28 September 2007

Semestinya Government kita sudah Online

Ya. Ditengah perjuangan banyak pihak untuk bisa mewujudkan Indonesia yang maju melalui Teknologi Informasi, pengembangan e-government di Indonesia tidak mampu memberikan manfaat optimal. Besarnya dana yang telah dikeluarkan dimubazirkan dengan keengganan melakukan koordinasi lintas sektoral. Akibatnya hanya sebagian kecil komunitas yang bisa merasakan dari sebuah produk yang semestinya bisa dirasakan banyak kalangan. Indonesia online bagi kalangan pemerintahan sebenarnya sudah terwujud sejak 2006 yang lalu. Tapi itu tidak dijadikan momentum kerjasama lintas departemen dan lintas Pemerintah Daerah.

Gebyah Uyah

Kebijakan nasional bidang e-government mentargetkan Indonesia online pada 2015. Berbagai aktifitas partial pun telah dilaksanakan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Namun ketiadaan acuan yang jelas yang dapat dijadikan pedoman dan ditaati oleh berbagai kalangan Pemerintahan belum tersedia. Akibatnya terjadi improvisasi pada berbagai sektor dengan mengangkat isue digital divide.

Pada strata departemen, beberapa program kebijakan nasional telah digulirkan ke daerah. Dengan sedikit melupakan berbagai latarbelakang terbitnya suatu proyek Teknologi Informasi nasional, sistem jaringan komputer berbiaya fantastis tersebut dilakukan tanpa pertimbangan dan survey mendalam, sehingga hasilnya pun kurang optimal. Bahkan pada beberapa sektor menyebabkan duplikasi yang semestinya tidak terjadi pada pemerintahan miskin yang bernama Indonesia ini. Saat ini tidak sedikit Pemerintah Daerah yang memiliki akses internet dan jaringan Wide Area Network, bahkan berskala enterprise. Jauh lebih hebat daripada subsidi pusat. Kebijakan “gebyah uyah” (pukul rata) sudah bukan jamannya lagi.

Tabel berikut menjelaskan beberapa kebijakan nasional bidang Teknologi Informasi yang terkesan kurang koordinas dan miskin content sampai dengan tahun 2007.

NO

NAMA PROYEK

TAHUN

PENGEMBANG

MUATAN

1

Siskomdagri (Sistem Komputerisasi Dalam Negeri)

1997 - 1999

Depdagri

· VSAT

· Komunikasi suara antar Sekda, Bupati dan Santel seluruh Indonesia

2

Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional)

2006-2007

Depdiknas

· Jaringan kabel Telkom

· Koneksi internet 512 Kbps bagi SLTA

3

INHERN

2006 - 2007

Depdiknas

· Jaringan kabel Telkom

· Koneksi internet 512 Kbps bagi Perguruan Tinggi

4

Jarkompusda (Jaringan Komputer Pusat – Daerah)

2006

Depdagri

· VSAT

· Komunikasi teleconference beberapa Pemda dengan 512 Kbps intranet

Siskomdagri mengalami kegagalan karena user merasa kurang memiliki kepentingan terhadap keberadaan alat komunikasi suara tersebut. Bahkan belum tentu sebulan sekali perangkat tersebut digunakan. Seorang Sekda menyatakan bahwa tidak banyak kepentingan berkomunikasi dengan Sekda lain. Sementara untuk komunikasi Sekda dengan Bupati pada suatu Pemerintah Daerah sudah diakomodir dengan teknologi PABX yang ada. Lebih efisien dan efektif.

Kebijakan Siskomdagri digantikan dengan Jarkompusda pada 2006 melalui subsidi VSAT dan fasilitas teleconference. Alasan utama munculnya proyek ini adalah untuk memantau secara real time berbagai kondisi darurat, seperti bencana pada daerah terpencil. Namun kenyataannya, belum tentu perangkat ini digunakan Pemerintah Daerah setengah tahun sekali. Selain fasilitas teleconference, teknologi ini tidak menawarkan fasilitas lainnya.

Jarkompusda dan Inhern merupakan kebijakan pemberian fasilitas internet bagi dunia pendidikan melalui dinas pendidikan pada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. Pada Inhern, fasilitas jaringan dilengkapi dengan teleconference. Konten pendidikan yang sebenarnya merupakan komponen penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tidak disertakan. Akibatnya setiap sekolah penerima hanya memanfaatkannya bagi akses internet. Dan tentu saja tidak ada yang bisa menjamin “muatan-muatan” yang akan diakses oleh siswa dan guru. Kekayaan informasi positif dan negatif memiliki peluang yang sama untuk mempengaruhi siswa. Adakah interkoneksi sekedar mengenalkan dan memberi fasilitasi internet kepada siswa dan guru?

Pada tahun 2007 ini juga beberapa Departemen sedang menyiapkan proyek jaringan komputer hingga Kab/Kota dan Provinsi. Dan terbukti ketidak-kompakan dalam pemerintahan juga buah “didikan” pusat. Dan Pemerintah Daerah selalu menjadi obyek.

Kolaborasi

Saat ini, sesungguhnya hampir seluruh Pemerintah Daerah sudah saling terhubung. Namun kebijakan sektoral menyebabkan bangsa ini tidak melihat kenyataan dan potensi itu. Seolah-olah kolaborasi untuk saling mengisi adalah sesuatu yang sangat mahal. Bila memang prestasi dan pujian yang diharapkan oleh pencetus proyek, maka prestis tersebut terlalu mahal bagi bangsa ini.

Depkominfo dan jajaran lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah bersusah payah membangun konten aplikasi pemerintahan, baik bagi kepentingan internal maupun pelayanan umum. Dan selama itu juga komunitas ini mendambakan interkoneksi nasional. Dan sayangnya ego kedua pihak, yaitu mereka yang punya potensi dan mereka yang mendambakan potensi, terlalu sayang untuk dikalahkan bagi integrasi aplikasi e-government nasional. Termasuk bagi integrasi komunikasi nasional.

Saat ini bila ketiga potensi interkoneksi yang ada dimanfaatkan secara optimal, misal bagi kepentingan komunikasi suara (VoIP), integrasi aplikasi dan database pemerintahan, bahkan bagi kepentingan event lintas Pemerintah Daerah seperti Pilkada, barangkali rakyat telah membayar wajar bagi belanja Teknologi Informasi.

Pemerintah perlu lebih tegas mengawasi proyek top down sehingga memberi hasil maksimal, bukan sekedar mengikuti tren saja. Alangkah baiknya bila mega proyek interkoneksi pusat bagi daerah dikelola dan diturunkan pada satu pintu. Dengan demikian satu masalah dalam pengembangan e-government, yaitu saling keterhubungan Pemerintah Daerah melalui Teknologi Informasi dapat diatasi dengan lebih bijak.

03 September 2007

Pemda layak memperoleh Otonomi E-government

Meskipun otonomi daerah sudah diterapkan sekian lama, namun e-government merupakan salah satu sektor yang masih dipegang ekornya. Tidak sepenuhnya dilepaskan, meskipun kenyataan membuktikan tidak sedikit Pemerintah Daerah yang mampu mengembangkan e-government, lebih handal dan lebih mampu memberikan hasil bagi pemerintahan dan pelayanan umum.

Bahkan selama ini terbukti beberapa terobosan lahir dari Pemerintah Daerah, seperti e-procurement Surabaya, pelayanan satu pintu Sragen, jaringan enterprise jogja, administrasi kependudukan Balikpapan dan banyak lagi. Implementasi integrasi database pun berjalan baik di beberapa daerah, seperti Kebumen yang mampu mengintegrasikan database kepegawaian bagi 5 aplikasi, Kota Semarang dan kota Magelang yang mengintegrasikan database kependudukan dan pendidikan, dan sebagainya. Semua hasil kerja mandiri daerah tanpa ada campur tangan pusat. Dengan biaya yang jauh lebih efisien namun efektif. Rule yang diterapkan pun tidak atau belum diatur oleh Pusat. Tapi semua itu berjalan baik dan mendapat dukungan masyarakat penggunanya.

Mari kita bandingkan dengan implementasi Siskomdagri (1995) yang dilanjutkan dengan Jarkompusda (2006), SIM Kesehatan (ICDC) tahun 2002, KTP Nasional yang diganti SI Kependudukan (SIK) dan berubah menjadi SIAK online (2003) bahkan berlanjut mengalami perubahan prinsipil hingga tahun 2007 (SIAK Versi II), Sistem Informasi (SI) Pertanian (2002) dengan GIS Pertanian, SI Strategis (2006) Depdagri, SI pendidikan dengan berbagai aplikasi yang beraneka ragam dibawahnya, dan sebagainya.

Hampir semua itu gagal dan tentu saja Pemda menjadi kambing hitam yang selalu dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab atas gagalnya proyek e-government mercusuar tersebut. Meski orang-orang Pemda barangkali memang punya kontribusi terhadap gagalnya proyek, namun faktor utama kegagalan proyek prestisius orang-orang pusat justru terletak pada kurangnya pemahaman konsep kerja Teknologi Informasi, kultur budaya birokrasi dan kebijakan “gebyah uyah” (menyamakan) potensi Pemda, juga regulasi yang remang-remang.

