Wacana tentang perlunya CIO (Chief Information Officer) dalam pemerintahan mulai digulirkan. Beberapa aktifitas yang dipublikasikan sebagai persiapan menuju penjabat yang memiliki job sebagai CIO pun telah dilaksanakan, seperti menyekolahkan puluhan staf dan pejabat di Perguruan Tinggi Negeri terkemuka dan pembentukan team untuk merumuskan, bagaimana posisi CIO dalam struktur pemerintahan.
Pada level pusat, mungkin posisi CIO banyak disepakati pada Menteri Komunikasi dan Informatika, dimana manajemen sistem informasi dari hulu hingga hilir pada tingkat departemental terletak pada Depkominfo. Dari mulai informasi yang dihasilkan melalui pendekatan sosial hingga pengelolaan teknologi yang memungkinkan informasi dapat berjalan dengan baik.
Yang menarik adalah bagaimana posisi CIO pada tingkat Pemerintah Daerah. Kultur CIO yang “dekat” dengan Chief Executive Officer (CEO) masih sangat asing pada struktur organisasi dan Tata Kerja (SOTK) ala Pemerintah Daerah. Meski struktur Pemerintah Daerah murni sipil, namun rule bisnis yang dijalankan pada birokrasi Pemerintah Daerah lebih mendekati ke struktur militer. Mekanisme kerja berbasis komando dan staf.
Peran Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai orang ketiga pada suatu Pemerintah Daerah (Setelah Bupati dan Wakil Bupati), sekaligus jabatan karier penguasa birokrasi menyebabkan peran CIO Pemerintah Daerah sulit disamakan dengan CIO ala perusahaan swasta. Lalu, dimana seorang CIO harus diposisikan?
Dominasi Sekda
Eselonisasi yang terdapat pada Pemerintah Daerah dengan jabatan eselon tertinggi terletak pada seorang Sekda, membangun kultur bahwa semua komunikasi birokratis kepada Bupati harus sepengetahuan Sekda. Bahkan, meskipun eselon Kepala Dinas/Badan satu klik dibawah Sekda (eselon 2b), tetap saja etika birokrasi menempatkan Dinas/Badan berjalan dalam koordinasi Sekda. Oleh karena itu beberapa kalangan melihat seorang CIO harus berada di bawah Sekda.
Budaya birokrasi yang melihat eselon pejabat sebagai sebuah gengsi membangun “penghargaan” dan loyalitas menjadi persoalan yang tidak bisa disepelekan. Sebagai contoh, seorang Kepala Dinas (eselon 2) merasa kurang terhormat bila harus loyal dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang kepala Kantor PDE yang notabene bereselon3.
Pertimbangan bahwa seorang CIO sebaiknya berstatus eselon 2 pada jajaran Sekda harus menempatkan seorang CIO sebagai asisten yang membawahi dua Bagian, yaitu Bagian Humas, dan Bagian Komunikasi dan Informatika. Disamping itu, peran komunikasi dan informatika sebagai perpanjangan tangan fungsi CIO juga semestinya diletakkan pada setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau lebih dikenal sebagai instansi daerah. Sehingga membentuk sebuah struktur sebagai berikut:
Gambar 1
Pembagian lahan kerja antara Bagian Kehumasan dan Bagian Kominfo lebih banyak disebabkan komitmen konsensi antara siapa yang membangun teknologi dan konten. Siapa yang membangun sistem yang memungkinkan harapan Bupati dapat diterjemahkan secara Teknologi Informasi (enabler) dan siapa yang harus mengelola dan mengkoordinasikan konten.
Namun permasalahan muncul mengingat peran jajaran di bawah Sekda sebenarnya lebih banyak mengelola fungsi ke-sekretariatan daerah. Berbeda dengan fungsi Dinas Teknis yang lebih banyak menjalankan peran sektoral yang spesifik dan Badan yang bersifat koordinatif. Peran teknologi (terlalu teknis) lintas sektoral juga dirasakan janggal dibawah Sekda yang notabene lebih banyak mengelola administratif.
Badan Koordinasi
Beberapa kalangan menilai, bahwa Struktur birokrasi di bawah Sekda yang cukup strategis juga merupakan wilayah yang perlu disinkronisasi melalui Teknologi Informasi guna menghasilkan manajemen Sistem Informasi yang baik, mengingat beberapa fungsi beberapa bagian di bawah Sekda memiliki keterkaitan fungsional dengan Dinas/Badan/Kantor (SKPD) yang lebih independen. Oleh karena itu CIO akan lebih optimal apabila ditempatkan sebagai Kepala Badan.
