17 October 2008

Mengapa tidak?

Warga negara kita ingin pemerintah memberikan layanan yang terbaik dan lebih baik dari waktu ke waktu. Namun inovasi itu masih terlalu mahal, rumit, sulit dan repot untuk ditempuh. Banyak hal yang tidak berubah dari tahun ke tahun dalam hal dokumen publik. Mari kita lihat :

  • Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Bentuknya selalu begitu, mengapa tidak diganti dalam bentuk kartu seperti KTP gitu?
  • BPKB Bentuknya selalu ya seperti buku itu. Mengapa tidak juga dirubah dalam bentuk kartu?
  • Kartu Keluarga. Layanan ini sudah banyak yg digratiskan. Kalau kita perhatikan, sebenarnya frekuensi perubahan kartu keluarga lebih sering daripada KTP. KTP hanya berganti sekitar 3 - 5 tahun. Tetapi selama kurun waktu itu, terjadi perubahan struktur KK, mulai dari : kelahiran anak baru, kematian, keluarga lain yg numpang, pindah alamat, dll. ALhasil, beban negara belanja KK lebh banyak daripada KTP. Coba kalau KK dibuat dgn smartcard, maka setiap ada perubahan tidak perlu ganti2. Foto copy untuk syarat macam2? Ada kan kartu yg kalau di-fotocopy akan muncul tulisannya di hasil copy-an?
Apa lagi ya?

Beberapa Lembaga pemerintah sudah membuktikan berani menjadi trend setter meski regulasi legalnya belum ada atau abu-abu. Seperti Kota Surabaya yg berani luncurkan e-procurement meski regulasinya belum ada. Deperin RI yang berani laksanakan test CPNS melalui internet. Ujian pun melalui internet. Ada masalah atau resiko, seperti per-joki-an, hack, dll? Ya, itu bagian dari apa yg harus dipecahkan. Bukan hanya menjadi follower saja.

Btw, ada juga follower yg ternyata lebih sukses dari pada inisiatornya. Misal Pemda Sragen dengan One Stop Service (OSS)-nya yang kelihatan meniru pola layanan satu atapnya Kota Jogja. Racikan Teknologi Informasi-nya lebih ampuh daripada Kota Jogja. Purworejo juga tidak kalah dengan menjadi trend setter bidang pelayanan kesehatan, khususnya puskesmas online. Kebumen dengan model interoperabilitas e-governmentnya, sehingga antar aplikasi Pemda dapat saling "berbicara" untuk menghasilkan informasi yang lebih benar, akurat dan lengkap. Bahkan kabupaten Bantaeng, yang mungkin banyak dari kita tidak tahu dimana lokasinya, mampu menjadi trend setter bidang e-kepegawaian.
Inovasi-inovasi ini terbukti tetap eksis, meski regulasi di bidang tersebut kurang kuat. e-leadership yang kuat mungkin jadi kunci. Bahkan, hasil inovasi Pemda tersebut tidak jarang dijadikan sebagai acuan nasional. Hebatnya: pejabat Departemen pun sudah sangat legowo mengakui kehebatan inovasi orang-orang daerah dan menghimbau pemda-pemda yang siap selalu jadi follower untuk tidak malu menirunya.

Jadi, mengapa tidak?

Data Pokok Pendidikan dipublikasikan terbuka?

Heran juga membaca berita, bagaimana Pemerintah mengumbar data pokok pendidikan yang isinya berbagai data siswa, sampai ke data nama orang tua, alamat dsb.
Kontradiksi sih biasa, tapi jangan lupa bahwa data siswa adalah data penduduk. Data Penduduk, sesuai dengan UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah rahasia. Setidaknya terbatas pada kalangan tertentu saja, seperti lembaga pemerintahan.

Saya jadi ingat bagaimana Samsat Jateng memberikan layanan info kendaraan bermotor dan biaya pajaknya melalui satu unit komputer yang dipajang di ruang tunggu. Di komputer itu kita bisa masukkan no kendaraan, maka akan keluar informasi pemilik (tidak ditampilkan), alamat (tidak ditampilkan), nomor rangka (tidak ditampilkan), dst...... hingga pajak dan rinciannya. Sehingga, masyarakat yang akan bayar pajak tahu, berapa tagihan pajaknya. Tidak perlu pakai makelar.

Data pokok kendaraan bermotor ditutup karena, siapa saja bisa menggunakan komputer itu dan berpotensi negatif bila diumbar. Lha ini, Depdiknas malah mengumbarnya dengan bebas.
Beberapa pengalaman bangsa ini menunjukkan bahwa tidak sedikit penipuan dilakukan melalui data penduduk, terutama didapat dari yellowbook-nya Telkom.

Kasus Dapodik Depdiknas bukan yang pertama. Sekitar tahun 2006, Pemkab Banyumas juga mempublikasikan data pemilih sementara (DPS), dengan niat baik supaya masyarakat (tertentu) dapat men-cek, apakah yang bersangkutan sudah masuk dalam DPS atau belum. Publikasi ini juga mengundang protes, karena pastilah ada masyarakat yg merasa privasinya terganggu.

