25 November 2007

“Mengunci” Lelang Proyek E-government

Pada tulisan saya sebelumnya, saya mengasumsikan setidaknya ada lima modus operandi dalam e-corruption, antara lain :

- Markup,

- High End fever,

- Licence Trap

- Arogansi pemerintah level atas memaksakan proyek ke pemerintahan dibawahnya

- Copy & paste, dan

- Jebakan training

Ternyata berkembang trend tersembunyi yang barangkali tidak baru, yaitu melakukan “kuncian” terhadap proyek e-government. Kuncian ini menyebabkan suatu proyek e-government mengarah pada upaya memenangkan pihak yang sebenarnya ikut bermain pada munculnya proyek tersebut atau bahkan yang meng-“create” teknis proyek e-government tersebut. Suatu bentuk KKN gaya baru. Pada umumnya kuncian ini dilakukan pada proyek-proyek dengan nilai rupiah besar.

Modus

Kuncian ini dijabarkan melalui Term Of Reference (TOR) atau Kerangka Acuan Kerja (KAK). Perilaku ini terjadi baik pada lelang proyek infrastruktur maupun software (COntent). Metode kuncian yang dilakukan antara lain :

1. Spesifikasi yang mengarah pada produk tertentu

Metode ini barangkali sudah sangat dianggap “lazim” guna menyikapi aturan Kepres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah yang melarang penyebutan merk tertentu. Akhirnya muncul spesifikasi teknis yang teramat spesifik pada TOR. Bahkan pada beberapa proyek menyebutkan ukuran kotak (box) IT active device hingga dimensi millimeter (mm).

Lemahnya kemampuan SDM PNS yang bertanggungjawab di bidang e-government menyebabkan tidak sedikit dari pengelola uang rakyat ini memasrahkan sepasrah-pasrahnya TOR suatu proyek e-government kepada “partner kerja” dari swasta. Akhirnya, tentu saja si “teman baik” ini akan menyusun TOR yang memungkinkan hanya dia yang paling berpotensi untuk menang. Tahu sama tahu lah….

2. Pasal khusus dengan “persyaratan khusus”

Kepres 80 tahun 2003 sebenarnya tidak melarang adanya aturan tambahan dalam sebuah proyek e-government sejauh masih dalam skala wajar dan tetap menjamin fairplay. Sayangnya definisi wajar ini menjadi sangat relative dan fairplay terlupakan. Salah satu contoh perilaku ini adalah munculnya pasal TOR pada suatu Pemerintah Daerah yang mensyaratkan rekanan yang boleh ikut tender adalah yang pernah memenangkan proyek dan mengjalankan proyek sejenis di Pemerintah Daerah lain. Bahkan ada yang mensyaratkan pernah menang pada dua atau tiga Pemerintah Daerah.

“Kebijakan” ini menutup peluang perusahaan Teknologi Informasi yang belum memiliki aplikasi dimaksud untuk ikut tender. Padahal tidak ada yang berani menjamin bahwa aplikasi yang berhasil di suatu Pemerintah Daerah akan menjamin keberhasilan di Pemerintah Daerah lain, meski dasar aturan yang diacu secara nasional tidak berbeda. Kultur dan kebijakan local menyebabkan munculnya relatifitas keberhasilan ini.

Kondisi ini melahirkan diskusi serius di milis egov-indonesia@yahoogroups.com dengan polemic : aplikasi e-government yang sudah jadi (paket) lebih mapan disbanding tailormade, yang membutuhkan waktu lama pada kondisi kecepit.

3. Gelar

Fenomena mensyaratkan rekanan yang ikut tender harus memiliki team leader dan pendukungnya dengan gelar sangat tinggi, barangkali dalam asumsi positif diperlukan guna mensukseskan proyek. Namun seringkali terlihat lucu ketika sebuah proyek yang tidak terlalu besar, atau proyek aplikasi yang relative sederhana, mensyaratkan team leader dengan gelar S3 dan pengalaman 10 tahun di bidangnya. Bahkan ada yang mensyaratkan lima programmers yang masuk dalam team harus bergelar S2 dengan pengalaman 10 tahun.

Niat baik yang berbalut kuncian ini menyebabkan hal logis menjadi dikesampingkan. Perkembangan Teknologi Informasi dewasa ini memungkinkan tidak sedikit gelar S1 Teknologi Informasi tertentu sangat mampu mengerjakan aplikasi e-government. Penentapan team rekanan dengan spesifikasi gelar tinggi juga berdampak pada tingginya nilai proyek, karena tentu berbeda honor programmer S1 dan S2.