Pemerintah Daerah lebih banyak disuguhi dengan teknologi dan content yang kaku, yang barangkali belum bahkan tidak dibutuhkan bagi kepentingan daerah. Pemerintah Daerah tidak punya pilihan lain. Keterbatasan anggaran Pemda dan tawaran menarik pusat dalam kemasan pilot project, menjadikan Pemda saling berlomba dan tutup mata terhadap isi kebijakan project pusat tersebut. Apalagi ada iming-iming bantuan finansial bagi operasional project selama kurun waktu beberapa lama.

Dalam beberapa hal ada ketidaktepatan dan inkonsistensi implementasi project top down berbiaya malah ini, antara lain :

1. Ketidaktepatan content. Beberapa aplikasi pusat cenderung tidak konsisten dan tidak mengakomodir database yang sudah susah payah dikoleksi Pemerintah Daerah. Seperti Sistem Informasi Strategis yang berisi database potensi, pendidikan dan kesehatan. Aplikasi ini sama sekali tidak memberi solusi pemanfaatan database yang sudah di-entry melalui profil daerah, SI kependudukan dan SI Pendidikan. Begitu juga SIAK yang tidak mengindahkan kekayaan database kependudukan dari aplikasi yang dimiliki Pemda. Tak heran bila tidak sedikit Pemda yang “mbalelo” (tidak loyal) dan terjadi kekacauan pelayanan kependudukan di banyak daerah.

2. Stimulan anggaran yang diskoordinatif. Beberapa pilot project memberikan bantuan biaya operasional, seperti penyewaan bandwidth internet dan sewa VSAT. Seperti project ICDC Depkes dan Siskomdagri. Namun setelah masa subsidi selesai, selesai pula operasional project. Sewa internet banyak tidak bisa dilanjutkan, sebab disamping mahal karena diarahkan ke ISP tertentu oleh pelaksana proyek juga pada umumnya menyebabkan duplikasi penganggaran sewa bandwidth yang sudah dialokasikan pada lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah (PDE).

3. E-government biaya tinggi. Kebijakan pusat yang menentukan spesifikasi tinggi bahkan menunjuk merk produk hardware dan software tertentu (biasanya high end technology) tidak memberi pilihan bagi Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan resources yang sudah ada dan running well dan harus belanja Teknologi Informasi yang dipersyaratkan tanpa kompromi. Seperti kebijakan SIAK versi II misalnya, meski Pemerintah Daerah memperoleh stimulan satu unit server dan beberapa client, namun kebijakan ini hanya ideal pada Pemerintah Daerah yang telah memiliki sistem online setidaknya pada level kecamatan. Untuk Pemerintah Daerah yang tidak memiliki sistem online, harus mengeluarkan biaya besar untuk belanja hardware dan software proprietary. Anehnya justru tidak sedikit project pusat yang mendistribusikan software ilegal.

4. Training operator. Training bagi operator seringkali tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, bagaimana bisa seorang PNS yang sekedar mampu membuat surat mampu mengikuti training GIS dan database yang sudah masuk pada kelas advance? Belum lagi faktor usia dan latarbelakang pendidikan yang nyaris tidak menyentuh Teknologi Informasi. Monitoring pasca training juga kurang diperhatikan, bahkan tidak ada. Training-training TI umum yang dilakukan pusat juga dirasakan banyak Pemda kurang berkualitas dan tidak mendukung pekerjaan. Berbanding terbalik dengan biaya mahal yang harus dikeluarkan.

5. Keengganan bekerjasama dengan lembaga TI Pemda (PDE). Ego sektoral seolah sudah mendarah daging. Pesan sponsor departemen tertentu untuk tidak melibatkan lembaga TI Pemda (PDE) menjadikan ego sektoral terdistribusi ke daerah. Yang lebih parah, pada beberapa sosialisasi project pusat, sang Pejabat tanpa basa-basi meminta dinas terkait di daerah untuk jangan sekali-kali melibatkan PDE, dengan alasan hanya bikin ribet, seperti pada mega project SIAK. Padahal, dari sisi teknis PDE relatif lebih siap menerima transfer knowledge dan penetrasi TI Pemda, setidaknya dibanding dinas-dinas teknis dimana TI bukan menjadi core bisnisnya.

Regulator yang pemain

Keinginan pusat ikut bermain dalam kewenangan internal e-government Pemda menjadikan dinamika pengembangan e-government tidak lagi sesuai harapan. Semestinya pusat berada pada area regulator, dan memberdayakan Pemerintah Daerah untuk mampu mengelola e-government nya secara mandiri. Bukan menjadi pihak yang membuat regulasi dan sekaligus bermain dengan regulasinya sendiri pada skala sangat teknis di Pemda, apalagi membuat katabelece yang mengarahkan Pemerintah Daerah untuk bekerjasama dengan rekanan tertentu untuk project yang dijalankan.

Memang tidak semua Pemerintah Daerah memiliki kemandirian dalam pengembangan e-government, dan tetap perlu ada bimbingan dengan cara fair untuk bisa diberdayakan. Pusat tetap memiliki kewajiban dalam proses pemberdayaan ini. Bagaimana caranya menciptakan daerah yang bisa mandiri, lebih bisa diambil sebagai peluang pusat, baik melalui regulasi, subsidi pendanaan hingga peningkatan kualitas SDM.

Pusat tidak perlu mesti membangun sebuah aplikasi seragam untuk daerah bila yang dituju adalah penggalangan database nasional. Departemen cukup membuat sebuah kebijakan e-government tentang suatu hal, kemudian memerintahkan daerah untuk memenuhi sesuai standar minimal yang ditetapkan, melalui format tertentu yang digunakan pusat (bisa melalui beberapa opsi), melalui mekanisme transmisi (pengiriman) tertentu, dan dalam kurun waktu (timing) tertentu. Masalah bagaimana Pemerintah Daerah akan memenuhi permintaan Departemen, serahkan kepada daerah. Tidak perlu distir lagi bila memang daerah mampu. Tidak perlu menentukan daerah belanja software tertentu untuk mewujudkannya. Kewajiban daerah adalah memenuhi permintaan departemen sesuai rule yang telah ditetapkan. Mengenai bagaimana caranya, itu adalah otonomi Pemda.

Tidak menutup kemungkinan pusat membuat suatu aplikasi tertentu untuk membantu daerah yang kesulitan untuk mengadakan aplikasi dengan berbagai latar belakang, seperti pendanaan. Namun aplikasi tersebut bersifat tidak mengikat dan memungkinkan daerah untuk memodifikasi sesuai kebutuhan dan kultur lokal.

Ketidakmerataan dan kurangnya perhatian pimpinan daerah terhadap e-government salah satunya mungkin disebabkan kurang kompaknya kebijakan pengembangan e-government di level pusat. Bila pusat tidak terlalu campur tangan secara teknis, namun secara kompak mengeluarkan regulasi dan menginstruksikan pimpinan daerah untuk serius mengimplementasikan kebijakan nasional melalui e-government Pemerintah Daerah menurut format tertentu, sangat diyakini kemandirian e-government Pemerintah Daerah akan lebih mudah diwujudkan.

Keterbukaan ilmu TI dan makin melimpahnya SDM lulusan TI dari berbagai perguruan tinggi secara positif memperkaya resources Pemda. Infrastruktur TI pun makin dikuasai dan diimplementasikan Pemda. Keberanian Pemda untuk menyusun aturan TI yang belum diatur Pusat juga sudah ditunjukkan oleh beberapa Pemda. Hasilnya pun diadopsi pusat untuk kebijakan nasional. Dengan demikian, Pemda memang sudah layak menjalankan otonomi e-government. Dan pusat mesti belajar untuk menghargainya. Ke-legowo-an pusat untuk duduk sejajar dengan Pemda dalam pengembangan e-government akan menjadi sesuatu yang indah. Dan itu bukan mustahil.

Publish : Wartaegov September 2007

IT Project Management dalam Birokrasi

Pada umumnya banyak kegiatan pembangunan dalam pemerintahan daerah diimplementasikan dalam wujud proyek-proyek. Karena itu kegiatan Pemerintah seringkali diidentikkan dengan proyek. Dan ini acap kali menjadi lahan basah yang diincar banyak pihak, termasuk berbagai rekanan Pemerintah Daerah dan broker-broker.

Sesuai dengan ketentuan baku pelaksanaan pembangunan daerah, sebuah proyek disusun dalam format birokrasi tertentu. Hanya saja, tidak semua prosedur dan persyaratan baku yang menjadi dasar perencanaan, pelaksanaan proyek hingga menghasilkan sebuah produk tertentu dipenuhi secara tertib. Satu hal yang simple adalah lemahnya penggunaan data sebagai dasar penyusunan perencaan dan implementasi proyek. Dasar asumsi masih cukup dominan untuk menyusun sebuah proyek Pemerintah. Termasuk di Pemerintah Kabupaten Kebumen.

Bagaimana dengan implementasi proyek Teknologi Informasi dalam Pemerintah Kabupaten Kebumen?

