03 September 2007

TI, Core Government?

Banyak pihak menyangsikan bahwa pemerintah kita serius dan mampu mengelola TI secara mandiri bagi penyelenggaraan pemerintahan. Bukti pengembangan TI Pemerintahan yang sudah berlangsung memang sulit dijadikan ukuran dan alasan untuk membela diri. Dari sekian banyak lembaga Negara, baik pusat maupun daerah, tidak banyak, bahkan untuk ukuran sukses yang sebenarnya dapat dibilang sedikit yang mampu memanfaatkan TI secara professional. Sementara soal pendanaan, dapat dibilang tidak sedikit.

Beberapa event nasional yang memanfaatkan TI juga dinilai banyak pihak kurang optimal memberikan hasil, seperti permasalahan TI pada Pemilu 2004 lalu, kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan data keluarga miskinnya, data pengangguran dan kemiskinan yang ramai akhir-akhir ini di banyak media massa, kebijakan kependudukan (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan/SIAK) hingga belum optimalnya pelayanan umum berbasis TI.

Tak heran bila banyak pihak menyatakan ketidak relaan untuk mempercayakan data mereka kepada pemerintah. Bahkan secara ekstrim ada yang memvonis Pemerintah tidak becus dan gagal mengembangkan TI Pemerintah.

Diskusi ini mengembangkan wacana untuk melakukan optimalisasi outsourcing implementasi TI dalam pemerintahan. Outsourcing e-government, bila perlu dari hulu hingga hilir. Yang jadi pertanyaan sekaligus introspeksi selanjutnya adalah : bagaimana posisi TI dalam pemerintahan di Negara kita. Apakah TI merupakan core pemerintah, atau bukan?

Kinerja

Banyak pihak melihat kinerja SDM pemerintahan kurang optimal. Sementara bukti-bukti privatisasi pada beberapa sector, seperti perkereta-apian menunjukkan bahwa swasta yang dipercaya mengelola asset pemerintah tetap Berjaya meski memberikan kontibusi pendapatan Negara yang lebih besar daripada ketika dikelola pemerintah. Kinerja ini juga bisa dilihat dari keunggulan perusahaan nasional swasta dibanding Badan Usaha Milik Negara.

Bisnis proses yang dijalankan swasta pada umumnya relative lebih efisien dan efektif. Swasta juga memiliki kemampuan melakukan akses infrastruktur secara luas. Bahkan swasta memiliki kemampuan financial yang tentu saja sulit dipenuhi banyak lembaga pemerintah bagi pembangunan infrastruktur TI secara enterprise. Dukungan lembaga financial juga relative lebih fleksible. Kondisi ini berbanding terbalik dengan realita pemerintahan yang sarat dengan keterbatasan anggaran, kinerja SDM yang rendah dan berbagai permasalahan kronis lainnya.

Aspek Legal

Banyak kalangan pemerintah yang melihat bahwa bisnis proses yang dijalankan pada internal pemerintahan, dari satu instansi ke instansi yang lain, dari network yang satu ke network yang lain, ke Sistem Informasi yang satu ke system informasi yang lain adalah aktifitas rahasia, private dan menutup habis intervensi apapun dari eksternal non pemerintah. Beberapa bagian dan beberapa bisnis proses memang benar, namun tidak berarti tidak ada celah bagi komponen luar untuk menjadi bagian dari proses tersebut.

Beberapa operasi pemerintah di bidang TI pada beberapa lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah bahkan sudah menjalankan kolaborasi saling menguntungkan. Seperti Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Depdagri yang mempercayakan system jaringan mereka kepada swasta. KPU Pusat dan BPS yang mempercayakan entry data kepada swasta atau dunia pendidikan, dan lain-lain.

Simple saja, banyak daerah masih menjalankan birokrasi by public, seperti pengurusan KTP, dimana pemohon harus membawa dokumen permohonan KTP dari RT, ke RW, ke Kelurahan dan baru diterbitkan KTP di tingkat Kecamatan. Bukankan birokrasi itu menggunakan pemohon sebagai tenaga outsourcing dalam distribusi dokumen?

Kunci sebenarnya adalah pada aspek legal. Semestinya pada level proses peluang untuk outsourcing dapat dijalankan. Namun ketika memasuki proses legalisasi, fungsi tersebut mutlak menjadi peran pemerintah. Pada layanan KTP misalnya. Dari mulai layanan front office di tingkat kecamatan, entry data hingga transmisi database ke server dan verifikasi dapat dijalankan oleh swasta. Ketika permohonan KTP disetujui, maka KTP di cetak dan ditandatangani oleh Camat. Dengan demikian terlihat bahwa secara proses outsourcing bisa jadi lebih efisien dan efektif dan aspek legal tetap terpenuhi.

Kekhawatiran bahwa pola outsourcing ini akan melibas habis peran PNS pengelola data elektronik juga tidak beralasan. Kemampuan personil birokrat untuk mengelola TI secara professional juga tetap diperlukan Namun perannya bukan lagi sebagai operator langsung, namun lebih banyak memposisikan diri sebagai supervisor.

Dalam beberapa aspek data memang terdapat klasifikasi rahasia dan bersifat terbatas, dan memang bukan berarti outsourcing berarti memberikan seluas-luasnya resources pemerintah kepada pihak swasta. Regulasi yang adil dan ketat tetap diperlukan sehingga mampu memaksa swasta menjaga kepercayaan dan profesionalisme. Tidak seperti yang banyak dikhawatirkan dan beberapa terjadi, outsourcer akan ingkar janji dan bekerja semau gue. Perangkat keras operasional juga tidak harus milik swasta. Pemerintah tetap bisa melakukan investasi secara lebih professional. Bukan asal belanja high end technology namun miskin manfaat.

Menilik keterbatasan personil internal pengelola TI pemerintah, nampaknya pemerintah perlu mempertimbangkan opsi ini. Tidak mudah memang, karena tidak sedikit kerjasama pemerintah swasta ini berlangsung tidak sehat karena berbagai hal.

