22 April 2008

Mestinya SOTK Provinsi tidak sama dengan Kabupaten/Kota

Beberapa waktu yang lalu Gubernur Lemhanas mengutarakan bahwa sebaiknya Gubernur tidak dipilih melalui Pilkada. Namun entah kenapa tidak berkembang. Jelas secara politis ide ini berat untuk diteruskan. Tahulah apa yang akan dihadapi bila diteruskan. Tentangan politis bakal sangat gencar.
Namun bukan itu sebenarnya yang ingin aku bahas, namun lebih ke bagaimana pemerintah kita menyusun Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Provinsi. Sejak orde dahulu kala, Provinsi dan Kabupaten selalu disamakan perlakuannya. Dianggap kedua level pemerintahan ini secara esensi sama.
Setelah lahirnya Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, semestinya fokus otonomi daerah ada di tingkat Kabupaten/Kota. Provinsi lebih diutamakan bersifat administratif. Penekanan otonomi daerah jelas ada di Kabupaten Kota, bukan di Provinsi. Jadi, sebenarnya tidak salah kalau seorang Gubernur lebih menempatkan diri sebagai perpanjangan tangan Presiden di Daerah, karena memang sistem kenegaraan kita mengenal tingkatan Provinsi. Dan sebagai perpanjangan tangan, wajar bila dipilih/ditunjuk oleh Presiden. Dan tentu saja, tidak perlu biaya Milyardan, bahkan ratusan Milyard untuk sekedar memilih seorang Gubernur.
Posisi ini dipertegas bahwa Bupati/Walikota juga tidak bertanggungjawab langsung kepada Gubernur, meski pelantikannya sering dilakukan oleh Gubernur. Bupati dan Walikota yang secara riil punya warga. Semestinya, masyarakat cukup berhadapan dengan satu pintu lembaga pemerintah, yaitu Pemerintah Kabupaten/Kota. Tidak harus repot-repot mengurus layanan umum ke Provinsi. Kan sama-sama komponen pemerintah.
COntoh mudahnya dalam pengurusan ijin frekuensi, mengapa masyarakat harus mengurus sampai Provinsi, bukankah Dinas yg berwenang di kabupaten sudah cukup menerima dan melayani? Misalkan Provinsi ingin "cawe-cawe" dan merasa "berarti", itu urusan internal pemerintah saja, administratif. Tidak perlu dibangun prosedur yg panjang dengan arti yang sama. Soal kemampuan DInas Kabupaten Kota yang dianggap kurang mampu DInas Provinsi bertugas membinanya (ini sih bahasa orde baru, hehehehe....).

Kembali ke topik SOTK, penekanan otonomi daerah pada Kabupaten Kota juga semestinya mampu diterjemahkan secara kelembagaan Provinsi. Lembaga Provinsi tidak harus identik dengan Kabupaten Kota. Semestinya sebagai lembaga koordinatif administratif, lembaga provinsi lebih simple dan integratif. Bisa jadi semacam Menteri Koordinator ala Departemen. Ya..... ambillah makna semacam Dinas Koordinator atau Badan Koordinator, yang bertugas mengayomi dinas-dinas/badan/kantor di tingkat Kabupaten. Membingungkan ya?

Gini nih. Sebagai ilustrasi, saat ini diasumsikan bahwa ada Kantor Pengelolaan Data Elektronik (PDE) di Kabupaten/Kota, maka harus ada lembaga semacam dengan alasan memudahkan koordinasi. Apakah harus demikian?
Bagaiman bila di tingkat Provinsi dibentuk Badan Koordinasi yang bertugas mengkoordinasikan fungsi-fungsi yang dianggap "se-aliran". Misalnya, Kantor PDE, Bagian Humas, Sandi & Telekomunikasi, Kantor Perpustakaan dan unit Kearsipan Daerah yang tersebar di penjuru Kabupaten/Kota dalam Provinsi dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Komunikasi dan Informatika Provinsi. Dengan demikian "raja-raja kecil" yang saat ini dilekatkan dengan ego sektoral per Kabupaten/Kota dapat diatasi.
Dewasa ini, pengelolaan dari hulu ke hilir masalah komunkasi dan informatika di daerah masih terpecah-pecah, sementara di Pusat, sudah ada kecenderungan mengerucut di Depkominfo. Luasan wilayah RI jelas menjadi beban berat bila pengelolaan hulu-hilir komunikasi dan informatika hanya diserahkan di tingkat Departemen saja. Karena itu fungsi tersebut semestinya didistribusikan ke Provinsi.
Keberadaan Badan Koordinasi Komunikasi dan Informatika provinsi memungkinkan jalinan kerjasama sektoral antar Kabupaten/Kota bidang ini menjadi relatif lebih realistis, karena meskipun otonomi daerah diutamakan, regulasi yang diloyali masih merunut pada regulasi yang dikeluarkan secara nasional.