Semoga Depdiknas dan lembaga pemerintah yang lain bisa belajar dari pengalaman. Niat baik akan berbuah baik bila dilakukan dengan cara yg baik.

Pesan: Jangan ragu-ragu untuk tetap mengembangkan e-government. Pengalaman adalah guru yg terbaik.

07 October 2008

Operasi Yustisi kependudukan

Proyek khas Pemda pasca lebaran adalah Proyek Operasi Yustisi kependudukan. Biasanya Ada di kota-kota besar yg merasa terganggu karena kedatangan warga baru. Fenomena lama ini bbrp Hari ini agak mengusik, karena terkesan : Kedatangan warga (baca: saudara sebangsa) Kita di suatu kota (seperti Jakarta) dicurigai Dan (barangkali saya berlebihan) dianggap sebagai gangguan.
Mengapa?
Dari sisi positif barangkali Kita sepakat bahwa setiap manusia harus punya arti dalam hidupnya, baik arti bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan Dan bangsa besar ini. Namun, untuk menuju ke sana, barangkali harus diawali dengan perjuangan menjadi seorang urbanisator. Dengan berbekal KTP (yg katanya berlaku nasional), semestinya setiap warga negara berhak untuk melakukan perjalanan ke mana pun, dengan tujuan apa pun, selama apa pun. Selama tidak mengganggu orang lain.
Para perantau modal pas-pasan ini kadang2 juga sangat diperlukan oleh warga Jakarta lainnya, mulai dari PRT hingga penggerak mesin industri, birokrasi bahkan keamanan. Tidak heran bila Ada Bupati yg tersinggung warganya diperlakukan tidak terhormat di perantauan metropolitan.

Fenomena urbanisasi membuktikan bahwa daerah dianggap belum mampu menjamin kehidupan (setidaknya standard) mereka. Metropolitan memberikan tawaran lebih baik daripada apa yg telah Pemda lakukan. Lebih seksi. Bahkan seruan Gubernur Kebumen "Bali Ndeso - Mbangun Deso" kurang ditopang dengan kebijakan atau langkah-langkah kongkrit membuka lapangan kerja, selain hanya himbauan. Setidaknya untuk saat ini. Semoga menjadi aktifitas riil membuka lapangan kerja dan memberi penghasilan yg menjanjikan.

Kisah Tukul si Empat Mata bisa jadi contoh riil, bagaimana dengan modal pas-pasan bisa jadi perhatian bangsa.
Suatu saat saya pernah naik sepur dari Senen bareng teman sekantor yg asli Kebumen. Di Senen ternyata ketemu sama banyak orang kebumen yg jualan asongan, padahal kalau pulang kampung mereka pada punya motor Dan gayanya juga "anak jakarte". Bahkan, eks pembantu saya juga berani berangkat ke Jakarta meski (katanya) masih numpang sana-sini untuk cari kerjaan sebagai pembantu pula, bahkan meski selisih gajinya tidak lebih dari 100rb.
Kita sering melihat, yg namanya pekerjaan adalah :Berangkat Ke Kantor. Padahal tidak demikian. Bila mereka rela hidup sbg penjual asongan Dan hidup sangat sederhana (bahkan seperti menggelandang) di malam Hari, bukan berarti mereka tidak bekerja. Mereka bahkan tidak bisa melakukan itu di daerah, karena asongan tidak terlalu laku di daerah (barangkali). Mereka rela hidup dengan sangat sederhana demi bisa menyisakan uang utk keluarga di daerah, setidaknya utk bisa bergaya di daerah.
Yusril Isha Mahendra, dulunya juga kenek bis kota, sebelum memutuskan kuliah Dan bergabung ke parpol. Kira2 bekal apa yg dia bawa waktu memutuskan berangkat ke Jakarta?
Misalkan, tidak Ada lagi orang yg mau bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, bagaimana kolap nya rumah tangga di Jakarta.... :D
Tidak dipungkiri bahwa tidak sedikit yg jadi bandit akibat gagal sana-sini, tapi barangkali inilah seleksi alam, seperti halnya STPDN menyaring Kita, Dan pekerjaan di daerah membuktikan bahwa rangking terakhir STPDN 01 adalah PP 01 pertama yg dapat jabatan eselon.
Operasi Yustisi lebih terlihat seperti upaya menyembunyikan kondisi riil bangsa ini melalui arogansi pemerintahan yg sebenarnya harus : melindungi segenap bangsa Indonesia Dan seluruh tumpah darah Indonesia, Dan memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendatang baru yg datang ke Jakarta dianggap "pengganggu" tanpa diberi kesempatan/waktu untuk menunjukkan bahwa mereka punya potensi menjadi pengabdi bangsa (melalui berbagai cara), bahkan mungkin lebih hebat dari birokrat.

Barangkali legalitas operasi yustisi dgn Perda didasari dgn niat baik. Tapi tetap harus Ada jalan keluar, bukan sekedar deportasi. Tertangkap sekarang, tidak akan bikin jera selamanya. Bagi mereka, Hidup harus terus dilanjutkan.

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...