Core Bisnis

Secara prinsip, Negara memiliki tugas pemerintahan umum dan kesejahteraan social. Pelayanan umum menjadi salah satu bagian pemerintahan umum. Melalui TI, pelayanan umum semestinya menjadi lebih optimal. Posisi pemerintah dan birokrat memposisikan diri sebagai operator pelayanan umum, baik dengan teknologi informasi maupun teknologi konvensional. Dengan demikian, pada skala umum (kecuali Ristek, barangkali), pemerintah lebih memposisikan diri sebagai pengguna, atau menempatkan TI sebagai tools.

Meski menempatkan TI sebagai perangkat kerja, penguasaan terhadap TI dan pemaksimalan fungsi TI juga menjadi bagian tugas pemerintah. Namun demikian, belum tentu harus menjadi operator secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir.

Outsourcing bisa jadi tidak murah. Namun bila dengan outsourcing pelayanan umum yang diidam-idamkan public bisa diwujudkan, biaya tersebut akan sebanding. Yang diperlukan public adalah layanan terbaik dan legalitas. Dan pemerintah berkewajiban memberi layanan terbaik. Mengenai cara bagaimana pelayanan umum terbaik bisa diwujudkan, perlu sebuah cara terbaik. Dan outsourcing bisa menjadi salah satu opsi. Dan sebagai pemilik tugas pokok, pemerintah tetap harus semaksimal mungkin menguasai TI sebagai bagian dari urat nadi birokrasi pemerintahan.

Pembentukan Dewan Teknologi Informasi Nasional (DeTIKNas) pada akhir 2006 yang lalu memberikan harapan baru bagi pengembangan Tektonogi Informasi dan

Pengelolaan data kependudukan di Indonesia telah lama menjadi ladang masalah, lahan basah dan tidak pernah tuntas dengan memuaskan. Selalu diindikasikan terjadi “sesuatu” dibalik setiap kebijakan, relative mahal dan daerah lebih banyak menjadi korban kebijakan top down yang tidak menentu ini. Hasilnya, banyak kebijakan nasional yang memerlukan data kependudukan turut bermasalah, mulai dari kebijakan Subsidi Langsung Tunai (SLT), Pendataan pemilih bagi pemilu/pilkada, hingga pendataan nomor selular. Semua menghasilkan masalah baru dan dampak yang cukup luas. Lalu, seperti apa ribat-ribet kebijakan nasional dan local di Indonesia ini?

Kebijakan Nasional

Kebijakan kependudukan di Indonesia boleh jadi dianggap sebagai salah satu sector yang pertama kali mengimplementasikan e-government, bahkan dapat dikatakan senantiasa mengadopsi high end Information Technology. Sejak tahun 1990an implementasi Teknologi Informasi (TI) sudah dijalankan dan mengalami beberapa kali perubahan. Sejak mengadopsi TI, pengelolaan data kependudukan mulai memiliki nama spesifik, seperti KTP computer, Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), Sistem Informasi Kependudukan (SIK) dan akhirnya menjadi Sistem Informasi Administrasi kependudukan (SIAK) yang diluncurkan pada tahun 2003.

Tidak tanggung-tanggung, kebijakan SIAK yang dikeluarkan oleh Depdagri ini diembel-embeli dengan istilah online, meski pada implementasinya system online ini “tidak terlalu laku” oleh banyak Pemda yang memang saat itu masih belum mengenal online murah. Bahkan ada statement pejabat pengelola SIAK di Depdagri yang dengan tegas tidak mentolerir system offline dengan alasan data kependudukan harus diverifikasi nasional realtime. Sampai dengan tahun 2007 ini, kebijakan SIAK ini mengalami beberapa perubahan fundamental. Kebijakan offline mulai ditoleransi dan permasalahan sarana kerja computer dan perlengkapannya dibantu melalui subsidi dari Depdagri. Namun itu bukan berarti menyelesaikan semua masalah, sebaliknya, berpotensi melahirkan masalah-masalah baru.

Kebijakan SIAK baru saat ini dilaksanakan dengan membagikan satu unit server yang dibundle dengan Microsoft Windows Server 2000, Database Oracle dan Beaweb Logic, ditambah 8 unit clients. Aplikasi SIAK diberikan gratis. Sekilas kebijakan ini menuntaskan masalah dana dalam implementasi pengelolaan layanan public sector kependudukan. Kenyataannya masih ada beberapa masalah yang harus dipecahkan daerah, antara lain :

1. Jumlah kecamatan yang lebih dari 8 (dibandingkan dengan subsidi 8 unit PC). Selayaknya ini memang dianggap sebagai stimulant bagi Pemda. Banyak Pemda harus mengadakan perangkat baru bila harus memenuhi standar dasar software yang disyaratkan Depdagri.

2. Penggunaan software proprietary berkualifikasi tinggi yang memang tidak menjadi masalah bila Pemda sudah memiliki system online antara Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan ke Kecamatan, namun menjadi pilihan berat bila Pemda tidak memiliki system online tersebut.

Pilihan

Penetapan penggunaan software proprietary dasar yang relative mahal menjadi masalah besar bagi Pemda yang tidak memiliki system jaringan computer hingga Kecamatan karena untuk implementasi pada level di luar Pemerintah Kabupaten harus menggunakan software yang sekelas dengan level Kabupaten. Pada kondisi seperti ini, Pemda yang tidak memiliki system jaringan ke Kecamatan dihadapkan pada beberapa pilihan, antara lain :

1. Berbelanja software proprietary legal untuk semua Kecamatan;

2. Menggunakan software bajakan;

3. Memusatkan semua layanan kependudukan ke tingkat kabupaten, sehingga Pemda yang sudah terlanjur mendistribusikan layanan kependudukan ke Kecamatan harus menarik kembali ke Kabupaten/Kota dan masyarakat harus rela mengeluarkan dana ekstra untuk bisa mengakses layanan kependudukan yang mereka perlukan

4. Tidak menjalankan atau tidak loyal terhadap kebijakan Depdagri

Open Source Software

Sayangnya Depdagri sama sekali tidak memberi peluang bagi bagi Pemda untuk menggunakan open source software (OSS) dalam penerapan SIAK ini. Penggunaan OSS sebenarnya bisa menjadi alternative kelima yang berpotensi membantu Pemda yang “miskin” untuk tetap loyal menjalankan kebijakan SIAK sesuai aturan yang dijalankan.

