Kebijakan melegalisasi software PC di jajaran Pemerintahan merupakan suatu langkah bijak dengan semestinya melalui banyak catatan. Pengertian melegalisasi tersebut memiliki banyak arti dilihat dari berbagai sudut kepentingan banyak kalangan. Pada Statementnya Pemerintah mengartikan melegalisasi perangkat PC Pemerintahan dengan memberi kebebasan bagi semua kalangan internal Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah untuk memilih software propietary atau open source, namun pada kenyataannya membangun MoU dengan Microsoft. Jelas ini sebuah ketidak-konsistenan baru. Sementara di internal sendiri Indonesia, Go Open Source (IGOS) juga sedang digalakkan. Bahkan Kementrian Ristek dan Dirjen Aptel di Kominfo telah mendeklarasikan penggunaan open source.
Mengapa memilih yang mahal daripada yang murah atau bahkan gratis saja sudah menjadi sebuah pertanyaan yang sulit dijawab oleh Pemerintah dan bisa dipercaya rakyat. Belum lagi pertanyaan inkonsistensi Pemerintah terhadap Kepres no 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa di jajaran Pemerintahan yang melarang penunjukan langsung pada belanja di atas Rp. 50 juta dan tudingan bahwa Microsoft melakukan persaingan tidak sehat melalui jalur politik. Apalagi MoU ini akan belaku jangka panjang dengan tentunya menyedot dana yang tidak sedikit.
Barangkali secara finansial, APBN cukup mampu mengalokasikan uang rakyat untuk me-microsoft-kan PC-PC di jajaran pemerintah hingga ke pedesaan meski secara multy years. Permasalahan utamanya bukan pada suka atau tidak suka, anti atau mendukung Microsoft, namun perlu dipahami konsekuensi strategis dari kebijakan tersebut. Kepada siapa kita harus berpihak?
Ada beberapa arti strategis dan dampak yang dihasilkan dari kesepakatan Pemerintah untuk membeli produk-produk Microsoft bagi operasional jajaran Pemerintah. Setidaknya ada tiga pihak yang secara langsung maupun tidak langsung merasakan dampak kebijakan ini.
Pihak Pertama adalah jajaran Pemerintahan. Melihat kondisi saat ini, dimana belum semua personil lembaga TI Pemerintah Daerah bisa membedakan mana software original dan mana yang bajakan. Ditambah lagi masalah dukungan anggaran Pemerintah Daerah yang relatif pelit bagi pengembangan e-government. Maka kebijakan top down ini cenderung akan mendapatkan dukungan sangat kuat, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Dengan keterbatasan dana yang ada, kebanyakan Pemerintah Daerah lebih mengutamakan membangun infrastruktur dan Sistem Informasi Pemerintahan, baik untuk kepentingan internal maupun pelayanan umum. Operating system cenderung tidak menjadi prioritas karena kuatnya keyakinan bahwa pihak yang berwajib tidak akan melakukan razia di kantor-kantor pemerintah. Karena itu dropping software legal dari vendor manapun (apalagi propietary yang sudah terlanjur banyak dipakai) oleh Pemerintah level lebih tinggi akan bagai mendapat durian runtuh bagi daerah.
Pemilihan Microsoft sebagai software utama pemerintahan pada kenyataannya juga tidak memberi solusi interoperabilitas pada integrasi e-government nasional yang sudah terlanjur terlalu banyak varian.
Pihak kedua adalah Masyarakat. Unsur masyarakat ini memperoleh pengaruh yang kuat terhadap perilaku Pemerintah, khususnya yang ditularkan melalui jalur pendidikan. Perlu dipahami bahwa jajaran pendidikan negeri adalah bagian dari unsur Pemerintah juga. Maka sebenarnya dunia pendidikanjuga menjadi obyek legalisasi Microsoft ini, mulai dari SD, SLTP, SLTA hingga Perguruan tinggi. Siswa dan para alumninya akan memiliki kecenderungan penguasaan teknologi yang diajarkan di lembaga pendidikannya. Potensi ini akan terus terbawa, berlipat ganda setiap tahunnya. Hingga menjadi bagian terbesar dalam penetrasi TI masyarakat.
Bagaimana konsistensi dengan kebijakan IGOS yang berusaha mengentaskan buta TI (IT Literacy) rakyat melalui solusi murah? Komunitas open source yang dibangun publik juga memiliki potensi akan terasing, karena mereka jelas sulit masuk ke dunia kerja di pemerintahan bahkan dunia usaha yang memilih tenaga-tenaga siap pakai daripada harus mengajari dari awal.
Legalisasi software melalui Microsoft pada berbagai lembaga dan fungsional Pemerintahan, termasuk kalangan penegak hukum, tentunya akan memberi kepercayaan diri aparat penegak hukum dan Bussiness Software Aliance (BSA) untuk melakukan razia. Ujung-ujungnya masyarakat akan berada dalam dilema. Menggunakan bajakan karena tidak mampu membeli yang propietary atau menggunakan Open Source Software.
Pihak ketiga adalah para pebisnis TI dan e-government. Dari sisi para developer e-government, pemilihan Operating system dan Office Microsoft oleh Pemerintah tidak menjadi masalah, karena hampir semua software propietary maupun open source dapat di-create supaya jalan di Microsoft.
Namun demikian tidak sedikit para benisnis yang masih memiliki idealisme untuk memilih yang murah namun tetap powerfull meski pada dataran open source, khususnya untuk kelas advance, seperti pemilihan server aplication, software development dan database. Pemberdayaan software developer lokal pada dasarnya juga menjadi upaya pemintaran anak bangsa dan mencegah larinya dana rakyat keluar negeri sebagaimana yang sudah banyak terjadi dalam kebijakan telekomunikasi.
Lalu, sulitkah melegalisasi komputer di jajaran pemerintahan? Meski menjunjung tinggi azas otonomi daerah, sebenarnya loyalitas Pemerintah Daerah masih sangat tinggi. Artinya, meski saat ini hampir 99% komputer di Pemerintah Daerah menggunakan Microsoft, kebiasaan itu bisa dirubah secara bertahap bila pusat menentukan operating system tertentu dan melalui tahapan training dan sosialisasi. Andai pemimpin negeri ini memproklamirkan implementasi open source di jajaran Pemerintahan melalui mekanisme politis maupun kelembagaan, maka semua kalangan pemerintahan akan mengikutinya meski tertatih-tatih. Barangkali biaya yang harus dikeluarkan untuk jangka pendek apalagi jangka panjang juga tidak semahal bila menggunakan propietary.
Mari kita bayangkan bila dana untuk membeli software mahal tersebut digunakan untuk membangun e-government terintegrasi nasional bagi pelayanan umum. Maka pulau-pulau dan kerajaan-kerajaan kecil bernama Pemerintah Daerah itu akan terintegrasi dalam Sistem Informasi Nasional. Meski tidak mudah, namun kebijakan tersebut bukan hal yang mustahil. Beranikah pemerintah kita melakukan ini?