Sebagai satu-satunya lembaga teknis daerah yang bertugas membantu Bupati dalam pembangunan dan pengembangan Teknologi Informasi daerah, maka tugas pokok dan fungsi Pengelolaan Data Elektronik Kabupaten Kebumen bukan hanya mengelola E-Government saja, namun semua kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan yang menyangkut ke-Teknologi Informasi-an juga menjadi wilayah tanggungjawab Pengelolaan Data Elektronik Kebumen. Mendasarkan pada tugas pokok dan fungsi tersebut, maka visi Pengelolaan Data Elektronik Kebumen adalah “mewujudkan good governance dan pelayanan umum yang terbaik, promosi daerah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui Teknologi Informasi”.

Guna mewujudkan visi tersebut, maka Pengelolaan Data Elektronik Kebumen memiliki misi ke dalam (pemerintahan) dan misi kemasyarakatan. Beberapa misi yang diemban antara lain pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan Teknologi Informasi, Sistem komunikasi, training pegawai serta integrasi sistem Teknologi Informasi Pemerintah Kabupaten. Bagi sektor publik, misi yang dilaksanakan adalah menjadi motor penggerak komunitas Teknologi Informasi & multimedia melalui program e-kebumen (www.e-kebumen.net).

Dengan demikian stakeholder yang terlibat dalam implementasi Teknologi Informasi yang menjadi tugas pokok dan fungsi Pengelolaan Data Elektronik Kabupaten Kebumen mencakup seluruh Satuan Kerja dan pegawai Pemerintah Kabupaten Kebumen dan masyarakat Kebumen pada umumnya serta pihak-pihak lain diluar komunitas Kebumen. Komunitas Teknologi Informasi & Multimedia Kebumen sendiri terdiri dari berbagai kalangan, baik pendidikan dan akademisi, pedagang/pengusaha, tokoh masyarakat, dan lain-lain.

Tahap Perencanaan & Tolok Ukur.

Sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan, perencanaan sebuah proyek Teknologi Informasi biasanya dilaksanakan setidaknya setengah tahun sebelum tahun anggaran efektif. Pada tahap ini disusun konsep umum proyek, gambaran hasil dan dampak yang dihasilkan sesuai dengan cakupan proyeknya serta dukungan terhadap kebijakan dan performa daerah. Pada tahap ini overview dan concept proyek Teknologi Informasi disusun.

Idealnya sebuah pengembangan Teknologi Informasi didasari pada Master Plan & Blue Print yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun pada prakteknya tidak bisa kondisi ideal itu diwujudkan. Daerah sebagai lembaga otonom tentu saja tetap menjadi bagian dari NKRI. Status ini menjadikan ketergantungan daerah pada kebijakan pusat, termasuk dalam pengembangan Teknologi Informasi Nasional. Master Plan & Blue Print menjadi sulit diwujudkan daerah secara konsisten karena Depkominfo baru mengeluarkannya pada tahun 2005 yang lalu. Sehingga pasca dikeluarkannya Master Plan & Blue Print pengembangan Teknologi Informasi & E-Government Nasional tersebut, daerah baru bisa benar2 menetapkan arah kebijakan pengembangan Teknologi Informasi & E-Government Daerah.

Namun di sisi lain, pengembangan Teknologi Informasi dalam pemerintahan daerah tetap harus dijalankan, ada atau tidak landasan strategis pengembangannya. Keberadaan struktural organisasi dan tatalaksana Pemerintah Daerah menuntut sebuah fungsi tetap dijalankan, demikian juga dengan keberadaan Satuan Kerja Pengelolaan Data Elektronik yang bertugas membantu Bupati dalam pembinaan dan pengembangan Teknologi Informasi Daerah. Sehingga pada akhirnya yang dapat dijadikan landasan implementasi Teknologi Informasi Daerah adalah Program Kerja Pengelolaan Data Elektronik yang disusun pada setiap tahunnya. Tentu saja konsistensi menjadi andalan agar arah kebijakan pengembangan Teknologi Informasi Daerah dapat dipertanggungjawabkan.

Pada kenyataannya penyusunan Program Kerja dan implementasinya dapat menjadi tidak konsisten ketika anggaran yang diajukan guna mendukung Program Kerja tahunan tersebut tidak disetujui. Akhirnya tolok ukur keberhasilan pengembangan Teknologi Informasi Daerah tergantung pada ada tidaknya anggaran yang dialokasikan di bidang Teknologi Informasi, baik untuk kepentingan internal Pemerintah Daerah maupun dalam rangka mencukupi pengembangan Teknologi Informasi publik. Semuluk dan sebagus apa pun Program Kerja disusun, namun bila tidak ada alokasi anggaran menjadi sangat berat, bahkan tidak mungkin dilaksanakan.

Tidak jarang penilaian Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) lebih banyak didominasi berbagai kegiatan rutin dan pembangunan yang berdana, disamping kemampuan melakukan improvisasi dengan memanfaatkan dana yang ada bagi keperluan obyektif lainnya.

Tahap Pengorganisasian

Ada dua model pengorganisasian dilaksanakan dalam pelaksanaan sebuah Information Technology Project Pemerintah Kabupaten Kebumen, yaitu :

1. Model Strategis, dimana keterlibatan orang-orang dalam proyek Teknologi Informasi Pemerintah Daerah ditetapkan untuk jangka panjang. Tidak mengenal batasan tahun anggaran. Landasan bekerja dari pengorganisasian ini umumnya ditetapkan dengan SK Bupati, karena melibatkan banyak Satuan Kerja lintas sektoral. Pada umumnya status struktural personil yang terlibat menjadi dasar penyusunan organisasi proyek Teknologi Informasi ini, seperti Bupati, Sekda, Kepala Badan/Dinas/Kantor, personil-personil lain yang dianggap cakap untuk proyek-proyek pengembangan Teknologi Informasi Pemerintah Daerah. Lebih banyak bersifat formil non teknis. Cakupannya pun tidak hanya pada satu proyek dengan anggaran tertentu, namun bisa lintas proyek.

Bentuk riilnya seperti Team telematika Pemerintah Kabupaten, Team fungsional pengelola Teknologi Informasi & E-Government yang berada permanen di Satuan Kerja masing-masing dan Team e-kebumen, yang merupakan organisasi gabungan perangkat Pemerintah Daerah, pendidikan dan publik.

2. Model Praktis, dimana keterlibatan orang-orang dikhususkan pada satu proyek tertentu yang dilaksanakan. Organisasi ini pada umumnya dibentuk selama proyek Teknologi Informasi dijalankan dan akan dibubarkan setelah suatu proyek Teknologi Informasi dinyatakan selesai. Pada umumnya team ini lebih banyak mengarah pada kegiatan teknis. Wujud nyatanya berupa panitia-panitia. Seperti Panitia pengadaan/panitia pemeriksa barang & jasa, panitia pelaksana teknis, dan team yang dibentuk oleh rekanan yang secara langsung berinteraksi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proyek Teknologi Informasi Pemerintah Kabupaten.

Tahap Pelaksanaan

Pada tahapan ini Pimpro dan team teknis yang terlibat menyusun user requirments sesuai dengan proyek yang dijalankan. Idealnya user requirments ini diwujudkan dalam sebuah dokumen khusus, namun pada prakteknya tidak semua proyek Teknologi Informasi disusun dokumen user requirment-nya. Dokumen User requirment lebih banyak disusun untuk proyek-proyek pengembangan Sistem Informasi & Database, sedangkan untuk proyek-proyek teknis lebih banyak mendasarkan pada dokumen Dana Alokasi Satuan Kerja (DASK) & Rencana Kerja Sementara (RKS) yang pada umumnya memuat spesifikasi teknis barang & jasa yang diperlukan.

Dalam prakteknya, user requirment ini lebih banyak dipakai dalam menjelaskan proyek Teknologi Informasi kepada para calon rekanan yang berminat (anweesing). Meski pada prakteknya terjadi beberapa penyesuaian non prinsipil setelah ditetapkan pemenang dalam proses pengadaan barang & jasa sesuai pertimbangan teknologi dan sumberdaya yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Kebumen. User requirment ini yang nantinya menjadi salah satu ukuran selesai atau tidaknya sebuah proyek Teknologi Informasi.

Atas dasar user requirments tersebut selanjutnya disusun perencanaan waktu, tenaga, biaya dan keperluan-keperluan teknis lainnya, termasuk pihak-pihak terkait yang terlibat secara administratif maupun teknis.

Selanjutnya pihak rekanan diwajibkan menyusun sebuah design awal berdasarkan penjelasan teknis pada user requirments. Pembahasan dilakukan bersama dengan team yang sudah dibentuk, yang tidak jarang melibatkan beberapa instansi/Satuan Kerja sekaligus. Pembahasan atas design ini diperlukan guna mengetahui kebutuhan riil dan kebutuhan tambahan dari keberadaan Sistem Informasi & Database yang akan dibangun/dikembangkan, terutama dalam pembangunan sebuah Sistem Informasi & Database yang melibatkan atau secara administratif menjadi proyek Satuan Kerja lain, non Pengelolaan Data Elektronik. Pembahasan ini sangat diperlukan mengingat Satuan Kerja yang terlibat merupakan pihak yang secara implementatif menjalankannya. Penyesuaian-penyesuaian tidak jarang dilakukan, terutama berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung di Satuan Kerja yang bersangkutan serta kemungkinan dilakukannya pemangkasan birokrasi.