Teman dari Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat bahkan membandingkan penggunaan software proprietary dan open source pada kondisi Pemda tanpa jaringan online pada 8 Kecamatan sebagai berikut :

I. Software Proprietary

No

Item

Harga satuan

Jumlah Kec

Jumlah Biaya

A

Software

1

MS Win Server 2000

6,600,000

8

52,800,000

2

Bea Weblogic

30,000,000

8

240,000,000

3

Oracle

21,000,000

8

168,000,000

Jumlah A

460,800,000

B

Hardware

1

Server

47,000,000

8

376,000,000

2

UPS

3,520,000

8

28,160,000

Jumlah B

404,160,000

C

Instalasi

1,000,000

8

8,000,000

Jumlah A+B+C

872,960,000

II. Open Source Software

No

Item

Harga satuan

Jumlah Kec

Jumlah Biaya

1

Software kependudukan

0

8

0

2

Pelatihan

25,000,000

1

25,000,000

3

Instalasi

1,000,000

8

8,000,000

4

Akomodasi

10,000,000

1

10,000,000


Jumlah

43,000,000

Bila dilihat table-tabel di atas, barangkali memang tidak fair membandingkan rincian belanja implementasi SIAK yang mengadakan belanja hardware dengan belanja Open Source untuk kependudukan yang tidak mengadakan hardware. Namun perlu dipahami bahwa standar software yang ditentukan Depdagri memerlukan spesifikasi teknis yang cukup tinggi, yang jelas tidak mungkin dipenuhi oleh computer yang saat ini ada di kecamatan, sehingga memerlukan belanja perangkat keras. Berbeda dengan spesifikasi hardware yang diperlukan oleh Open Source, yang mampu berjalan pada computer sekelas Pentium 3, atau cukup diampu oleh computer eks Pemilu 2004.

Komunitas open source pun telah membuktikan keseriusan mereka membantu pengembangan e-government di Indonesia, yang diawali dengan data kependudukan yang memang menjadi dasar bagi banyak aplikasi pemerintahan lainnya. Komunitas ini telah menyediakan alternative implementasi kebijakan layanan public kependudukan yang dapat diperoleh secara gratis melalui website egov-indonesia.org.

Seiring dengan perkembangan Open Source Software di Indonesia, yang didukung dengan kebijakan nasional Indonesia, Go Open Source (IGOS), selayaknya penggunaan Open Source bagi implementasi e-government di Indonesia mulai serius dijalankan secara konsekuen. Dengan demikian berbagai kecurigaan bahwa e-government di Indonesia mahal karena memang dibuat mahal secara bertahap dapat diperbaiki dan menghasilkan pemerintahan yang efektif meskipun efisien.

Dewan TIK Daerah

Pembentukan Dewan Teknologi Informasi Nasional (DeTIKNas) pada akhir 2006 yang lalu memberikan harapan baru bagi pengembangan Tektonogi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional. Apa yang selama ini terkesan lebih banyak dilakukan secara sporadis khususnya di kalangan Pemda, dengan keberadaan DeTIKNas, aktifitas pengembangan TIK menjadi lebih sinergis dan terpola dengan baik. Meruntuhkan berbagai ego sektoral dan ego otonomi yang dituduh sebagai salah satu sulitnya pengembangan TIK secara komprehensif nasional. Meskipun sebenarnya, bagi banyak Pemerintah Daerah, lembaga sejenis DeTIK ini bukan merupakan hal yang baru. Banyak Pemerintah Daerah yang sudah jauh-jauh tahun telah memiliki Dewan TIK Daerah (DeTIKDa) dengan berbagai nama seperti Team Telematika, Pokja TIK, dan lain-lain.

Meski tidak sepenuhnya memiliki Tugas pokok dan fungsi yang sama persis dengan DeTIKNas, DeTIKDa juga memiliki tugas membantu Kepala Daerah dalam mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Beberapa Pemerintah Daerah menyempitkan fungsi DeTIKDa hanya pada dataran e-government saja.

Sejak era 2000an, DeTIKDa ini sudah dibentuk di beberapa Pemerintah Daerah melalui berbagai variasi dokumen legal, seperti Perda, SK Kepala Daerah hingga sekedar SK Kepala Kantor (Satuan Kerja). Namun demikian lembaga ini kurang bisa berperan optimal. Tentu saja banyak sebabnya.

Meskipun DeTIKDa sudah banyak dimiliki oleh Pemerintah Daerah dengan berbagai nama, pada kenyataannya tidak semua atau bahkan dapat dikatakan hampir keseluruhan lembaga ini kurang berdaya. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain :

1. Kelembagaan. Pada umumnya lembaga ini dipimpin oleh Pimpinan Lembaga TI Pemerintah Daerah dengan menempatkan Bupati sebagai penanggungjawab. Keanggotaan lembaga ini bervariasi antara simple dan kompleks. Mulai dari melibatkan pejabat strategis saja hingga terdiri dari team teknis yang ditunjuk pada semua Satuan kerja. Belum banyak Pemerintah Daerah yang melibatkan unsur masyarakat, seperti dari unsur pendidikan (perguruan tinggi) atau dari komunitas pebisnis sektor TIK.

Keterlibatan seseorang dalam DeTIKDa yang lebih banyak dikarenakan jabatan terbukti menyebabkan lembaga ini kurang optimal. Menempatkan tugas sebagai anggota DeTIKDa hanya sebagai sambilan dengan latarbelakang pengetahuan TIK yang terbatas jelas menjadikan lembaga ini sebagai lembaga tidak efektif, bahkan tidak efisien karena beberapa Pemerintah Daerah memberikan honor.