SKPD berupa Badan secara fungsional memiliki peran pokok sebagai lembaga koordinasi dan berstatus eselon 2. Posisi kepala Badan cukup disegani dan cukup mendapatkan loyalitas dari marta sejajar, termasuk jajaran di bawah Sekda, sejajar dengan Asisten Sekda. Dengan demikian SOTK yang direkomendasikan adalah:
Gambar 2
Tidak jauh berbeda dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban CIO pada level Asisten Sekda, secara umum Badan yang menjalankan peran manajemen Sistem Informasi ini mengelola data dan informasi dari hulu hingga hilir dan tetap mewajibkan adanya struktur yang berfungsi mengelola komunikasi dan informasi pada setiap SKPD.
Struktur ini juga memungkinkan seorang CIO Pemerintah Daerah dapat melakukan komunikasi efektif dengan Bupati dan Sekda secara langsung, bahkan bersamaan dengan menempatkan laporan kepada Sekda sebagai tembusan. SOTK seperti ini memungkinkan penyamaan peran dan posisi antara CIO Pemerintah Daerah dan CIO pada dunia Swasta. Penulis lebih merekomendasikan CIO pada posisi Kepala Badan Daerah.
Posisi CIO juga tidak harus diisi oleh seseorang yang berlatar belakang pendidikan Teknologi Informasi dan menguasai sangat teknis. Namun seorang CIO memang memerlukan seseorang dengan kualifikasi yang mampu memadukan keinginan pimpinan dan tuntutan core bisnis pemerintah melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi. Sudah bukan waktu yang tepat lagi mempercayakan job pengelola Sistem Informasi kepada seseorang pejabat yang dianggap sebagai “sampah”. Atau CIO akan berarti Career Is Over.
PP 41/2007
Ternyata wacana CIO Pemerintahan tidak selaras dengan kebijakan lain, khususnya yang mengatur SOTK Pemerintah Daerah terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007. Peraturan Pemerintah ini menempatkan peran komunikasi dan informatika satu rumpun dengan tugas pokok dan fungsi perhubungan. Meskipun daerah diberi kesempatan berimprovisasi, namun hampir keseluruhan Pemerintah Daerah cenderung menjadikan fungsi serumpun sebagai satu Dinas saja.
Hampir keseluruhan sektor perhubungan Pemerintah Daerah saat ini diwujudkan dalam bentuk Dinas (DInas Perhubungan). Bentuk Dinas sendiri sebenarnya juga merupakan lembaga teknis daerah (LTD) yang menjalankan fungsi sektoral dengan beban pendapatan daerah.
Meskipun beberapa lembaga Teknologi Informasi dan kehumasan daerah juga mengelola Radio dan TV serta media massa lain yang berpotensi sebagai lembaga penghasil pendapatan daerah, namun bila dirujukkan dengan kebijakan nasional tentang CIO Pemerintah Daerah dan penempatan badan usaha Pemerintah, khususnya sektor publik (Radio dan TV) sebagai unit Badan layanan umum (BLU) yang tidak diwajibkan menyumbangkan pendapatan daerah, maka penempatan CIO pada Dinas Perhubungan dirasakan kurang tepat, bahkan aneh. Bagaimana mungkin seorang CIO mengelola data dan informasi dari hulu hingga hilir, sekaligus mengelola transportasi darat, laut bahkan udara (?).
Kebijakan ini mengingatkan kita ketika fungsi Pos dan Telekomunikasi diletakkan pada Departemen Perhubungan Republik Indonesia, yang saat ini berada dibawah Depkominfo.
Pengembangan Teknologi Informasi dan e-government nasional hingga daerah memang sudah dijalankan. Namun otonomi daerah yang dijalankan tidak hanya menghasilkan raja-raja kecil Bupati/Walikota, ternyata juga berpotensi menghasilkan otonomi SKPD. Akibatnya pembangunan Teknologi Informasi dan e-government pada SKPD seringkali sulit dapat dikendalikan.
Masing-masing SKPD membangun Teknologi Informasi bagi kepentingan sektoralnya sendiri-sendiri. Membentuk pulau-pulau informasi berbiaya mahal, namun tidak terintegrasi dan tidak menghasilkan informasi yang komprehensif dan terkonfirmasi. Karena itu peran CIO mutlak diperlukan di kalangan Pemerintahan, termasuk Pemerintah Daerah. Saatnya dibuktikan, bahwa Teknologi Informasi juga mempu menjadi pemersatu bangsa.
No comments:
Post a Comment