Setelah disepakati dan dituangkan dalam bentuk Berita Acara, selanjutnya pembangunan sebuah proyek Teknologi Informasi dikerjakan secara teknis (Construction). Berbeda dengan yang dijalankan di beberapa daerah yang rela pekerjaan ini dinilai sesuai Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan dan Bappenas mengenai nominal fee yang dihitung secara man/hours, proyek-proyek Teknologi Informasi Pemerintah Kabupaten Kebumen dihitung secara paket pekerjaan. Kebijakan ini sesuai dengan kemampuan anggaran Daerah serta relatif kecilnya alokasi dana bagi pengembangan Teknologi Informasi & E-Government Pemerintah Kabupaten Kebumen.

Untuk kegiatan pengembangan Sistem Informasi, kegiatan ini lebih banyak dilaksanakan oleh pihak rekanan. Namun untuk kegiatan networking dan fisik lainnya, keterlibatan team Pemerintah Kabupaten cukup tinggi. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari salah satu transfer knowledge guna menghindari ketergantungan terhadap pihak rekanan.

Setelah sistem informasi terbentuk, maka dilakukan ujicoba secara bertahap hingga seluruh user requirment terpenuhi. Proses ini biasanya berlangsung cukup dinamis, karena implementasi Teknologi Informasi & E-Government pada beberapa bagian menyebabkan pemangkasan birokrasi yang seringkali kurang disukai oleh pihak yang merasa terancam eksistensi strukturalnya, disamping permintaan tambahan terhadap report dan integrasi database guna menghindari duplikasi.

Mengingat beberapa Sistem Informasi & Database tidak dikelola langsung oleh Pengelolaan Data Elektronik Kebumen, maka proses integrasi memerlukan pendekatan dan koordinasi yang tidak mudah, sehingga menyusun kebijakan dalam bentuk beberapa pedoman pengembangan Teknologi Informasi & E-Government (Sistem Informasi & Database, networking dan Domain/Sub domain) yang ditandatangani oleh Bupati menjadi solusi efektif. Permasalahan yang timbul pada umumnya karena kekhawatiran terhadap security dan privacy Satuan Kerja yang memiliki database tersebut.

Proses akhir adalah serah terima proyek, dimana secara teknis dilakukan pengecekan & pengujian teknis dan administratif oleh panitia anggaran yang dalam formasinya mencakup beberapa Satuan Kerja teknis termasuk Satuan Kerja yang membangun & mengembangkan Sistem Informasi. Sesuai ketentuan yang ada dan pada prakteknya, rekanan masih memiliki kewajiban untuk melakukan maintenance dan pendampingan selama satu tahun terhitung mulai diserahterimakannya proyek tersebut. Klausul ini memungkinkan dilakukannya penambahan fitur-fitur, terutama pada reporting secara proporsional.

Proses dari beberapa tahap di atas diiringi dengan pemenuhan dokumen administratif sebagaimana ditetapkan dengan peraturan yang berlaku. Permasalahan yang timbul adalah ketika sebuah Sistem Informasi dibangun sendiri dan ada kesan tertutup oleh Satuan Kerja. Pada umumnya user requirment tidak disusun, sehingga pengerjaannya berlarut-larut. Bahkan pada beberapa hasil proyek mengharuskan Satuan Kerja yang bersangkutan mengalokasikan proyek Teknologi Informasi baru guna melengkapi kekurangan yang ada pada Sistem Informasi yang sudah dibangun sebelumnya. Perubahan signifikan pada kebijakan nasional yang berdampak pada penyesuaian Sistem Informasi juga menyebabkan dimunculkannya proyek Teknologi Informasi baru yang sebenarnya bisa diantisipasi melalui pengembangan opsi pada setiap pembuatan Sistem Informasi. Untuk itu memang diperlukan SDM yang memang benar-benar mampu mengelola Teknologi Informasi & E-Government.

Dengan demikian secara nyata terbukti bahwa Information Technology Project Management cukup signifikan untuk diimplementasikan dalam sistem keproyekan Pemerintah Daerah. Tinggal bagaimana perilaku birokrasi itu sendiri. Ada kemauan atau tidak.

Publish : e-Indonesia Jan 2006

Stadium Alergi Birokrat pada Open Source Software

“Open Source Software (OSS) terlalu sulit untuk kami yang bukan orang IT”, kata seorang PNS di sebuah instansi pemerintah. Pada dasarnya pekerjaan mereka sehari-hari tidak pernah jauh dari perangkat komputer, jaringan komputer bahkan internet. Statement itu mungkin satu dari banyak ungkapan kalangan PNS. Namun, ketika pertanyaan dilanjutkan “Pernahkah anda menggunakan OSS?”, maka jawabannya : “Belum, hanya pernah dengar saja “. Ya, paling jauh hanya melihat saja.

“Mengapa harus belajar? Yang sekarang saja sudah nyaman meski pakai bajakan. Toh, nggak bakalan ada razia software ilegal di pemerintahan. Bisa, kacau pelayanan umum nantinya.....!”, kilah mereka dengan sangat yakin.

Meski belum melalui proses penelitian dan hanya mengandalkan pengamatan penulis terhadap para operator komputer pada berbagai instansi di berbagai daerah, yang menarik adalah : Pernyataan dan pengakuan PNS di atas bukan mewakili minoritas birokrat yang setiap harinya bekerja dengan komputer, sebaliknya, merupakan realitas dari jumlah terbesar. Banyak yang takut tanpa tahu apa yang mereka takutkan tersebut.

Lalu, seberapa alergi-kah para birokrat terhadap perubahan-perubahan drastis yang terjadi? Seberapa loyalkah mereka terhadap kebijakan-kebijakan yang sering berubah-ubah di negeri ini?

Pro Perubahan

Sistem komputerisasi di kalangan pemerintahan sebenarnya sudah dimulai sejak era 1990an melalui kebijakan nasional komputerisasi dan pembangunan aplikasi sederhana berbasis DOS. Meski masih berkesan sangat eksklusif dan hanya orang-orang tertentu yang dianggap “mampu” yang diijinkan mengoperasikan, namun kebijakan itu merupakan bagian dari proses modernisasi dari proses konvensional yang ada.

Perkembangan Teknologi Informasi yang juga mempengaruhi kalangan pemerintahan membawa kaum birokrat mengadopsi tren-tren terbaru. Bahkan ada budaya “high end minded” dalam belanja Teknologi Informasi. “Kegemaran” itu tentu berdampak pada penyesuaian interface teknologi. Dan pada kenyataannya, sebuah domain teknologi, khususnya software, memiliki interface yang tidak sewarna. Terdapat “birokrasi” yang berbeda antara distro yang satu dengan distro pengembangannya. Perilaku ini terdapat baik pada komunitas propietary maupun open Source.

Kenyataannya lainnya, meski dengan istilah-istilah atau icon-icon yang berbeda, terdapat standar interface yang sama antara produk berlisensi mahal dengan yang murah, bahkan gratis. Dengan demikian proses penyesuaian menuju efisiensi belanja Teknologi Informasi di pemerintahan pun diyakini tidak akan terlalu sulit meski memang perlu waktu.

Bukan itu saja. Sejak reformasi di Indonesia, telah banyak terjadi perubahan kebijakan nasional, khususnya yang berkaitan dengan bisnis proses dalam birokrasi. Perubahan bisnis proses itu bukan sekedar proses konvensional, namun juga berdampak pada bisnis proses berbasis Teknologi Informasi. Kebijakan e-government yang telah dijalankan secara nasional yang lekat bernuansa sektoral sangat mempengaruhi kebijakan Pemerintah Daerah.

Contoh kongkrit adalah kebijakan di bidang kependudukan yang mengalami beberapa kali perubahan bisnis proses, meski tidak banyak. Namun perubahan kebijakan ini merupakan proses top down yang bersifat wajib nasional. Artinya loyalitas menjadi faktor utama penilaian kinerja. Pada implementasinya, terjadi perubahan sistemik yang sangat drastis, setidaknya untuk kalangan “orang daerah”, mulai dari sistem koneksi, software development-nya, database hingga bisnis prosesnya.

Hal yang lebih parah dialami dalam Sistem Informasi keuangan Daerah. Hampir setiap 3 tahun sekali terdapat perubahan yang sangat signifikan, bahkan drastis. Tidak hanya secara Teknologi Informasi mengalami perubahan, secara manual pun terjadi perubahan bisnis proses yang luar biasa.

Dalam praktek sehari-hari, fungsi office dalam operasional perkantoran sangat mendominasi sebagian besar pekerjaan berbasis Teknologi Informasi para PNS pada sebagian besar instansi pemerintah. Meski memiliki fungsi interaktif dan multimedia, sistem jaringan, intranet dan internet lebih banyak dipakai sebagai pelengkap, bila tidak dinyatakan sebagai “hiburan”.

Dalam perkembangannya, para operator komputer di kalangan pemerintahan juga mengalami hal yang sama dengan masyarakat pada umumnya, yaitu mutasi interface software komputer perkantoran. Adakah kendala signifikan dalam penyesuaian interface lama ke baru? Bila kendala beralih ke interface office yang satu ke interface office yang lain, mengapa penetrasi Teknologi Informasi di jajaran pemerintahan tumbuh secara signifikan hingga mencapai prestasi atau status saat ini? Kenyataannya, proses komputerisasi berjalan cukup pesat di pemerintahan, meski belum keseluruhan mengadopsi konsep efektifitas dan efisiensi sebagaimana yang ditawarkan teknologi canggih bernama Teknologi Informasi ini.