2. Tupoksi. Tugas Pokok dan Fungsi yang diemban DeTIKDa sangat bervariasi antar Pemerintah Daerah yang disebabkan tidak adanya ketentuan yang jelas di tingkat nasional. Beberapa daerah sudah memposisikan team DeTIKDa sebagai lembaga yang mengatur berbagai kebijakan pengembangan TIK Pemerintah Daerah, bukan hanya internal Pemerintah Daerah saja. Namun demikian dengan tidak melibatkan stakeholder secara luas, target meningkatkan dan mengatur kebijakan ke-TIK-an masyarakat dan Pemerintah menjadi kurang efektif. Apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan berbagai fenomena TIK publik menjadi kurang ter-cover.

3. E-leadership. Kurang optimalnya pengembangan TIK di daerah juga disebabkan oleh lemahnya e-leadership. Belum banyak pimpinan daerah yang menunjukkan kepeduliannya pada pada TIK. Bahkan tidak sedikit yang menilainya sebagai cost center, beban anggaran saja. Dukungan yang minim nin menyebabkan berbagai produk DeTIKDa hanya sebagai dokumen mimpi dan menumpuk sebagai arsip.

4. Kemampuan SDM. Ini merupakan permasalahan mendasar. Sehebat apa pun DeTIKDa dibentuk, tanpa didukung oleh person-person yang benar-benar memahami seluk beluk TIK, hasilnya tidak akan optimal. Keanggotaan DeTIKDa yang melibatkan pejabat struktural tanpa memperhatikan si pejabat mampu atau tidak, tapi karena jabatannya yang bersangkutan harus masuk dalam dewan TIK jelas kurang efektif. Bagaimana mungkin Kepala Daerah meminta rekomendasi TIK dari orang yang tidak paham TIK.

5. Kepedulian Masyarakat. Lembaga DeTIKDa semestinya terdiri dari berbagai komponen ABG (Akademisi, Bisnis dan Government). Namun ketiga komponen utama masih banyak tersekat-sekat, sehingga masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing. Kurangnya sosialisasi lembaga DeTIKDa juga menyebabkan lembaga yang bisa menjembatani kepentingan masyarakat dan Pemerintah dalam pengembangan TIK menjadi kurang efektif.

Kurang berdayanya DeTIKDa menyebabkan peran lembaga TI Pemerintah Daerah menjadi sangat dominan. DeTIKDa lebih sekedar sebagai lembaga legalisasi saja. Produk yang dihasilkan juga kurang melibatkan semua komponen stakeholder. Akibatnya, berbagai rekomendasi yang dihasilkan lebih cenderung mewakili kepentingan lembaga TIK Pemerintah Daerah, kurang mengakomodir kepentingan publik.

Profesional.

Untuk mengoptimalkan DeTIKDa, sebaiknya lembaga ini terdiri dari orang-orang profesional, baik dari kalangan Akademisi, Bisnis maupun Government. Bukan hanya birokrat saja. Personil yang ditunjuk dapat memanfaat perguruan tinggi setempat, sebagaimana dilakukan Pemprov Jogja, Komunitas bisnis TIK dan LSM TIK yang ada di wilayahnya. Dengan demikian lembaga ini bersikap netral dan memandang pengembangan TIK Pemerintah Daerah apa adanya, tanpa dimuati kepentingan pihak-pihak tertentu, tak terkecuali kepentingan Lembaga TIK Pemerintah Daerah. Karena memang muncul kecurigaan bahwa legalitas yang dikeluarkan oleh DeTIKDa digunakan untuk mengajukan berbagai proyek yang belum tentu bermuara bagi kepentingan rakyat.

Bila perlu DeTIKNas melakukan “intervensi” regulasi umum ke lembaga ini guna pertimbangan “kultur” yang bervariasi antar Daerah. Bagaimana pun juga, kenyataan menunjukkan, meski pun terdapat Depkominfo dan Departemeni Dalam Negeri sebagai Bapak TIK, masih banyak Pemerintah Daerah yang belum melengkapi tupoksi lembaga TIK Pemerintah Daerah sebagai regulator dan perpanjangan tangan TIK Nasional, masih banyak berkutat ke pengembangan internal birokrasi. Belum banyak aksi mengembangkan TIK masyarakat. Alhasil, Masyarakat sendiri yang harus bangkit membangun TIK mereka sendiri.

Karena itu keberadaan DeTIKDa yang terdiri dari berbagai kalangan profesional termasuk dari kalangan Masyarakat, akan menjamin hak dan kepentingan masyarakat terwakili dalam setiap kebijakan TIK oleh Kepala Daerah.

22 June 2007

E-Corruption di Pemerintahan

Dalam sebuah event e-government, muncul sebuah joke “e-corruption” yang disandingkan dengan e-government. Sebuah statement yang menarik adalah : “Adakah e-government = e-corruption?”. Dari berbagai fenomena dalam pengembangan e-government di Indonesia, agaknya perlu sebuah kejujuran bahwa e-government project juga berpotensi sebagai ladang korupsi, bahkan hampir tanpa terperhatikan. Sejauh manakah peluang-peluang tersebut tercipta dan diciptakan?

Korupsi di Indonesia sudah banyak diasumsikan sebagai budaya. Tak heran Indonesia dicap peringkat ke enam negara terkorup di seluruh dunia. Tapi itu masih lebih baik dibandingkan pada era 2000-an, ketika Indonesia dicap sebagai negara ter-korup di dunia. Korupsi merupakan aktifitas sistemik, sehingga sulit untuk diberantas. Antara pihak yang terlibat langsung maupun pihak-pihak pendukungnya cenderung saling melindungi dan hampir tidak ada aktifitas hitam di atas putih. Semua berjalan melalui sebuah konsensus yang banyak di-loyali pihak-pihak yang terlibat.

Banyak pihak melihat korupsi selalu diinisiatifi oleh komunitas birokrat, namun sebenarnya tidak sedikit inisiatif korupsi yang diawali oleh publik, pihak yang seharusnya mendapat layanan. Namun karena beraneka alasan, justru merekalah inisiatornya. Jadinya, nyaris tidak ada korupsi yang bertepuk sebelah tangan, selalu bertepuk tangan.

Banyak slogan dikumandangkan bahwa e-government merupakan solusi menuju transparansi. Namun kenyataannya, media transparansi pemerintah tersebut tidak jarang dibangun dengan pondasi korupsi. Jadi bagaimana bisa diharapkan akan benar-benar menjanjikan transparansi? Lalu, dimanakah potensi korupsi pada project e-government terjadi?

