09 January 2008

TOOLS Vs ENABLER

Banyak pertanyaan mengapa e-government yang dikembangkan di Indonesia belum memberikan hasil yang optimal. Bahkan kesan e-government menjadi cost-center sulit dihilangkan dari para pengambil kebijakan dan penganggaran. Prestasi yang dihasilkan oleh beberapa Pemerintah Daerah yang menonjol dengan pengembangan e-government nya pun lebih disikapi dengan asumsi resiko belanja biaya tinggi.

Dari berbagai diskusi ilmilah tentang e-government di Indonesia, hampir keseluruhan komunitas menyimpulkan bahwa lemahnya e-leadership merupakan factor paling dominan kurang optimalnya pengembangan e-government pada berbagai level. Tidak sedikit yang menuntut Presiden hingga Bupati harus bisa computer dan menyempatkan diri online setiap hari untuk memotivasi bawahannya. Hasil akhirnya tentu saja semua meja pegawai akan terpasang computer dengan system online yang canggih.

Pendapat tersebut tentu tidak salah. Kemampuan menggunakan komputer para pemimpin negeri ini dan statement politis yang mendukung pengembangan e-government akan mampu mendorong pertumbuhan e-government secara signifikan. Seperti halnya ketika Presiden SBY mengeluarkan statement supaya Pemerintah Daerah mengembangkan One Stop Service (OSS) guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Seketika itu pula semua Pemerintah Daerah membangun OSS dengan sumber dana yang “dengan keras” diada-adakan. Tidak ada Pemerintah Daerah yang rela ketinggalan. Hasilnya positif.

Namun demikian kenyataan membuktikan bahwa tidak sedikit Pemerintah Daerah yang mengeluarkan dana besar, tetapi produk e-government nya kurang signifikan dengan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, tidak sedikit Pemerintah Daerah dengan dana pengembangan e-government sangat minim, namun mampu menunjukkan hasil yang patut dicontoh.

Penulis melihat, bahwa bekal e-leadership yang harus dimiliki oleh pimpinan pada berbagai level di pusat maupun daerah, perlu ada penyamaan persepsi antara melihat Teknologi Informasi (TI) bagi e-government sebagai tools (alat bantu) atau sebagai enabler, sebuah system yang memungkinkan kebijakan tertentu dapat dijalankan.

TOOLS

Persepsi seorang pimpinan yang melihat perangkat TI sebagai tools akan membawa dampak pada belanja TI sebagai satuan lepas atau system pada skala kecil yang kurang mampu membangun solusi komprehensif, terutama dihadapkan pada core business pemerintah, yaitu menjalankan pemerintah kenegaraan dan pelayanan umum.

Kita dapat melihat bahwa banyak belanja TI oleh pemerintahan dimanfaatkan sebagai perangkat kerja yang membantu apa yang sudah berjalan secara konvensional, menjadi berbasis elektronik. Misalnya, pembelanjaan notebook yang diperuntukkan bagi penyelesaian pekerjaan perorangan. Supaya tidak repot-repot membawa mesik ketik dan berkali-kali mengetik hal yang sama.

Penulis tidak menampikkan bahwa notebook memiliki peran yang besar dalam penyelesaian banyak pekerjaan. Namun dalam konteks belanja TI pemerintahan dan core bisnis pemerintahan, maka semestinya belanja notebook tersebut merupakan perangkat pendukung dari sebuah system elektronik yang lebih besar. Sebagai contoh, harus ada sebuah intranet dan internet office otomation dan berbagai Sistem Informasi pemerintahan yang sudah ada sebelumnya. Sehingga pengadaan notebook bagi kalangan personal pegawai merupakan media kerja supaya pegawai tersebut dapat melaporkan progress kerjanya melalui system online maupun offline. Bukan sekedar pengganti mesik ketik.

Demam system jaringan online di kalangan pemerintahan misalnya, juga menyebabkan tidak sedikit strata pemerintahan membangun system jaringan komputer tercanggih. Namun, tidak sedikit pula yang tidak memiliki konsep yang jelas, setelah jaringan komputer tersebut digelar, akan dimanfaatkan untuk apa saja. Sekedar sharing konsumtif internet, teleconference atau ada Sistem Informasi terintegrasi yang siap dijalankan?

Bahkan teknologi teleconference juga kurang dapat dimanfaatkan secara optimal. Kelihatannya budaya “cukup suara saja” masih sangat kuat. Belum banyak quick win (manfaat instant) dihasilkan dari pembangunan system teleconference, baik yang dibangun oleh pusat maupun daerah.

