Masuknya teknologi canggih bagi upaya pengelolaan informasi di kalangan Pemerintahan ditanggapi sangat antusias pada satu sisi, namun juga sangat dingin pada sisi berbeda. Berbagai statement bahwa Teknologi Informasi akan mampu mewujudkan mimpi pemerintah untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi operasional pemerintahan dimunculkan sebagai alasan pengkucuran dana besar pusat dan daerah untuk membangun Teknologi Informasi Pemerintah Daerah, dan e-government. Namun kenyataan berbicara berbeda. Benarkan pengembangan Teknologi Informasi Pemerintah Daerah dan e-government terlalu prematur?
Fenomental
Sayangnya hingga saat ini belum ada penelitian secara mendalam mengenai hasil riil implementasi Teknologi Informasi bagi Pemerintahan. Namun secara kasar dapat dilihat, bahwa belanja besar-besaran Teknologi Informasi tidak hanya terjadi di pusat. Pemerintah Daerah pun sudah mulai tertular penyakit ini.
Permasalahan yang ingin penulis angkat bukan pada inefisiensi karena korupsi pada e-government (e-corruption), namun pada sisi kesiapan aturan main, regulasi teknis yang sinkron terhadap pengembangan Teknologi Informasi dan e-government.
Terdapat beberapa contoh simple ketidak-sinkronan antara Teknologi Informasi yang dibangun dengan biaya besar dengan aturan main. Al-hasil efektifitas dan efisiensi pun tidak terwujud. Bahkan terkadang terasa konyol. Terdapat banyak kasus, sebagai contoh :
1. e-Procurement. Lelang berbasis Teknologi Informasi ini sebenarnya sangat efektif dan terbukti mampu menghasilkan efisiensi yang relatif tinggi. Pemkot Surabaya melaporkan bahwa efisiensi yang dihasilkan dari implementasi e-Procurement mencapai 30% anggaran Pembangunan Daerah. Luar biasa. Namun, implementasi e-Procurement gagal di banyak Pemerintah Daerah lainnya, alasannya : banyak Pejabat Pemerintah Daerah yang takut masuk penjara gara-gara kalah argumentasi politik melawan rekanan, LSM dan legislatif lantara Pemerintah Pusat belum mengatur implementasi e-Procurement di pemerintahan. Bahkan banyak Departemen yang belum mempersiapkan diri untuk implementasi e-Procurement. Kreatifitas dan keberanian Kota Surabaya dilandasi dengan pemikiran : “Kalau tidak diatur, maka apa yang dilanggar?”.
2. Kepegawaian. Dapat dikatakan aplikasi ini adalah salah satu yang tertua dari semua aplikasi khas Pemerintahan. Otomatisasi yang dijanjikan Teknologi Informasi memudahkan pengelolaan kepegawaian. Tapi tidak semudah itu kemudahan itu diterapkan, karena dokumen kertas dengan cap dan tandatangan “basah” harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum sebuah mutasi kepegawaian dapat dijalankan. Setelah dijalankan lebih dari 10 tahun, aturan kepegawaian yang bersahabat dengan Teknologi Informasi dan e-government tidak juga muncul. Maka, Teknologi Informasi tak lebih dari pengganti mesin ketik dan mesin hitung gaji saja.
3. Sistem Jaringan Komunikasi. Tren pengembangan jaringan komputer menggejala di hampir semua level Pemerintah. Namun kekayaan fungsi yang ditawarkan tidak termanfaatkan dengan baik. Pada banyak instansi Pemerintah pusat maupun daerah, jaringan komputer tidak lebih dari media share file dan internet. Tidak produktif. Manajemen perubahan sama sekali terkalahkan oleh gengsi memiliki teknologi network tercanggih. COntent? Urusan nanti.
4. Komunikasi. Kurang apa Pemerintah kita terhadap infrastruktur komunikasi. Tapi semua tidak saling terkoneksi dan menghasilkan biaya mahal untuk komunikasi. Struktur organisasi Pemerintah seringkali menjadi dinding tebal yang membatasi ego sektoral instansi yang satu dengan instansi yang lain. Masing-masing ingin dinilai hebat. Beberapa Pemerintah Daerah menghasilkan karya memuaskan melalui efisiensi dan optimalisasi sistem jaringan komputer. VoIP berjalan dengan baik. Bahkan Pemerintah Provinsi Jogja melaporkan bahwa efisiensi dari hasil implementasi VoIP mencapai 60%. Adakah ini menjadi panduan baru Pusat untuk mengeluarkan regulasi interkoneksi Teknologi Informasi Pemerintah bagi komunikasi internal? Belum, barangkali.
5. Keuangan. Dari beberapa kali aturan baru mengenai keuangan pusat dan daerah, hingga saat ini belum ada satu pun yang melakukan pendekatan berbasis Teknologi Informasi. Setiap aturan yang diterbitkan selalu berbasis konvensional. Teknologi Informasi hanya sekedar pelengkap. Bahkan untuk menyesuaikan gaji pegawai pun, lagi-lagi hardcopy dengan cap basah harus diajukan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyesuaian. Sebenarnya aplikasi sudah mampu memberikan rekomendasi dan penjagaan, namun tetap saja Teknologi Informasi menjadi komputerisasi proses konvensional.
