyat. Meski ber-milyard dana rakyat telah dibelanjakan, namun rakyat belum banyak memperoleh kemudahan dan bantuan solusi dalam pelayanan umum secara signifikan.

Pemahaman yang sempit juga masih dianut oleh sebagian besar satuan pemerintahan, bahkan pada level pemerintahan pusat, sehingga tidak jarang ada suatu award E-Government namun dengan tolok ukur penilaian hanya dari sisi performa dan feature-feature website atau website portal-nya saja. Hampir tidak menyentuh kombinasi back office dan front office yang menjadi inti dari E-Government. Bahkan belakangan ada sebuah acara E-Government award yang diidentikkan dengan website Pemerintah Daerah, dimana substansi penilaiannya didasarkan dari banyak sedikitnya kiriman SMS, bukan dari sejauh mana produk E-Government itu mampu mengakomodir kepentingan Pemerintah dan masyarakat serta implementasi pelayanan umum. Kelihatannya E-Government mulai dilirik sebagai sebentuk entertainment baru.

Kesalahan persepsi dan kelemahan pemahaman serta penguasaan manajemen dan teknis Information and Comunication Technology dan E-Government menyebabkan ternyadinya foya-foya anggaran pemerintahan bagi pembangunan E-Government yang tidak jarang hanya menghasilkan website, sebuah software pengganti brosur plus, bahkan belum berfungsi sebagai front office. Tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan, terutama dengan masih banyaknya keluhan Pemerintah Daerah berkenaan dengan rendahnya komitmen pimpinan dan terbatasnya anggaran bagi pengembangan E-Government.

Lalu apa yang sebenarnya menjadi tuntutan rakyat dengan implementasi E-Government ini? Apakah rakyat hanya perlu membaca brosur online yang dikemas dalam teknologi canggih bernama website? Ataukah rakyat ingin segala keperluan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah dapat diselenggarakan secara mudah, murah dan cepat? Seberapa penting koordinasi dikedepankan mengalahkan ego sektoral yang justru merugikan rakyat? Mampukan E-Government memperkecil peluang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ? Bagaimana bila pelayanan publik diselenggarakan tanpa E-Government?

Proses birokrasi pada dasarnya berlaku pada dua kondisi, pertama dari sudut pemerintah, dimana terjadi satu Satuan Kerja/Departemen yang harus berhadapan dengan banyak orang (one departemen, many citizen), dan kedua, dari sisi publik dimana masyarakat harus menuju dari satu meja ke meja yang lain, bahkan dari satu Satuan Kerja ke Satuan Kerja lain (one citizen, many point of contact). Setiap proses tentu saja memerlukan sebuah biaya, baik langsung maupun tidak langsung.

Skema 1















Skema 2








Pada skema 1 terlihat bahwa masyarakat harus berinteraksi secara langsung dengan Sakter/Dinas/Departemen dan birokrat-birokrat untuk memperoleh layanan umum, meskipun dibelakang mereka telah dibangun Sistem Informasi E-Government. Keterlibatan birokrat yang notabene juga manusia dengan gaji rendah dan rawan moril memiliki tingkat kerawanan tinggi terjadinya KKN. Hal berbeda akan terjadi bila publik secara tidak langsung berinteraksi dengan birokrat, namun dijembatani dengan sebuah Sistem Informasi E-Government terintegrasi. Publik tidak harus lagi berjalan dari satu meja ke meja yang lain, kecuali pada pendataan awal.

Melihat bahwa rakyat telah membayar pajak yang ternyata menjadi salah satu penopang utama berlangsungnya penyelengaraan negara ini, maka selayaknya rakyat memproleh pelayanan terbaik. Namun kondisi negara ternyata membangun toleransi rakyat, sehingga rakyat tetap rela mengeluarkan biaya bagi pelayanan umum yang diselenggarakan oleh para abdi negara dan abdi masyarakat. Pada kenyataannya kembali rakyat dikalahkan oleh sebuah kondisi yang menuntut rakyat mengeluarkan dana ekstra agar pelayanan publik terbaik yang menjadi hak mereka ini dapat berlangsung dengan mudah dan cepat, meski tidak murah dan harus mau bertepuk tangan melanggengkan KKN demi segera beresnya urusan mereka.

Tidak sedikit pimpinan pemerintahan, terutama di daerah yang menikmati pelayanan umum melalui proses konvensional meski ditopang perangkat dan infrastruktur Teknologi Informasi. Bila dilihat ternyata banyak pelayanan umum yang sudah computerize, namun tidak sedikit yang hanya mengotomatiskan proses manual dengan sistem informasi yang tidak transparan dan memiliki kekuatan hukum timbal balik, misalnya kompensasi yang berhak diterima masyarakat atas keterlambatan penerbitan dokumen publik mereka. Sistem Informasi pelayanan publik pun tidak terintegrasi, sehingga masyarakat tetap harus mengulangi proses yang sama untuk layanan yang berbeda, seperti masyarakat harus menempuh 2 birokrasi yang sama dari tingkat RT s/d Kecamatan untuk proses pembuatan KTP dan pendaftaran tenaga kerja di kantor tenaga kerja pemerintah.