Kebijakan Mengambang

Fakta menunjukkan bahwa meski otonomi daerah telah membentuk “raja-raja kecil”, loyalitas pada NKRI melalui kebijakan terpusat atau top down masih tinggi. Loyalitas tersebut berjenjang mulai dari presiden, Gubernur, Bupati, Kepala dinas hingga jajaran staf. Loyalitas tersebut memungkinkan sebuah komando ditaati oleh semua pihak. Dalam kaitan melegalkan komputer pemerintahan di Indonesia, belum ada sebuah komando nasional maupun kebijakan kepala daerah untuk memanfaatkan alternatif OSS bagi komputer pemerintahan.

Tidak mudah barangkali untuk mengalihkan penggunaan software propietary bajakan yang selama ini sudah enjoy digunakan. Namun bukan mustahil Pemerintah melakukan aktifitas bertahap menuju efisiensi pemerintahan.

Kebijakan penggunaan software legal secara signifikan juga berpengaruh pada perilaku masyarakat, karena pendidikan juga merupakan bagian dari tanggungjawab pemerintah. Melihat status dunia yang menempatkan Teknologi Informasi sebagai bagian dari hidup manusia, tingkat kemampuan finansial masyarakat Indonesia khususnya dalam belanja Teknologi Informasi serta pertumbuhan komunitas OSS, sudah selayaknya Pemerintah membantu rakyat menggunakan produk legal yang paling efisien, meski tidak menutup kemungkinan mereka yang mampu akan memilih di propietary.

SIMDA di OSS

Namun demikian, kenyataannya memang tidak sedikit kendala dalam implementasi OSS ditengah keterlanjuran dalam pengembangan e-government di Indonesia. Tidak sedikit aplikasi pemerintahan yang dibangun hanya berjalan melalui software yang sudah ada, propietary. Khususnya yang berbasis desktop.

Tentu saja tidak akan semudah sekedar menjalankan aplikasi tersebut di OSS. Perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Dan dalam proses penyesuaian tersebut tentu saja akan berdampak pada konsumsi anggaran yang barangkali tidak sedikit. Terutama bagi mereka yang hanya bisa membeli, tapi tidak mampu melakukan pengembangan sendiri. Pendeknya, mereka yang tergantung dengan rekanan.

Pemerintah Republik Indonesia memang menghadapi situasi dilematis dalam proses legalisasi komputer abdi negara dan abdi masyarakat. Solusi yang ditawarkan tentu saja tidak bisa hanya satu alternatif. Kebijakan untuk level administrator database dan pengembangan aplikasi tentu harus berbeda dengan level operator biasa.

Polemik dalam kebijakan yang harus dipilih Pemerintah antara propietary dan OSS justru dapat dijadikan momentum nasional untuk lebih serius menangani sistem komputerisasi, otomatisasi, pengembangan infrastruktur, SDM hingga pengembangan e-government secara komprehensif.

Dan, bagaimana pun juga para birokrat tetap akan loyal terhadap kebijakan apa pun untuk melegalkan komputer Pemerintahan. Meski harus bekerja keras demi mempertanggungjawabkan uang rakyat. Pertanyaannya, Berani atau tidak. Para birokrat alergi dengan OSS? Mereka hanya belum pernah mencoba dan bersikap fair saja.

Publish : Biskom Februari 2007

Keadilan Dalam Pelayanan Umum Satu Atap

Pelayanan prima. Sebuah rangkaian kata yang indah dan telah lama didengungkan oleh kalangan swasta dan Pemerintah. Kalangan swasta merespon pelayanan prima sebagai suatu kunci marketing yang strategis. Tidak mengherankan apabila pelatihan dan penanaman etika yang mengarah pada pelayanan prima di kalangan swasta menjadi standar pendidikan personalnya. Bukanlah sesuatu yang mengherankan bila kita masuk ke sebuah bank swasta, maka kita akan disambut dengan ramah, mulai dari senyum dan salam dari satpam yang membukakan pintu sampai dengan pelayanan yang memuaskan dari para petugasnya. Bandingkan bila kita masuk ke sebuah Kecamatan untuk mengurus perpanjangan KTP, maka kita akan menemukan sikap dingin para petugas, tidak banyak senyum, serba formil dan tidak jarang disambut oleh para calo yang mencari mangsa.

Komitmen untuk menyelenggarakan pelayanan prima sebenarnya sudah mulai tampak dalam birokrasi di Indonesia. Keseriusan ini ditandai dengan sangat besarnya belanja Tehnologi Informasi bagi kepentingan pelayanan umum dan secara bertahap meninggalkan perangkat konvensional, walaupun secara tehnis dan administratif belum banyak terjadi sinergi lintas instansi dan integrasi database pelayanan umum, setidaknya upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan umum telah ada.

Saat ini di kalangan Pemerintahan dikenal adanya dua pola pelayanan, yaitu pola distributif dan pola sentralistis. Pola distribusi merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, dimana pelayanan umum dikelola secara sektoral pada berbagai instansi. Proses birokrasi pelayanan umum yang memerlukan koordinasi lintas instansi dilakukan juga dengan dua pola, yaitu pertama, pelanggan/masyarakat yang harus berjalan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain. Dan pola kedua, dokumen persyaratan milik pelanggan dimasukkan ke salah satu instansi, selanjutnya birokrasi yang menyalurkan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain pula melalui kordinasi lintas instansi. Artinya, proses legalisasi hingga diterbitkannya sebuah dokumen publik merupakan wewenang masing-masing instansi.

Pola ini sebenarnya merupakan pola klasik dan cenderung tertutup, sehingga masyarakat kurang memperoleh informasi jelas terhadap proses kemajuan pengajuan dokumen publiknya. Meskipun ditetapkan nilai rupiah secara pasti sebagai biaya yang diperlukan, pada prakteknya biaya akan melebihi dari ketentuan yang berlaku. Standarisasi waktu pelayanan birokrasi biasanya juga kurang bisa dimonitor oleh pelanggan/masyarakat, sehingga cepat lambatnya proses birokrasi menjadi sangat relatif, tergantung dari ini dan itu dalam birokrasi. Pola ini yang mendorong masyarakat dan birokrat untuk menyepakati “uang pelicin”.

Pola kedua adalah sentralistik. Pola ini mulai diterapkan di beberapa daerah. Secara umum pola ini diimplementasikan melalui pembentukan Unit Palayanan Satu Atap sebagai satu unit mandiri dengan mencabut proses pelayanan umum dari instansi sektoralnya, dari mulai pengadaan blangko dokumen publik hingga perlengkapannya. Sebagian besar kegiatan administrasi dan tehnis dilakukan oleh Unit Pelayanan Satu Atap, sedangkan instansi sektoral lebih banyak hanya menangani laporan administratif saja.

Pada tahap awal pembentukannya pola sentralistik ini sering mendapat banyak tantangan, khususnya dari instansi sektoralnya karena lahan basah mereka bakal hilang. Banyak pihak yang mencurigai bahwa pembentukan institusi ini merupakan upaya untuk merebut lahan penghasilan instansi sektoral. Potensi konflik pada awal pembentukannya sangat tinggi. Biasanya hanya melalui keputusan politik pola sentralistik dalam pelayanan umum ini bisa berlangsung.

Pola sentralistis ini biasanya sudah tertata secara lebih baik. Transparansi dalam setiap proses birokrasi lebih nyata. Pada beberapa daerah bahkan berani memberi kompensasi terhadap keterlambatan pelayanan umum yang diberikan, namun sisa sakit hati dari instansi sektoral tetap tidak bisa dihilangkan, sehingga terjadi disharmonisasi dalam internal birokrasi.

Sebuah unit pelayanan terpadu pun sebenarnya menyimpan berbagai fenomena yang menjadi salah satu penyebab penolakan instansi untuk bergabung. Integrasi pelayanan umum tentu saja akan melibatkan lintas instansi dalam sebuah proses birokrasi. Simpul-simpul birokrasi yang basah akan serta merta menjadi lahan kering. Simpul-simpul kering itu pada umumnya terdapat pada simpul tengah. Simpul tengah ini misalnya para surveyor pada penerbitan SITU (Surat Ijin Tempat Usaha). Tanpa integrasi pelayanan umum, para surveyor ini pada umumnya mendapat komisi besar dari para pengusaha yang akan membuka usaha, terutama perusahaan-perusahaan besar. Sudah menjadi hal yang lumrah apabila oknum birokrat tersebut berusaha keras lahan basah itu hilang seketika.

Menyelenggarakan pelayanan umum bukan hanya berbicara masalah proses dari satu meja ke meja yang lainnya, namun juga bersangkutan dengan pengadaan dokumen publik ataupun perlengkapan lainnya. Kita lihat contoh dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP) misalnya, dimana dalam satu tahun dimungkinkan pengadaan blangko KTP mencapai ratusan ribu lembar, bahkan untuk kelas Kota Metropilitan dan Ibu Kota Propinsi bisa mencapai jutaan lembar blangko KTP. Belum termasuk sarana pendukungnya, seperti tinta, kertas serta perangkat komputernya.