6. One Stop Service (OSS). Sebuah tren baru layanan publik. Teknologi Informasi menjadi salah satu solusi dalam operasionalisasi OSS. Harapannya, Pemerintah Daerah mampu memberikan layanan dengan lebih baik. Lagi-lagi, pada banyak daerah implementasi Teknologi Informasi lebih banyak hanya mengkomputerisasi proses konvensional. Pemotongan birokrasi dan pengembangan jaringan komputer lintas instansi untuk mempercepat proses birokrasi kurang dioptimalkan. Hasilnya, pada beberapa Pemerintah Daerah implementasi OSS justru dianggap memperpanjang birokrasi. Bagaimana tidak, bila biasanya masyarakat bisa langsung datang ke instansi dimaksud dan langsung dilayani, sekarang harus ke OSS yang tentu saja memperpanjang proses.
7. Belanja komputer. Bahkan belanja komputer pun bisa jadi bukan menghasilkan efisiensi dan efektifitas, sebaliknya menjadikan pembayaran listrik makin mahal. Tidak signifikan dengan manfaat yang dihasilkan. Pemerintah tidak terlalu ketat mengawasi belanja komputer yang disesuaikan beban kerja suatu instansi.
8. Internet. Hampir semua instansi Pemerintah pusat maupun daerah sudah menggunakan internet bagi operasional pemerintahan. Namun, berapa banyak internet tersebut digunakan untuk bekerja dan proses pembelajaran? Internet juga belum menghasilkan produktifitas yang signifikan. Regulasi yang mengatur belanja internet instansi Pemerintah pun belum lahir hingga kini. Berbeda dengan e-Procurement yang Pemerintah tidak berani berimprovisasi dengan ketiadaan regulasi e-Procurement, belanja internet Pemerintah merdeka dari segala kekhawatiran.
Inkonsistensi
Pengembangan Teknologi Informasi pemerintah khususnya e-government memang terkesan setengah-setengah, khususnya dari sisi dukungan aturan. Apakah mungkin ini disebabkan isue gaptek yang menanungi banyak pejabat negara atau karena project oriented yang cuma ingin proyeknya, nggak peduli berhasil or gagal. Yang jelas banyak Teknologi Informasi tergelar di jajaran pemerintah negeri ini, namun masih miskin fungsi.
Yang jelas e-government masih terkesan eksklusif untuk kalangan tertentu saja. Teknologi Informasi dan e-government belum “dimiliki” oleh kalangan pejabat strategis pemerintahan, baik pusat dan (apalagi) daerah. Semestinya Teknologi Informasi dan e-government menjadi bagian dari tugas pokok dan fungsi dari semua level Pemerintah. Bukan sekedar berisi pekerjaan dasar saja.
Loyalitas pejabat pemerintahan terhadap aturan lebih tinggi daripada loyalitas terhadap komitmen melayani masyarakat dan menjalankan roda pemerintahan secara lebih efektif dan efisien. Repotnya, e-government mustahil optimal tanpa regulasi yang bersahabat terhadap Teknologi Informasi.
Budaya memasukkan kewajiban suatu instansi untuk melayani instansi lain belum lahir pada sebagian besar Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOT) Pemerintahan. Lihat saja, setiap tugas pokok dan fungsi suatu instansi selalu mengurusi “urusan sendiri”, belum membudaya adanya tugas pokok dan fungsi yang mewajibkan suatu instansi mendukung pekerjaan instansi lain.
Kurang optimalnya belanja Teknologi Informasi dan implementasi e-government merupakan kesalahan kolektif Pemerintah sendiri. Kurang kompak. Kelihatannya Pemerintah perlu bergerak lebih cepat menerbitkan berbagai regulasi nasional maupun daerah yang mendukung kemampuan Teknologi Informasi bagi kepentingan pemerintahan itu sendiri. Sehingga paradoks produktifitas bisa diminimalisir.
DImuat di Majalah Biskom edisi Oktober 2007
Blog ini merupakan curahan hati pribadiku. Maaf bila sedikit berbeda dengan pendapat anda sekalian. Boleh kan kita beda untuk beberapa hal? Yang penting silaturahmi tetap terjaga demi hidup yang lebih baik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Darurat Birokrasi Indonesia
Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...
-
Barangkali dapat dikatakan bahwa pengelolaan kependudukan ibarat salah satu ladang pemborosan uang rakyat negeri ini. Lihat saja, banyak kep...
-
Banyak pendapat menyatakan bahwa Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) merupakan bentuk usaha ekonomi rakyat yang tidak rentan terhadap...
-
Bangsa kita ini aneh ya. Demikian lamanya kita diatur oleh partai. Dikungkungi oleh partai. Mereka merendah-rendah, bahkan rela berdebu-debu...
1 comment:
Ibeng aku sitir artikelmu ini, sebab aku setuju dengan satu kalimat: "...belum membudaya adanya tugas pokok dan fungsi yang mewajibkan suatu instansi mendukung pekerjaan instansi lain". Bekerja individual sudah bukan jamannya lagi. Pendekatan masalah dari berbagai aspek yang diikuti dengan kolaborasi tim yang solid akan lebih memberikan hasil lebih maksimal. Pengembangan TI di pemprov kaltim belum didukung sepenuhnya oleh dinas/badan/biro baik dari segi konsep apalagi anggaran. Ada dualisme di tingkat eselon II. Seandainya konsep TI dibangun dari mereka untuk mereka dan masyarakat, mungkin akan memberikan hasil lebih baik.
Post a Comment