4. Waktu pengerjaan Pendek

Teknik ini juga bagian dari konsep kuncian lelang proyek e-government. Mekanisme penganggaran dan pencairan dana, ditambah proses lelang yang berbelit dijadikan kambing hitam mengapa suatu proyek dilaksanakan dengan tengat pengerjaan yang sangat pendek. Terlupakan bahwa bisa jadi mepetnya pengerjaan proyek adalah suatu kengengajaan.

Tidak dipungkiri bahwa pada proses penyusunan anggaran Pemerinta, khususnya di daerah, berlangsung sangat terlambat. Konsekuensinya adalah terlambatnya pembangunan daerah, termasuk didalamnya sector e-government. Ketakutan PNS menjadi panitia lelang menjadi pelengkap keterlambatan proses tender. Akhirnya pada triwulan terakhir, bom lelang Pemerintah relative tinggi.

Kondisi kecepit ini menjadi legalisasi terhadap penetapan waktu pengerjaan proyek e-government menjadi kurang masuk akal. Sehingga tidak heran bila resiko kegagalan menjadi relative tinggi. Modus ini melengkapi item modus nomor 2 di atas.

Fenomena “pemerintah tidak boleh memilih merk” sebagai jaminan fairplay dalam proses lelang melahirkan boomerang bagi pemerintah sendiri, dikarenakan produk yang beredar tidak sedikit yang memiliki spesifikasi dasar sama, namun berbeda harga, dan tentu saja kualitas dan fitur-fiturnnya. Kondisi ini menyebabkan lahirnya patriotisme kalangan Pemerintah untuk memanfaatkan uang rakyat guna menghasilkan belanja yang terbaik. Sayangnya semangat ini tidak jarang dicurigai ternodai dengan niat terselubung.

Time schedule yang pendek dan menjalankan mekanisme lelang proyek e-government pada triwulan terakhir dikhawatirkan akan menjadi trend baru e-corruption. Kondisi darurat sendiri sebenarnya sudah di atur dalam Kepres tersebut. Dan waktu pendek mendekati akhir anggaran tahunan tidak dapat dijadikan pembenar untuk kondisi darurat.

Beberapa trend modus yang sudah berjalan antara lain :

Memberikan laporan fiktif bahwa proyek seolah-olah sudah selesai, sehingga SPJ (Surat Pertanggungjawaban) diterima/sah dan anggaran dapat dicairkan. Dana ini selanjutnya disimpan di rekening tertentu dan baru dibayarkan kepada rekanan bila pekerjaan sudah selesai. Seolah kondisi ini dianggap bijak, namun dari sisi akuntabilitas jelas tidak benar.

Trend lebih berbahaya lainnya dari waktu pendek ini adalah adanya aturan addendum atau penambahan aturan susulan dalam kontrak. Tren ini dibagi dalam dua modus, yaitu : Pertama, Pekerjaan dianggap selesai sampai dengan batas waktu akhir tahun anggaran. Sehingga yang dibayarkan hanya sebanyak persentase dari pekerjaan yang diselesaikan. Yang belum selesai tidak dibayar. Lalu, bagaimana nasib aplikasi ini nantinya. Akankan berfungsi sebagaimana mestinya? Yang kedua, merevisi target, atau menurunkan kualitas pekerjaan yang semestinya diselesaikan dengan berbagai alasan teknis.

Fatwa Bappenas

Banyak kelemahan dirasakan dalam proses lelang pemerintahan. E-government yang dianggap masih muda (trend baru) dirasakan masih miskin aturan tegas dan lengkap. Akibatnya kebijaksanaan untuk membijaksanai aturan menjadi longgar dan melahirkan trend baru. Jika tidak segera dibenahi, maka dinamika lelang e-government akan cenderung tidak sehat.

Bappenas sebagai “bidan” Kepres 80 tahun 2003 perlu mengeluarkan “fatwa” guna menjamin permainan yang fair dalam proses lelang e-government di negeri ini. Berbagai modus baru dikhawatirkan akan muncul seiring makin pintarnya para pemain tender e-government dalam menyikapi kelonggaran aturan.

Memang sudah saatnya dilakukan banyak pembenahan pada lelang proyek e-government. Pengalaman yang terjadi selama ini barangkali sudah cukup menjadi pealajaran berharga: Bahwa Cost center dalam pengembangan e-government Indonesia bukan hanya disebabkan karena biaya operasional dan duplikasi proyek e-government, namun karena kebocoran dalam proses tender.


(Sebagaimana dimuat di majalah Biskom edisi 2007)

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...