Permainan Yang Adil

Untuk menghindari saling curiga antar birokrat dan melancarkan urusan masyarakat dalam pelayanan umum, maka Unit Pelayanan Umum Satu Atap tidak mutlak harus “merebut” pelayanan umum dari seluruh instansi dan menjadikannya sentralistik. Upaya merebut lahan basah tersebut hanya akan mendatangkan penentangan kuat sejak proposal pembentukan Unit Pelayanan Satu Atap ini, sehingga konsep peningkatan pelayanan prima justru menjadi “perang saudara” para birokrat. Bila diawali dengan konflik seperti ini, maka hanya kekuatan politik yang mampu mengambil peran, dan ketika atmosfer politik berubah, maka akan dimunculkan skenario baru oleh birokrat untuk melakukan distribusi pelayanan umum (pelayanan umum dikembalikan ke setiap instansi sektoral) dan itu berarti masyarakat harus bersusah payah lagi pergi dari satu instansi ke instansi lain untuk mengurus satu dokumen publiknya. Pemerintah Daerah pun terlihat kurang konsisten dalam menyelenggarakan pelayanan umum.

Melalui pemahaman kemampuan Tehnologi Informasi sebenarnya untuk membangun sebuah Unit Pelayanan Satu Atap bisa dilakukan melalui penggabungan pola sentralistis dan distributif. Penggabungan kedua pola ini mencoba mengambil jalan tengah yang “adil” tanpa melalui proses saling serobot lahan basah antar birokrat namun masyarakat tetap diuntungkan karena proses pelayanan publik dilaksanakan satu pintu.

Realisasi dari pola ini secara prinsip hampir sama dengan pola sentralistik di atas, namun dalam prakteknya tidak mengambil pelayanan umum yang ada pada instansi sektoral atau hanya memfungsikan instansi sektoral dalam hal reporting saja, namun tetap memfungsikannya sebagai penyedia bahan dan perlengkapan, tenaga operator komputer, pelaksanaan survey dan kegiatan-kegiatan birokrasi pelayanan umum lainnya. Artinya instansi sektoral masih secara distributif menjalankan fungsi pelayanan umumnya. Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap merupakan kantor bersama walaupun untuk memudahkan koordinasi ditunjuk satu pejabat struktural dibantu beberapa pejabat fungsional yang bertugas memonitor dan mengendalikan pelaksanaan pelayanan umum agar berjalan dengan baik.

Dengan demikian secara tehnis pelayanan umum itu dikelola oleh masing-masing instansi sektoral hanya saja dalam operasionalnya dilaksanakan secara fisik dan dikoordinasikan oleh Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap. Dengan tetap memfungsikan instansi sektoral seperti itu, maka penolakan terhadap pembangunan Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap secara bijak dapat dihindari. Fungsi-fungsi koordinasi lintas instansi dilakukan secara online. Upaya untuk memanfaatkan aplikasi dan database pelayanan umum yang sudah running well dapat ditempuh guna menghemat biaya dan memberikan rasa nyaman bagi instansi sektoral bahwa apa yang dikerjakan oleh Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap hanyalah semata membantu tugas mereka. Bila perlu status server dapat didistribusikan juga ke instansi sektoral dengan catatan implementasi networking berjalan baik.

Secara konseptual, sebenarnya pola tidak lagi tepat disebut sebagai pelayanan satu atap, namun dalam kajian tehnis lebih tepat disebut sebagai Unit Pelayanan Satu Jaringan, karena walaupun dilaksanakan dalam satu atap namun cakupan jaringan pelayanan birokrasinya lebih luas dari pada yang terlihat secara fisik. Upaya pemberdayaan instansi terkait dalam wujud integrasi pelayanan umum ini akan menunjukkan peningkatan kualitas koordinasi birokrasi yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang kurang mampu dilakukan oleh birokrat itu sendiri.

Pemangkasan birokrasi sesuai dengan kesepakatan lintas instansi sektoral tetap harus dilakukan sehingga mampu meminimalisir interaksi antara masyarakat dengan birokrat yang memungkinkan dihindarinya KKN. Dengan pola yang adil ini, akhirnya masyarakat tidak menjadi korban sengketa internal birokrasi yang sebenarnya hanya berebut rejeki di lahan basah.

Dari sisi transparansi, memang masih terdapat sesuatu yang sepertinya disembunyikan oleh para birokrat melalui pola gabungan ini, karena sisi internal dalam hal pengadaan perlengkapan bagi kepentingan pelayanan umum memang kurang tersentuh perubahan. Namun demikian setidaknya secara internal terdapat transparansi (baca : tahu-sama tahu) antar instansi sektoral dengan Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap. Masyarakat juga bisa merasakan adanya transparansi, dimana mereka bisa memantau dokumen publik yang mereka usulkan secara online maupun melalui sms (tergantung pada sistem yang dikembangkan).

Relatif belum banyaknya Pemerintah Daerah yang mengimplementasikan pola Unit Palayanan Umum Terpadu Satu Atap ini semata memang bukan hanya karena kemampuan SDM dan penetrasi Tehnologi Informasi yang rendah. Faktor mental birokrat ternyata memberi andil cukup besar bagi terwujudnya pelayanan prima ini. (Dimuat di majalah Biskom 2005)

Publish : majalah Biskom

Open Source E-Government, Mengapa Takut?

Semenjak Perusahaan Operating System (OS) maupun aplikasi terutama yang tergabung dalam Business Software Aliance (BSA) mulai melakukan razia, tidak hanya kalangan masyarakat umum atau pengusaha besar, menengah maupun kecil saja yang mulai khawatir. Pada kenyataannya kalangan pemerintah pun mulai gerah.

Meski resiko politik selalu ada, mencoba menjadi pioner, Ristek telah berani menyatakan bahwa OS di Ristek telah menggunakan Open Source Software (OSS). Namun demikian di kalangan Pemerintah Daerah, kelihatannya belum banyak terpengaruh dengan kekhawatiran ini. Kebanyakan selalu beralasan, komputer yang menggunakan software bajakan tersebut digunakan untuk pelayanan umum dan belum ada anggaran untuk berbelanja OS propietary.

Baiklah, alasan klise itu barangkali bisa dikesampingkan dengan mengharapkan “pengertian dari BSA dan pihak kepolisian. Lalu bagaimana dengan kebijakan menjadikan e-government sebagai Open Source Software (OSS)? Kelihatannya kebanyakan pihak setuju meng-open source-kan e-government pada dataran lips service, tapi tidak banyak yang mau atau berani dalam strata action. Siapa dan mengapa?

Mengapa Open Source ?

Kiranya sudah banyak dipahami mengapa aplikasi e-government Indonesia selayaknya menjadi OSS. Secara prinsip proyek e-government dibiayai oleh rakyat atau dana hutang yang harus dibayar rakyat, atau dana hibah dari negara lain bagi rakyat yang dikelola oleh pemerintah, karena itu sudah sewajarnya menjadi milik rakyat Indonesia. Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah yang mengembangkan e-government pada dasarnya menggenggam amanah rakyat, meski secara realitas, hingga saat ini kebanyakan produk e-government belum banyak memberi manfaat signifikan bagi rakyat.

Ketergantungan Pemerintah terhadap rekanan/vendor dalam berbagai proyek e-government membuktikan bahwa disamping ketidakmampuan personil pada lembaga Teknologi Informasi pemerintahan dalam mengelola e-government dengan berbagai variasi teknologinya, ketergantungan itu ditenggarai sebagai bagian dari taktik bisnis yang tidak sehat guna mempertahankan penghasilan berkelanjutan bagi vendor dengan mengerjai pemerintah. Sehingga bukan merupakan hal yang mengherankan bila upaya pemberdayaan dan alih teknologi oleh rekanan/vendor kepada pengelola e-government dari kalangan pemerintahan dilakukan sekedar memenuhi kewajiban hukum saja, namun tetap dengan strategi mempertahankan aspek ketergantungan. Transfer knowledge and technology pun tidak jarang dilakukan setengah hati.

Memang tidak sedikit lembaga Teknologi Informasi/e-government di pemerintahan yang menjadi institusi “tempat sampah”, sehingga kualitas personil lembaga yang harusnya profesional secara teknis ini tidak mendapat perhatian serius. Tidak heran bila komitmen untuk menguasai pekerjaannya menjadi relatif rendah dan sulit untuk diharapkan menguasai teknologi dari hasil belanja e-government.

Namun demikian, semestinya penetapan e-government sebagai OSS akan mampu menggalang kekuatan masyarakat untuk berpartisipasi menyempurnakan aplikasi ataupun menyesuaikannya dengan kebijakan pemerintah yang memang sangat sering berubah-ubah. Selama ini hampir keseluruhan lembaga Pemerintah mengeluarkan biaya tambahan bila melakukan penyesuaian aplikasi.

Dari sisi rekanan/vendor pun, kebijakan menjadikan aplikasi e-government sebagai OSS diyakini akan menjadi bagian dari kontrol sosial, dimana masyarakat dan profesional Teknologi Informasi dari berbagai kalangan (termasuk saingan vendor) akan bisa melihat sejauh mana sebuah aplikasi e-government dibangun dan dikembangkan. Dengan demikian dapat diketahui berbagai kemungkinan celah, bug atau kualitas secara keseluruhan dari aplikasi e-government yang telah dibangun tersebut.