Pandangan TI bagi e-government adalah sebagai sekedar tools lebih banyak menghasilkan elektronisasi konvensional, atau komputerisasi konvensional. Tidak membangun sebuah system baru yang memungkinkan peningkatan kualitas layanan umum atau efektifitas dan efisiensi roda pemerintahan.

ENABLER

Pada dasarnya, Teknologi Informasi yang digunakan oleh kalangan pemerintahan tidak beda dengan apa yang digunakan oleh kalangan non pemerintahan lainnya. E-government bukan sekedar menerapkan TI bagi berjalannya roda pemerintahan. Lebih dari itu implementasi TI dalam pemerintahan tersebut harus mampu melahirkan efektifitas dan efisiensi dan mendukung terobosan kebijakan birokratis guna melahirkan good government.

Banyak kalangan pemerintahan mengutamakan belanja e-government dari sisi belanjan perangkat TI. Kurang memperhatikan core bisnis pemerintah itu sendiri. Pandangan enabler mengutamakan goal suatu kebijakan pemerintah sebagai prioritas. Selanjutnya menyusun sebuah system komprehensif yang memungkinkan tujuan tersebut dapat dicapai. Dari tujuan yang ingin dicapai dan metode yang akan dilakukan, maka belanja TI dapat dilaksanakan secara lebih tepat, efektif dan efisien.

Bukan sebaliknya. Belanja dulu, tujuan dibangun sambil jalan. Bukan belanja Teknologi Informasi supaya bisa ber-teleconference, namun harus disepakati dulu mengapa harus teleconference, baru belanja Teknologi Informasi sesuai kebutuhan. Adakah telepon saja belum cukup? Atau, apakah teleconference tersebut bisa melayani rakyat?

Sebagai perumpamaan, misalkan suatu Pemerintah Daerah ingin membangun sebuah layanan Umum yang terbaik. Metode yang akan dipilih adalah melalui One Stop Service (OSS). Kebijakan yang diambil adalah menyatukan layanan pada satu atap. Artinya, Unit layanan satu atap menjadi front office, dan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD/Instansi) sebagai back office melalui teknologi online.

Dari kebijakan umum tersebut, harus dibangun secara sinergis aplikasi front office yang mencakup semua layanan yang secara administrative dilayani oleh masing-masing instansi, serta membangun aplikasi back office sesuai sector masing-masing instansi. Dengan demikian dapat ditentukan kebutuhan belanja secara lebih riil. Dalam pengembangan lebih lanjut, barangkali bisa dipertimbangkan, mengapa tidak meletakkan front office OSS tersebut di Kecamatan, bahkan Kantor Desa sebagai upaya mendekatkan layanan kepada masyarakat?

TI sebagai enabler bagi e-government lainnya dapat dicontohkan melalui pengelolaan kependudukan. Seperti pemberian bea siswa bagi siswa miskin melalui sinergi data kependudukan dan pendidikan, pemberian askeskin melalui kolaborasi database kependudukan dan data kesehatan, memungkinkan Bupati memantau pendapatan daerah, memungkinkan legislative melihat perkembangan APBD, memungkinkan orang tua siswa memantau pendidikan anak-anak mereka, memungkinkan seorang penduduk dapat berobat di mana saja dengan medical record yang selalu mengikutinya,dan banyak lagi.

Sebagai enabler, focus pengembangan bukan pada belanja TI bagi kebijakan e-government, namun bagaimana e-government tersebut mampu mendukung kebijakan pemerintahan secara lebih efektif dan efisien. Ibaratnya seorang Bupati harus mampu mimpi melayani rakyatnya melalui sebuah terobosan pembangunan, maka Teknologi Informasi harus bisa menjawab. Kelenturan birokrasi barangkali diperlukan. Bahkan keberanian politis membuat aturan sendiri atas apa yang belum di atur secara nasional, juga diperlukan. Seperti keberanian Walikota Surabaya menerapkan e-Procurement.

Karena itu, untuk mampu menjadikan e-government sebagai enabler sebuah terobosan kebijakan yang berujung pada manfaat seluas-luasnya bagi rakyat dan good governance, diperlukan sebuah e-leadership yang sangat kuat dan konsisten. Seorang Bupati tidak harus pintar bermain internet dan memahami teknis pengembangan TI, meski itu lebih baik. Namun seorang Bupati harus berani memerintahkan jajarannya menjawab kebijakannya melalui implementasi Teknologi Informasi secara bertanggungjawab dan professional. Karena itu, berapa pun biaya, layak di dukung, karena kepercayaan masyarakat menjadi taruhannya.


(Dimuat di Majalah Biskom edisi Januari 2008)

No comments:

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...