Mari kita menghitung berapa uang rakyat yang harus dikeluarkan untuk proses birokrasi yang tidak ditopang dengan E-Government dengan permisalan pembuatan KTP di daerah. Proses ini diawali dengan verifikasi penduduk di tingkat RT, RW dan kelurahan yang menghasilkan surat keterangan benar-benar warga masyarakat atau penduduk setempat. Selanjutnya dokumen harus dibawa sendiri oleh masyarakat ke Kecamatan dan membayar biaya resmi KTP dan biaya lain-lain sukarela. Biaya administrasi sukarela ini biasanya disangkal, dan memang sulit dibuktikan. Kecuali pada tingkat RT yang pada beberapa tempat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat langsung. Maka hitung-hitungan matematikanya adalah :

Birokrasi/keperluan

Biaya

Keterangan

Administrasi RT

Rp. 1.000,-

Sukarela

Administrasi RW

Rp. 2.000,-

Sukarela

Administrasi Kelurahan

Rp. 2.000,-

Sukarela

Biaya KTP

Rp. 5.000,-

Resmi

Lain-lain sukarela

Rp. 2.500,-

Supaya urusan cepat tuntas

Biaya perjalanan

Rp. 2.500,-


Jumlah

Rp. 15.000,-

Berlaku juga untuk perpanjangan

Rakyat seharusnya hanya menanggung beban pembuatan KTP sebesar Rp. 5000, namun pada kenyataannya terjadi selisih biaya sebesar Rp. 10.000,- Apabila dalam satu hari terjadi 250 proses pembuatan KTP baru maupun perpanjangan, maka :

250 x Rp. 10.000,- = Rp 250.000,-

è Rp. 250.000 x 25 hari kerja sebulan = Rp. 6.250.000

è Rp. 6.250.000 x 12 bulan = Rp. 75.000.000,-

Apabila kita asumsikan prosedur birokrasi dengan biaya yang sama untuk 10 layanan pemerintah setiap hari, maka diperoleh hasil :

Rp. 75.000.000 x 10 = Rp. 750.000.000,- (setahun)

Secara nasional è 400 kab/kota x Rp. 750 juta = Rp. 300 Milyard pertahun (Fantastis). Sebuah nilai yang lebih dari cukup untuk membangun Sistem Informasi E-Government terintegrasi nasional.

Nilai tersebut adalah jumlah beban yang ditanggung rakyat dari konsekuensi tidak diterapkannya E-Government secara tepat dengan nilai pesimistis. Untuk wilayah jawa tentu akan lebih besar.

Komponen perjalanan menjadi sangat relatif karena pada beberapa daerah komponen biaya perjalanan lebih besar dari biaya resmi pelayanan umum itu sendiri, seperti pada daerah-daerah terpencil. Jumlah pengguna layanan juga sangat relatif, sehingga hanya daerah sendiri atau wakil-wakil rakyat yang bisa menghitung berapa biaya informal yang sudah ditanggung rakyat yang taat membayar pajak, yang tidak jarang diperlakukan tidak adil dalam mengurus dokumen publik mereka sendiri. Nilai yang cukup untuk membangun sebuah Sistem Informasi E-Government terintegrasi dan membantu mewujudkan good governance.

Upaya mengotomatiskan proses manual melalui penggunaan komputer cukup membantu proses pelayanan umum, namun tidak menjamin mampu menekan biaya informal publik karena Sistem Informasi E-Government yang tidak terintegrasi dengan pelayanan lainnya akan menyebabkan masyarakat harus kembali menempuh proses birokrasi dari tingkat pemerintahan terendah.

Dengan demikian kita dihadapkan pada dua pilihan, implementasikan E-Government atau pertahankan apa yang ada dan biarkan rakyat menanggung beban biaya layanan umum yang sebenarnya menjadi tugas pokok Pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Dengan E-Government mau tidak mau Pemerintah harus mengalokasikan dana pengembangan yang relatif tidak sedikit, namun rakyat tidak harus menanggung beban biaya ekstra sebagaimana perhitungan diatas.

Permasalahan keberlangsungan E-Government dalam pelayanan umum, salah satunya berasal dari lemahnya koordinasi akibat ego sektoral. Permasalahan internal pemerintahan. Ego sektoral pada umumnya disebabkan karena keinginan memperoleh prestasi terbaik, ketidakinginan campur tangan orang dari Satuan Kerja lain dan ketertutupan dalam pengelolaan anggaran. Untuk membangun sebuah E-Government yang baik, ego sektoral harus mulai dikalahkan demi kepentingan rakyat. Sudah saatnya birokrat pusat dan daerah membangun prestasi terbaik secara bersama-sama, karena untuk itulah rakyat menggaji mereka. Komitmen pimpinan barangkali akan menjadi pengerak utama, tapi tanpa adanya kemauan dan kerelaan untuk melepaskan lahan penghasilan tambahan yang bukan menjadi haknya, kerjasama internal birokrat dalam menciptakan pelayanan terbaik akan sangat sulit diwujudkan.

Implementasi E-Government memang tidak menjamin publik tidak akan mengeluarkan biaya ekstra, namun diyakini akan menekan biaya ekstra. Setidaknya publik tidak perlu lagi mengulangi proses birokrasi mulai dari tingkat RT hingga Kecamatan untuk berbagai urusan mereka.

Website hanyalah salah satu media front office, dan penguatan back office terintegrasi antar Satuan Kerja dan antar Sistem Informasi pelayanan umum akan meningkatkan kewibawaan pemerintah. Melalui implementasi E-Government secara tepat, maka akan lebih ringan menciptakan pemerintahan yang bersih. Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia berbenah dan serius mengelola birokrasi modern.

No comments:

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...