Bagaimana aplikasi, bisnis proses maupun berbagai fitur e-government yang dibuka secara luas bagi berbagai kalangan untuk menilai dan turut mengembangkan dapat menjadi tolok ukur kredibilitas rekanan/vendor, dibandingkan dengan biaya pembangunan/pengembangan. Singkatnya, masyarakat bakal tahu kualitas aplikasi e-government dan kemungkinan terjadinya “ketidak-beresan” dalam proyek e-government tersebut. Bisa jadi ketidak beresan bukan sekedar menyangkut masalah penggunaan anggaran saja, namun adanya upaya “menyabot” juga bakal diketahui publik. Dengan demikian, rekanan akan terpacu untuk memberi yang terbaik atau kredibilitasnya jatuh.

Kebijakan aplikasi e-government tertutup selama ini menyebabkan terjadinya duplikasi proyek e-government antar daerah yang sebenarnya tidak perlu terjadi dalam kaitannya dengan eksistensi NKRI. Bisnis proses yang dijalankan pada aplikasi e-government pada dasarnya mengacu pada kebijakan nasional meskipun dalam koridor otonomi daerah, walaupun terdapat variasi-variasi tertentu pada beberapa daerah, namun akan simple tertanggulangi dengan adanya open source.

Kebijakan open source e-government juga memungkinkan tumbuhnya standarisasi minimal e-government yang selama ini tidak kunjung berani ditetapkan Pemerintah Pusat secara nasional dengan alasan tidak ingin mengintervensi otonomi daerah, karena pembangunan aplikasi e-government akan melahirkan “pasar bebas e-government” yang akan menjadi pilihan selektif lembaga pemerintah yang belum mampu memiliki software dengan anggaran sendiri.

Mengapa Takut?

Tidak mengherankan wacana menjadikan proyek e-government sebagai OSS membuat banyak kalangan khawatir akan kehilangan penghasilan. Yang unik, kekhawatiran tersebut ternyata tidak hanya dimiliki oleh kalangan vendor e-government saja. Kalangan birokrat pemerintahan pun menjadi resah bila kebijakan ini diterapkan secara nasional.

Bila dinilai bahwa semua vendor e-government menolak kebijakan open source e-government, pada kenyataannya tidak demikian. Tidak sedikit vendor yang justru memiliki keinginan untuk membuka software e-government yang mereka bangun sebagai bagian dari persaingan kualitas produk secara profesional. Barangkali ini menjadi “seleksi alam” bagi para vendor e-government dan membuka tabir tebal yang menutup rapat berbagai proyek e-government di Indonesia. Bahkan ada rekanan yang berpendapat, “Kalau bukan dari kita, cepat atau lambat Pemerintah akan mendapat source dari vendor lain!”.

Lalu, apakah dengan melakukan open source e-government, maka semua potensi proyek e-government akan tertutup? Tentu saja tidak. Disamping beragamnya kebutuhan aplikasi e-government, proyek e-government bukan sekedar software saja.

Beberapa rekanan menyatakan bahwa mereka baru memperoleh keuntungan signifikan setelah menjual software e-government pada setidaknya lima Pemerintah Daerah. Tentu saja ukuran ini menjadi sangat relatif, karena disamping arti “keuntungan” bersifat sangat relatif, hampir keseluruhan rekanan tersebut tidak berani membuka (baca “jujur”) berapa mereka menjual produk e-government mereka kepada lembaga pemerintah.

Pada kalangan birokrat sendiri, merujuk statement mereka, hampir keseluruhan pimpinan lembaga Teknologi Informasi pemerintahan setuju open source e-government, namun kebanyakan tetap mengembangkan e-government mereka secara tertutup. Tentu saja alasan yang paling gampang digunakan adalah ketiadaan ketentuan hukum yang mengatur kebijakan open source e-government ini, terutama hingga tingkatan daerah. “Bila mudah, mengapa mempersulit diri?” Adakah ini bagian dari strategi mengungguli daerah lain supaya prestasinya lebih terlihat karena kaya akan aplikasi e-government?

Banyak kalangan sudah memahami, ketiadaan standar harga khususnya aplikasi e-government menjadi “lahan basah” pimpro e-government dan rekanan. Tidak menjadi rahasia lagi bila kedipan mata sudah bisa membangun rasa saling pengertian. Yang penting adalah bagaimana cara “mengatur” agar permainan tetap cantik. Meski tidak semua pimpro bertindak demikian, namun oknum pimpro seperti tersebut di atas merupakan pihak yang paling potensial menolak upaya menjadikan e-government sebagai OSS. Tentu saja berbagai alasan “arif” menjadi landasan yang terlihat meyakinkan.

Seiring dengan sedang dibahasnya RUU ITE dan RPP E-Procurement, sudah seharusnya para petinggi pengambil kebijakan nasional mulai mempertimbangkan kebijakan yang jelas-jelas berpihak kepada rakyat ini. Meskipun dilaksanakan secara bertahap, yaitu diawali dengan kebijakan yang mewajibkan rekanan e-government menyerahkan source code kepada lembaga pemerintahan pemilik proyek.

Sangat sering penulis menjumpai sengketa source code ini, khususnya di daerah. Belum adanya ketentuan hukum yang mengatur menyebabkan panitia lelang sering kalah pamor dengan rekanan mengenai kewajiban menyerahkan source code e-government dari rekanan kepada Pemerintah Daerah setempat. Apalagi kalau politisi lokal yang berkuasa ikut bicara. Ada pertanyaan profesional yang selalu dilemparkan, “berapa banyak berani bayar untuk mewajibkan penyerahan source code?”. Pada kenyataannya ada proyek milyardan rupiah yang ternyata source code tetap ditahan rekanan e-government.

Pertanyaan tersebut tentu saja membuat minder Pemerintah Daerah “miskin”, sehingga menjadi lebih tidak berdaya. Namun demikian, sebuah jawaban dari pertanyaan diatas justru dijawab oleh vendor/rekanan e-government yang lain (pada sebuah milis), “Kalau keberatan menyerahkan source code, tidak perlu ikut proyek e-government !”.

Jadi, pada kenyataannya tidak ada satu pihak pun dalam stakeholder lingkaran setan e-government yang bersifat solid. Masing-masing pihak memiliki friksi. Dan hanya kebijakan nasional yang mampu mengatasi. Lalu apa lagi yang ditunggu?

Dengan keberanian Pemerintah secara nasional menetapkan kewajiban open source e-government, diyakini akan menciptakan efisiensi luar biasa pada lingkup nasional. Saat ini, dengan makin getolnya Pemerintah Daerah membangun e-government, maka nominal mencapai Trilyun Rupiah harus dikeluarkan untuk produk yang bisa jadi serupa antar daerah.

Pada kenyataannya otonomi daerah pada sektor e-government juga turut membangun ego otonomi dan sektoral yang menyebabkan kerjasama lintas daerah dalam pengembangan e-government sulit direalisasikan. Bayangkan bila untuk (misalkan) aplikasi keuangan daerah hanya dibangun oleh Depkeu atau satu Pemerintah Daerah saja, lalu Pemerintah Daerah lainnya bisa dengan gratis mengcopy dan memodifikasi software tersebut sesuai kebutuhan di daerahnya, maka ber-Milyard Rupiah akan dihemat setiap tahunnya.

Keberanian Departemen Komunikasi & Informatika menetapkan proyek e-government di internal Departemen Komunikasi & Informatika sebagai Open Source Software atau setidaknya menyerahkan source code, kurang ter-sosialisasikan dengan baik hingga daerah. Semestinya Departemen Komunikasi & Informatika berani mengambil inisiatif me-nasionalkan kebijakan open source e-government guna menepis tudingan e-government sebagai cost center dan menjadi lahan korupsi karena tidak adanya standar harga e-government Indonesia dan acap kali dicurigai menjadi media politisi untuk mengembalikan modal menjadi Kepala Daerah.

Secara politis pun, kebijakan meng-open e-government tidak akan merugikan negara, karena e-government tidak sepenuhnya masuk Operating System, sehingga Pemerintah RI tidak perlu takut dengan tekanan negara superpower yang menjadi backing perusahaan Operating system dunia. Lalu, mengapa takut?

Publish : Biskom September 2006

Nasib Intranet di Pemerintahan

Dalam beberapa aktifitas, pengembangan e-government di Indonesia terjadi loncatan-loncatan aktifitas yang ternyata kurang diimbangi dengan penguatan tahapan sebelumnya. Ambil contoh misalnya : pesatnya pengembangan aplikasi atau sistem informasi e-government sementara masterplan dan blueprint belum ada. Kemudian pembangunan network Teknologi Informasi antar instansi Pemerintah tanpa ada content e-government dan fokus front office (website) dengan kurang memperhatikan back office, baik intranet maupun berbagai aplikasi pemerintahan dasar yang menjadi motor penggerak efisiensi dan efektifitas pelayanan internal (birokrasi) maupun publik.

Idealnya untuk bisa berinteraksi dan bertransaksi dengan publik melalui Teknologi Informasi, Pemerintah harus memiliki kesiapan yang cukup di internal terutama berkaitan dengan mindset pegawai, infrastruktur, prosedur layanan dan protap koordinasi berbasis Teknologi Informasi. Bila pun tidak harus menunggu kesiapan secara total, namun kesiapan internal menjadi kunci sukses front office.