Mark Up

Cara ini merupakan cara paling klasik dan meniru metode dari banyak bidang lainnya. Tidak ada yang khas. Minimnya wawasan lembaga perencaan pembangunan, keuangan daerah dan pengawasan daerah dibandingkan dengan kemampuan orang-orang yang secara struktural dan fungsional (tupoksi) dipercaya mengelola Teknologi Informasi menyebabkan mark up ini mudah disembunyikan.

Namun demikian upaya me-mark up ini bukan hanya didominasi oleh mereka yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang Teknologi Informasi Pemerintah Daerah dan e-government, namun metode ini juga dilakukan oleh para pejabat lainnya, termasuk Kepala Daerah. Tidak adanya standar harga produk Teknologi Informasi baik nasional maupun regional, seperti aplikasi e-government menyebabkan belanja software pemerintahan menjadi ladang paling aman untuk melancarkan korupsi. Mengembalikan modal Pilkada.

Tak heran bila kita melihat perbedaan yang sangat mencolok belanja software antara Pemerintah Daerah yang satu dengan Pemerintah Daerah yang lain. Kita tentu ingat kasus pembuatan website salah satu Pemerintah Daerah di Sumatera yang berharga 2 Milyard, sementara di Pemerintah Daerah lain tak lebih dari 20 juta rupiah.

Saat ini pun gejala project e-government panas sudah merambah di pulau jawa. Seakan tak mau kalah dengan Pemerintah Daerah-Pemerintah Daerah kaya lainnya, tidak sedikit Pemerintah Daerah di Jawa yang mulai membelanjakan Teknologi Informasi dengan harga fantastis. Soal bagaimana implementasinya, berhasil atau gagal, itu urusan nanti.

Berbeda dengan belanja hardware, dimana banyak orang dengan mudah membandingkan harga jadi yang ditetapkan pemerintah dengan harga pasar. Namun demikian bukan berarti tidak banyak Pemerintah Daerah yang dengan gagah berani me-mark up harga hardware, dan buktinya banyak yang aman. Barangkali karena project Teknologi Informasi/E-government tidak se-fantastis project lain, atau perangkat hukum yang kurang memahami Teknologi Informasi.

High End Fever

Pada sisi yang berbeda, kebiasaan konsumtif orang-orang pemerintahan yang gemar belanja perangkat keras high end, namun hanya difungsikan untuk pekerjaan-pekerjaan ringan, bisa jadi patut dianggap sebagai penyalahgunaan uang rakyat, meski tidak ada unsur memperkaya diri sendiri atau kelompok. Trend belanja tersebut tidak jarang dibalut dengan belanja Sistem Informasi Pemerintahan. Setiap belanja software Pemerintah Daerah (Sistem Informasi) selalu diiringi belanja server.

Tak heran bila ada Pemerintah Daerah yang memiliki jumlah server berbanding lurus dengan jumlah aplikasi/Sistem Informasi yang dikembangkan. Kondisi inefisiensi ini kerap kali dipengaruhi oleh ego sektoral antar dinas, sehingga belanja dan belanja hardware, khususnya server tidak dicermati dengan baik, bahkan dianggap sebagai solusi untuk menghindari “keributan” antar dinas. Semestinya satu server mampu melayani banyak aplikasi e-government.

Alasan yang paling banyak dipilih oleh mereka yang terkena penyakit demam TI mutakhir adalah untuk mempercepat pekerjaan dan hardware yang dibelanjakan tidak mudah rusak. Namun faktanya alasan-alasan itu lebih banyak dikemukakan oleh orang-orang yang tidak terlalu paham hardware Teknologi Informasi, khususnya komputer. Repotnya, sebagian besar alasan-alasan tersebut juga bagian dari legalisasi untuk harga yang mahal. Tentunya, sulit untuk dipercaya bila tidak ada sesuatu di belakangnya. Dan jelas, pihak penyedia jasa yang paling diuntungkan.

Licence Trap

Jebakan lisensi lebih diasumsikan sebagai jebakan kepada lembaga pemerintah untuk menggunakan produk software tertentu, baik Operating System (OS) maupun tailor made software yang biasa disebut SIM Pemerintah Daerah (aplikasi e-government). Jebakan yang paling banyak terjadi adalah “memelihara ketergantungan”.

Fenomena dominan yang paling tampak jelas adalah pembelanjaan OS yang jelas-jelas menciptakan ketergantungan. Memang betul, setiap level Pemerintah berhak menentukan aplikasi yang mereka sukai, termasuk propietary. Namun ketika dana selalu dijadikan alasan kurang berkembangnya e-government, mengapa opsi murah yang ditawarkan Open Source Software (OSS) tidak dipilih? Memang OSS tidak berarti tidak memerlukan biaya investasi awal. Proses migrasi melalui training-training juga berpotensi biaya yang tidak sedikit. Namun dalam jangka menengah dan panjang, efisiensi dan kemandirian yang selama ini diidam-idamkan bukan tidak mungkin diwujudkan.

Kilah bahwa OSS belum sepenuhnya memposisikan diri sebagai substitusi yang handal dibanding propietary memang tidak sepenuhnya salah. Namun pada sebagian besar pekerjaan birokrasi, terutama perkantoran sudah dapat dilayani dengan lebih baik fungsi-fungsi OSS.

Jebakan lisensi yang tidak kalah sadisnya adalah adanya kerjasama kontrak pengembangan aplikasi e-government dimana muncul kewajiban Pemerintah (Daerah) untuk membayar lisensi secara periodik terhadap aplikasi yang dibangun dengan uang rakyat sendiri. Sungguh tragis, aplikasi yang dibangun melalui APBD ternyata hanya bisa digunakan bila Pemerintah Daerah membayar lisensi kepada pengembang setiap tahun. Bila tidak dibayar, aplikasi itu “dimatikan” oleh rekanan. Kontrak kerja semacam ini jelas sarat dengan indikasi “permainan”.