COntoh kebijakan yang secara teknis sudah siap namun sulit diintegrasikan antar Kabupaten Kota adalah pembangunan TI dalam pemerintahan. Di Jawa Tengah (maaf, soalnya orang Jateng sih), tidak sedikit Pemda yang sudah mengembangkan jaringan komputer ke banyak Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), hingga Kecamatan, bahkan sudah ada yang mencakup tingkat desa. Infrastruktur-nya pun sudah relatif tanggung dengan beban banyak content. Namun, untuk membangun integrasi supaya antar Kabupaten dapat berkolaborasi dan memaksimalkan TI/egov supaya lebih efektif dan efisien, sulit diwujudkan. Bayangkan, bila Badan koordinasi Komunikasi dan Informatika sudah ada dan dibangun kebijakan Gubernur untuk membangun komunikasi murah, maka media telepon berbasis IP (VoIP) yang tanpa pulsa itu bisa diwujudkan. Yup, itu bisa berarti belanja midle ware (perangkat untuk menghubungkan antar Kabupaten) bisa dibebankan kepada provinsi. Atau keluarkan saja Instruksi Gubernur yang mendukung pembangunan infrastruktur lintas wilayah guna mendukung kebijakan umum Provinsi.

Begitu juga untuk sektor-sektor lain, seperti dinas pertanian, perternakan, kehutanan, Perekonomian, keuangan, Perhubungan dll, semestinya secara fungsional di-hire oleh Badan koordinasi/Koordinator Perekonomian. Sehingga pembangunan daerah bidang perekonomian bisa sinkron, baik inter Kabupaten/Kota maupun antar Kabupaten/Kota dalam Provinsi (AKAP) :D Hehehehe....... bukan trayek lho....

Status Badan Koordinasi ini secara prinsip di dalamnya memuat fungsi-fungsi sesuai sektor yang dikelolanya dalam jabatan-jabatan struktural yang secara vertikal nyambung dengan lembaga-lembaga di tingkat Kabupaten/kota. Yup, jelas ini berpotensi menjadikan adanya perampingan. Tapi bukankah itu harapan bangsa ini? Ramping Struktur Kaya Fungsi. Efektif dan tetap diupayakan efisien.
Sisa lebih personil Provinsi, didistribusi saja ke Kabupaten/Kota atau angkat ke pusat, yang seringkali mengeluh kekurangan personil.

Nah, ada pertanyaan lagi, Bagaimana dengan kebiasaan orang provinsi dalam mengelola proyek?

Nah, ini yang namanya efektifitas. Lihat saja, saat ini ada duplikasi peran. Misal, ketika terjadi bencana Tsunami di Kebumen dan CIlacap. DInas kelautan Provinsi yang beli perahu untuk bantuan kepada nelayan yang perahunya rusak. Lalu, apa bedanya kalau yang belanja dan distribusi Kabupaten? Lebih efektif diadakan di Provinsi? Jelas tidak jaminan. Ini lebih mengarah pada soal inefektifitas struktur organisasi Pemda.
Boleh saja suatu dana dialokasikan pada Provinsi, seperti alokasi dana untuk penanggulangan bencana alam, karena tidak semua Kabupaten diasumsikan terkena bencana dan perlu bantuan besar, sehingga memang lebih tepat dialokasikan di Provinsi. Mana yang terkena, dia yang dapat bantuan.
Jadi, apa yang dilaksanakan saat ini bukan tidak tepat, namun tidak efektif dan tidak mendukung koordinasi lintas Kabupaten/kota.

Betul, memang sudah ada lembaga Provinsi yang mengelola kerjasama antar wilayah. Biasanya ada di level Biro. tapi apakah efisien peran tersebut bila harus berbicara multi sektoral?
Yup, tugasnya hanya akan lebih formality pada menghubungkan peran lembaga Kabupaten yang satu dengan Kabupaten yang lain dan Provinsi. Mengapa peran tersebut tidak langsung saja diserahkan kepada Badan koordinasi/koordinator provinsi?

Repotnya, jelas kebijakan ini tidak menguntungkan secara politis. Pejabat politis mana yang secara terang-terangan berani ber-konfrontasi dengan kepentingan birokrasi secara luas? Berat, bo'.

So, sebenarnya PP 39/2007 yang mengatur SOTK Departemen dan PP 41/2007 yang mengatur SOTK Pemda, menurutku memang harus dikaji ulang. SOTK Provinsi semestinya memang berbeda dengan SOTK Kabupaten Kota. Pejabat politik dan birokrat sejati perlu legowo.

Ada kemauan banyak jalan, tidak ada kemauan banyak alasan.

2 comments:

Andi P. Rukka said...

Penyelenggaraan otonomi daerah, baik di tingkat provinsi maupun di Kabupaten/kota, memang masih terus berlangsung dalam kegamangan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terbit untuk mengawal pelaksanaannya, justru menjadi kendala tersendiri, karena kemampuan aparat pelaksana untuk mencerna dan mengimplementasikannya sangat bervariasi antara satu dengan yang lain. Dari aspek kelembagaan saja, nomenklatur dinas, badan dan kantor sering tidak dipahami karakter dan spesifikasinya secara komprehensif. Apalagi ke hal-hal lain yang lebih detail dan rumit.
So, pemikiran mas Ibenk ini, layak untuk didiskusikan. Bravo



.

Unknown said...

Mas Andi Palawarukka ysh,

Ketika dulu diperdebatkan otonomi daerah mestinya ada di provinsi atau Kabupaten/Kota, dan dipustuskan ada di kab/Kota, mestinya ada perlakuan berbeda, tidak hanya soal penganggaran saja, namun juga pada struktur organisasi dan tata kerjanya. Dengan posisi sekarang, kenyataannya provinsi justru menjalankan otonomi ala mereka sendiri. Pemerintah kita mestinya mau belajar dari pengalaman. Apakah ada yg pernah meneliti efektifitas SOTK Provinsi guna mendukung tupoksi sesuai regulasinya?
thanks

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...