Sejak Departemen Dalam Negeri menginstruksikan Pemerintah Daerah untuk membangun lembaga pengelola Teknologi Informasi atau lebih dikenal Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) pada era 1995-an, istilah intranet sudah dikenal di kalangan pemerintahan. Bahkan pada tahun 2000-an, keberadaan intranet ini menjadi salah satu “gengsi” yang sering dibanggakan antar sesama KPDE. Namun, sejauh mana intranet itu benar-benar dijalankan? Berapa luas cakupan pemanfaatannya?

Sebenarnya meski website internet makin berkembang pesat, tidak sedikit lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah yang masih mempunyai perhatian terhadap implementasi intranet di daerahnya. Namun pada kenyataanya implementasi intranet tidak semulus seperti kelihatannya. Musuh besarnya adalah “kesulitan merubah budaya birokrasi”. Yang lebih menyedihkan, pada kenyataannya kesulitan merubah budaya itu justru berawal dari pimpinan lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah yang “buta” atau tidak melihat manfaat dari intranet bagi lembaga yang dipimpinnya. Bila benar demikian, bagaimana bisa diharapkan bisa berkembang luas di luar lembaga Teknologi Informasi hingga ke pimpinan tertinggi Pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Keseriusan lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah terhadap pengembangan website di internet yang memang lebih menarik dan mampu mengangkat gengsi dalam lingkup yang lebih luas makin membuat intranet makin terlantar. Lalu, bagaimana posisi intranet dalam pemerintahan? Seberapa besar birokrasi memperoleh manfaat dari implementasi intranet?

Tentang Intranet

Dari berbagai definisi intranet, barangkali secara umum intranet dapat dipahami sebagai jaringan komputer private yang menggunakan IP, koneksi jaringan, dan dimungkinkan sistem jaringan telekomunikasi publik sebagai media akses informasi internal dengan sistem pengamanan tertentu antar pegawai. Pada umumnya memiliki konsep yang serupa dengan website pada umumnya. Http dan berbagai fitur internet, seperti FTP dan email juga dapat berfungsi di intanet.

Dalam implementasinya intranet dapat berfungsi sebagai media komunikasi, media interface manajemen dokumentasi berbagai media, hingga menjadi asisten pribadi. Intranet menjembatani komunikasi internal melalui fungsi email lokal, chatting, teleconference, nota dinas, pengumuman hingga iklan internal. Melalui intranet fungsi server data juga dapat diatur, sehingga keamanan data (berbagai format) menjadi relatif dapat dijamin keamanannya, karena hanya user yang bersangkutan yang dapat mengakses data tersebut.

Sebagai asisten pribadi, intranet menyediakan fitur kalender kegiatan yang dapat memberi “alarm” kepada user berbagai appointment yang sudah dijadwalkan. Fungsi komunikasi tertulis pun pada umumnya telah disediakan, sehingga staf bisa memberi telaahan kepada atasan dan sebaliknya atasan dapat memberikan nota dinas kepada bawahannya maupun nota dinas horisontal.

Manfaat bagi Birokrasi

Intranet menjadi salah satu solusi efisiensi yang cukup luar biasa dampaknya. Di era bandwidth mahal saat ini, intranet menjadi media irit yang mampu mengurangi akses internet, karena berbagai kebutuhan organisasi sedapat mungkin disediakan di internal. Dalam birokrasi pemerintahan, kolaborasi antar pegawai-antar pejabat cenderung terjadi internal, sehingga akan lebih bijak bila komunikasi tersebut dibangun melalui intranet, bukan berfoya-foya melalui internet. Disamping isue mahal, penggunaan intranet memungkinkan akses komunikasi berjalan lebih cepat.

Proses surat menyurat pun secara efektif dapat dilakukan melalui intranet, sehingga penggunaan kertas pada teknologi konvensional dapat lebih diirit. Disadari atau tidak penggunaan kertas di kalangan pemerintahan untuk kebutuhan internal memakan biaya yang masih signifikan. Ada yang berujar bahwa dokumen hitam di atas putih adalah yang utama, karena dokumen semacam itu dapat menjadi bukti kongkrit yang belum dapat dijawab oleh payung hukum Teknologi Informasi di Indonesia.

Barangkali memang benar demikian, namun pada dasarnya tidak semua dokumen internal memiliki sensitifitas sejauh itu, sehingga tetap ada hitam di atas putih. Melalui intranet pun berbagai nota dinas, disposisi serta dokumen-dokumen rutin tetap dapat dicetak dengan signature didalamnya. Pada dasarnya, selama disepakati secara kelembagaan, dokumen elektronik yang belum memiliki payung hukum kuat secara nasional, tetap memiliki kekuatan yang barangkali bisa disetarakan sesuai porsi lokal.

Bukan hanya masalah efisiensi penggunaan kertas, kecepatan komunikasi pun terjawab dengan intranet. Bila mengandalkan birokrasi konvensional, maka sebuah lembar disposisi misalnya memerlukan waktu yang relatif kurang cepat karena adanya ketergantungan terhadap personil yang bertugas mendistribusikannya. Di kalangan birokrasi, lembar disposisi pada umumnya dikelola oleh Tata Usaha. Sehingga cepat atau lambatnya sebuah disposisi sampai kepada personil/staf dimaksud tergantung dari kesigapan dan kemauan personil ketata usahaan yang harus mengagendakan secara manual setiap proses alur lembar disposisi. Melalui intranet dengan sistem yang baik, setiap disposisi yang dikeluarkan pimpinan secara otomatis bisa diagendakan secara elektronik, dan dengan kecepatan yang nyaris realtime bisa sampai kepada personil yang dituju.

Intranet juga membantu mengatasi kendala bagi personil yang memiliki mobilitas cukup tinggi, sehingga tidak setiap saat bisa duduk di meja dan membaca setiap lembar disposisi. Melalui intranet yang terkoneksi dengan jaringan publik, staf dalam birokrasi tetap dapat men-cek disposisi maupun berbagai instruksi pimpinan dimana pun dan kapan pun.

Dari sisi monitoring pun keberadaan intranet menjadi sangat membantu, karena intranet juga mampu memonitor tindak lanjut dari disposisi, instruksi maupun pekerjaan rutin yang telah diberikan sebelumnya. Dengan demikian bawahan pun menjadi terpacu untuk menjalankan tanggungjawabnya dengan baik.

Melawan Kearifan Konvensional

Seringkali pembangunan infrastruktur jaringan Teknologi Informasi di pemerintahan diperperdebatkan oleh beberapa kalangan dengan isue pokok, miskinnya content yang memanfaatkan infrastruktur tersebut. Intranet merupakan sebuah jawaban sederhana, murah bahkan softwarenya bisa didapatkan secara gratis (open source). Disamping proses yang sesuai Standard Operasi dan Prosedur birokrasi yang harus dijalankan, salah satu permasalahan pokok dalam birokrasi adalah lemahnya koordinasi. Proses komunikasi dalam koordinasi seringkali dikalahkan oleh birokrasi internal pemerintah sendiri yang tidak jarang berbalut ego dan sok priyayi, sehingga alur yang mestinya sederhana menjadi tidak mudah.

Alasan klasik, bahwa dengan teknologi konvensional hasil juga sama saja, pada dasarnya justru bertentangan dengan maraknya belanja perangkat Teknologi Informasi di setiap kantor bahkan notebook khusus bagi para pejabat yang nyatanya lebih banyak dipakai untuk pengetikan surat-menyurat (mail/email) dan multimedia pasif. Karena itu memaksimalkan fungsi PC bukan sekedar sebagai pengganti mesin ketik, melalui peran komunikasi berbasis Teknologi Informasi bisa menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban moral atas penggunaan uang rakyat.

Pemanfaatan bandwidth internet sekedar memberi fasilitas browsing non pekerjaan terutama pada jam dinas bagi pegawai juga memiliki resiko kecenderungan konsumtif. Karena itu komunikasi internal memang lebih optimal melalui intranet, bukan internet. Dengan membagi kepentingan melalui intranet dan internet, maka beban bandwidth bisa dikurangi dan dananya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan e-government produktif lainnya.

Berbagai aplikasi intranet, mulai dari yang propietary maupun yang Open Source Software (OSS) tersedia cukup banyak dan bervariatif. Untuk Pemerintah Daerah yang memiliki anggaran terbatas juga tidak perlu berkecil hati, karena tetap bisa memanfaatkan software intranet yang cukup powerfull secara gratis dengan memilih mana yang paling dianggap tepat melalui bantuan search engine.

Departemen Komunikasi & Informatika sendiri pernah memanfaatkan hal ini melalui office automation. Aplikasi sejenis lainnya misalnya smart office dan kantaya. Berbagai produk intranet gratis berbasis office automation dapat dengan cukup mudah dikonversi sesuai kepentingan standar kantor pemerintahan di Indonesia.

Dalam kondisi dimana banyak lembaga Pemerintahan yang sudah terlanjur mengembangkan e-government, bukan hal yang tabu intranet kembali menjadi perhatian untuk kembali ditata dan dibudayakan dalam birokrasi pemerintahan.


publish : Biskom Oktober 2006

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...