Arogansi

Meski otonomi daerah telah disepakati dan dijalankan, namun arogansi pusat yang semestinya lebih banyak bekerja pada sisi rule, ternyata juga ingin bermain dalam bidang teknis. Mereka yang membuat aturan, mereka yang mengatur permainan dan mereka yang mengerjakan. Lalu apa peran Pemerintah Daerah? Tentu saja loyalitas itu tidak akan murah harganya.

Contoh perilaku semacam ini ditunjukkan dalam beberapa kebijakan top down dengan penunjukkan beberapa rekanan yang “dipercaya” oleh Departemen untuk membangun aplikasi, hingga distribusi hardware dengan spesifikasi high end. Aplikasi pun dikemas supaya hanya bisa berjalan dengan hardware kelas mahal dan aplikasi-aplikasi propietary yang super hebat. Kebijakan ini dikemas dengan “stimulan” berupa hardware dan software mahal tersebut di atas. Alhasil, untuk kepentingan implementasi secara lebih luas Pemerintah Daerah harus belanja perangkat dan software mahal tersebut. Tidak ada pilihan lain. Lagi-lagi isue loyalitas selalu dikedepankan. Tidak heran bila para pejabat Pemerintah Daerah jadi “ketakutan”. Bahkan trend online dijadikan landasan kebijakan tanpa memperhatikan kemampuan Pemerintah Daerah. Adakah banyak pejabat yang terlalu latah dengan kata “online”? ataukah supaya terlihat canggih?

Akhirnya, Adakah anda yakin bahwa tidak terjadi “sesuatu” dibalik kebijakan seperti itu?

Ternyata kebijakan tersebut di atas juga tidak menjamin project akan berjalan dengan baik. Dan lagi-lagi, Pemerintah Daerah selalu dijadikan kambing hitam, dituding sebagai penyebab tidak berjalannya project. Lalu, dimana posisi tawar Pemerintah Daerah?

Copy & Paste

Aktifitas ini merupakan pekerjaan paling sederhana, namun berpotensi menjanjikan keuntungan paling besar. Bayangkan misalnya orang suatu Pemerintah Daerah melakukan studi banding ke Pemerintah Daerah, Berbagai pertanyaan dikirim mendahului melalui email. Hasilnya, acara di lokasi lebih banyak formalitasnya. Hal serupa terjadi dalam beberapa kasus pembuatan Renstra, Dokumen-dokumen statistik, bahkan Rencana Induk Pengembangan (RIP) E-government. Lucunya, tidak sedikit rekanan yang lupa menghapus nama Pemerintah Daerah yang lama.

Bahkan ada lembaga Teknologi Informasi/E-government Pemerintah Daerah yang berani copy-paste Master Plan dan blue Print e-government. Padahal, belum tentu Master Plan/Blue Print e-government Pemerintah Daerah yang satu cocok diterapkan di Pemerintah Daerah lainnya. Perilaku seperti ini relatif aman, karena memang sangat sedikit orang yang bisa mencermati, memahami isi dan maksud RIP e-government, kecuali orang-orang di lembaga e-government itu sendiri.

Jebakan Training

Peningkatan SDM disadari sebagai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi supaya bisa lebih berdaya. Perubahan kebijakan pusat yang relatif sering dan keinginan Pemerintah Daerah untuk mengadopsi bisnis proses dan teknologi supaya mampu bersaing dengan lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah lain memacu semangat mengirimkan personil untuk mengikuti berbagai aktifitas training maupun peningkatan kualitas SDM lainnya.

Latar belakang pendidikan peserta memang kerap kali jadi kendala dalam proses transfer knowledge. Namun permasalahan mendasar yang menyebabkan potensi korupsi terjadi justru dari niat baik dan niat tersembunyi di balik berbagai event training nasional ini.

Di bidang e-government, berbagai training telah dilaksanakan oleh banyak Departemen. Pesertanya pun berasal dari seluruh pelosok nusantara. Judul event-nya pun hebat dan diselenggarakan di hotel berbintang di Jakarta. Tentu saja biayanya jadi tidak murah. Namun, apakah event-event tersebut mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta?

Beberapa event training itu malah ada yang separoh waktunya dihabiskan untuk outbond. Tema “integrasi e-government” pun tak lebih hanya training menggunakan internet, membuat email dan search engine. Event “membangun database e-government” yang berlangsung beberapa minggu pun tak lebih dari pengenalan MS-Access. Jadi, jangan tanya apakah ada tidak lanjut. Karena pemantauan kinerja peserta pasca training bukan point yang menguntungkan dalam sebuah event training e-government nasional.

Mampu kah Departemen menyelenggarakan sendiri training itu? Pengalaman menunjukkan bahwa berbagai training nasional e-government secara de facto lebih banyak dimotori oleh rekanan yang di-support secara de yure oleh berbagai payung birokrasi. Surat undangan untuk mengikuti training yang dikeluarkan oleh Departemen ini yang seringkali menjadi “surat sakti” kelancaran training.

Peran Swasta

Adalah suatu kewajaran bila swasta menggunakan berbagai strategi untuk memasarkan produknya. Pendekatan kepada para birokrat, khususnya di tingkat pusat merupakan cara efisien dan efektif, mengingat pasar Pemerintah Daerah dapat terbuka lebar melalui pusat. Moril pejabat memang menjadi gerbang strategis yang harus dilindungi.

Seiring dengan berbagai fenomena yang ada dan konsistensi terhadap komitment reformasi nasional, kesadaran semua pihak untuk tidak “memanfaatkan” posisi dan jabatan untuk kepentingan yang jelas mudah dibaca sebagai “permainan” yang dikemas dalam sebuah “niat baik”.

Pusat perlu menyusun formula yang jelas dan kebijakan yang tegas mengenai pengembangan e-government. Standarisasi teknis hingga harga yang wajar harus sudah mulai ditetapkan. Sebuah aplikasi kepegawaian misalnya, tentu akan berbeda harga antara sistem yang dibangun dengan open source dengan harga propietary. Simpeg berbasis MS-SQL – Delphi misalnya, tentu akan berbeda harga dengan Simpeg berbasis My-SQL – PHP. Jumlah hari dalam pengerjaan teknis pemrograman pun dapat distandarisasi, termasuk harga wajar dalam proses maintenance. Bahkan bila perlu Pemerintah Daerah juga bisa melakukan standarisasi sendiri, bila standar yang ditetapkan oleh Pusat dianggap masih terlalu berat, seperti halnya standarisasi man-hours yang ditetapkan oleh Surat keputusan Bersama (SKB) antara Bappenas, Depkeu dan Departemeni Dalam Negeri.

Peran swasta bidang hardware untuk menekan potensi korupsi di bidang e-government (e-corruption) pun dapat dijalankan melalui minimalisir layer distribusi dan penentuan paket-paket hardware sesuai fungsinya. Misal PC online untuk kepentingan perkantoran biasa, multimedia editor, server dan sebagainya dengan harga yang jelas berbeda-beda. Dengan demikian mampu membantu aparat Pemerintah untuk memilih hardware sesuai beban tugasnya, tidak terjebak pada demam Teknologi Informasi canggih. Tidak terjebak pada inisiatif korupsi atau tindakan yang dapat diindikasikan sebagai korupsi dari berbagai pihak. Sayangnya perusahaan yang memiliki komitmen seperti ini cenderung tidak disukai oleh oknum pejabat e-government.

Sebaiknya berbagai pihak mulai berpikir untuk menguatkan komitment meningkatkan penetrasi Teknologi Informasi publik dan penguatan e-government secara komprehensif. Kalangan Pemerintah bukan satu-satunya pasar potensial ketika penetrasi Teknologi Informasi publik sudah tinggi. Dan karena Pemerintah memiliki fungsi sosial dan pelayanan umum, maka justru swasta yang harus berperan dominan melalui subsidi (Universal Service Obligation) supaya layanan e-government betul-betul bisa dirasakan publik secara online, sehingga mampu mendorong penetrasi Teknologi Informasi publik. Memperkuat semboyan : Do not stand in-line, get online.

02 June 2007

Depdagri, RUU dan Komunitas open SOurce

Barangkali dapat dikatakan bahwa pengelolaan kependudukan ibarat salah satu ladang pemborosan uang rakyat negeri ini. Lihat saja, banyak kepentingan masuk dan selalu saja terdengar ada "sesuatu" dibalakang kebijakan dari setiap pihak yang berkompeten langsung. Mulai dari era orde baru hingga saat ini. Selalu berganti pemain, dan selama itu pula berganti kebijakan sesuai pimpinan yang berkuasa.
Pada era dulu, pendataan kependudukan yang semula dilakukan secara manual, sesuai era dan kemajuan Teknologi Informasi (TI), mulai ada kebijakan komputerisasi (1994). Kebijakan ini jelas tidak murah, dan yang bermain pun tidak tanggung-tanggung, dari salah satu keluarga pusat kekuasaan. Penguasa informil, yang antara ada dan tiada. Kebijakan ini lebih dikenal dengan kebijakan sektoral kependudukan. DIbangun Sistem Informasi Manajemen (SIM) KTP, SIM Kartu Keluarga (KK) dan SIM Catatan Sipil (Capil).

Komputerisasi yang sebenarnya sudah mulai berjalan bagus meski belum online pun berubah pada era reformasi tahun 1998-an. Muncullah SIM Kependudukan (Simduk) dengan format "Kartu Biru". Kebijakan ini ternyata tidak jauh beda, hanya saja tidak memanfaatkan data lama yang sudah di-entry oleh komputerisasi dokumen kependudukan lama. Mulai dengan konsep alami untuk mendata penduduk.

Kebijakan ini berubah pada era 2003-an dengan kebijakan SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) online. Meski masih bersifat pilot project, Kabijakan ini makan biaya tidak sedikit. Pilot project ini dilaksanakan pada 3 Kabupaten setiap Provinsi, sementara Pemkab/Kota yang tidak menjadi lokasi pilot project "dihimbau dengan sangat" untuk menyesuaikan kebojakan kependudukannya seperti pilot project, mulai dari spesifikasi teknis komputer hingga membeli sistem informasi dan training yang diselenggarakn di hotel berbintang empat. Mahal? Jelas dong !
Pada kebijakan SIAK 2003 ini, Depdagri mengambil kebijakan wajib online. Artinya, untuk mendapatkan nomor KTP dan registrasi Kartu harus melalui koneksi internet, langsung ke Server Depdagri. Hebat kan! lalu bagaimana biayanya ? Pada setiap sosialisasi Depdagri menggandeng rekanan yg selalu direkomendasikan sebagai ISP dengan harga Rp. 1 juta per titik Kecamatan/kelurahan per bulan.
Lalu bagaimana dengan Pemda yang miskin? Bagaimana dengan kenyataan bahwa masih banyak Kecamatan yang sehari hanya melayani 5 - 10 KTP/KK? Tekor dong Pemdanya. Pemasukan PAD setiap bulan jelas tidak nutup untuk biaya internet. Apakah harus menambah biaya administrasi setiap dokumen kependudukan yang diminta rakyat? Bukankah seharusnya dokumen kependudukan diberikan gratis kepada rakyat yang sudah membayar pajak-pajak?
Pada sebuah sosialisasi di Solo, saya menanyakan mengapa harus online? Mengapa harus verifikasi data via internet ke server Depdagri? Tidak bisakah dengan sistem offline dengan kewajiban setor data secara berkala (misal mingguan) ke Server Depdagri? Apakah penomoran KTP/KK dan Akta Kelahiran tidak bisa dilaksanakan secara offline? Bukankah penomoran tersebut sudah dibagi dalam kategori Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa? Bisa offline to? Tidak perlu resah akan ada nomor yg sama antar desa, antar Kecamatan, antar Pemkab/Kota apalagi antar Provinsi.
Pak Dirjen agak kebingungan menjawab, sehingga harus dibantu rekanan. Jawaban rekanan cukup mengagetkan : "Sesuai kontrak aplikasi SIAK dibangun dengan online, tidak tersedia aplikasi untuk opsi offline. Jadi kalau mau offline, tunggu kontrak baru tahun depan !". Kelihatannya Semua Pemda dianggap tidak begitu paham apa itu aplikasi online dan offline. Kasihan deh Pemda.
Bahkan, berdasarkan info dari beberapa Kepala KPDE (Kantor Pengelolaan Data ELektronik) yang ikut sosialisasi di Depdagri, Dirjen Adminduk waktu itu pernah mengeluarkan statement "supaya tidak usah melibatkan KPDE dalam implementasi SIAK, bikin rubes (Kacau)". Sungguh bijak ya, hehehehehe...... Jelas banyak KPDE di Pemda yang tersinggung dengan statement keterlaluan ini. Mengapa tidak mau belajar, bahwa banyak pilot project TI/EGov dari berbagai departemen yang gagal karena tidak melibatkan lembaga TI Pemda (KPDE) yang notabene lebih siap menerima transformasi dan transfer knowledge bidang TI dari pada lembaga teknis lainnya? (Ini sih relatif, tapi potensinya memang relatif lebih tinggi).

Ok, jawabnya adalah verifikasi, sehingga perlu online. Satu kata verifikasi ini menjadi persoalan pelik banget bagi Pemda, karena harus menjawab soal biaya (APBD) dan jaringan komputer (setidaknya) antar Kecamatan. Belum lagi soal-soal lainnya.
Ternyata kemudian muncul surat edaran yang menetapkan ada 11 rekanan yang direkomendasikan oleh Adminduk bagi Pemda yang ingin membangun SIAK Depdagri. ALhasil, Pemda bingung antara loyalitas dan aturan main pengadaan barang dan jasa sesuai Kepres 80/2003. Adakah solusi aman dari Depdagri?
Kenyataannya, aplikasi-aplikasi yang di-install oleh para rekanan tersebut juga bervariasi dan sama sekali tidak ada komunikasi. Setor data ke Depdagri juga tidak benar-benar dijalankan. Data yang diminta Adminduk juga hanya dalam format MS-Excel. banyak Pemda yang gagal dan akhirnya kembali ke Simduk meski dengan bentuk KTP biru ala SIAK.
tahun 2005 Adminduk mulai mengumumkan bahwa SIAK tidak harus online, tapi juga bisa offline. Ini kemajuan positif, meski agak terlambat.
Berita mengejutkan terjadi ketika awal tahun 2006, pada sosialisasi open source dgn peserta KPDE se-Jawa tengah, ada staf BPPT menyampaikan informasi bahwa terjadi disharmonis antara Adminduk dengan 11 rekanan. Mengapa? Karena Depdagri berpendapat para rekanan tidak lagi loyal. Wow........
Maka Adminduk meminta BPPT membuat aplikasi versi baru (versi 2006) sekaligus dipersiapkan sebagai aplikasi tunggal untuk mendukung RUU Kependudukan.
Spontan saya bertanya : "Bagaimana konsep aplikasi baru SIAK versi 2006 produk BPPT-Adminduk? Apakah mengakomodir database dan bisnis proses dari SIAK yang sudah digunakan Pemda-pemda se-Indonesia?". Jawabnya lebih mengejutkan : "Sama sekali berbeda dengan apa yang sudah ada."
Pertanyaan saya selanjutnya : "Bagaimana dengan nasib Pemda-pemda yg sudah "bertaruh jabatan" mengimplementasikan SIAK?" DIjawab : Pemda-pemda tersebut harus menyesuaikan dengan SIAK Versi 2006. Artinya, mulai soal teknis hingga pembiayaannya."
Lho, gimana sih? Apa tidak tahu bagaimana teman-teman Kantor Capilduk harus bertelinga tebal di depan Panitia anggaran dan DPRD yang selalu menyorot soal pendataan kependudukan ini? Haruskah minta dana lagi dan lagi dan lagi untuk kegiatan yang sama? Maaf, bagi saya statement BPPT dan Adminduk terlalu egois dan tidak memperhatikan psikologi para pelaksana di Pemda.
Info dan diskusi ini saya lempar ke milis egov-indonesia@yahoogroups.com dan banyak tanggapan. Jelas kan siapa yang bakal terpojok? Akhirnya saya di telepon oleh staf dari BPPT tersebut mengenai tulisan saya di milis. Intinya beliau merasa terganggu dan ditegur Adminduk soal pengumuman pengembangan SIAK baru tersebut. Kemudian minta kepada saya untuk "menetralisir" yang intinya apa yg beliau ceritakan masih dalam taraf pembicaraan, belum dalam bentuk action formil.
Ok, anggap itu tidak terjadi. Namun berdasarkan informasi dari salah satu rekanan Depdagri yang kebetulan pernah dapat proyek dari saya, apa yang saya sampaikan adalah benar. Terutama soal tidak loyalnya para rekanan kepada Adminduk.
Perkembangan terbaru, pada akhir tahun 2006 Depdagri meluncurkan kebijakan baru soal SIAK. Adminduk membagikan secara gratis kepada semua Pemkab/Kota 1 unit server dengan spesifikasi tinggi dan 8 unit PC. Aplikasi yang di bundle pun canggih, antara lain : Windows Server 2000, Bea Web Logic dan Oracle. All free for local government. Hebat kan ! Kebijakan ini "dikemas" dalam sebuah niat baik untuk membantu Pemda. Training ke Jakarta (lagi-lagi di hotel berbintang) menggunakan biaya Pemda. Murah? Forget it ! Tapi dalam pelaksanaannya, ada peserta yang harus rela naik angkot carteran panitia untuk pulang balik dari penginapan ke lokasi training. Asyiiiiiikkkk.......

Namun tunggu dulu. Mengapa harus Windows Server 2000? mengapa harus dgn bea web logic dan mengapa pakai oracle? APlikasi pun kembali dikemas dengan atribut "online". Ada apa dengan para provider software-software mahal tersebut?
haruskah pakai bea web logic? Berapa frekuensi transaksi yang harus dilayani? Samakah dengan perbankan?
Bagi Pemda yang sudah memiliki jaringan komputer online hingga Kecamatan, pembagian "jatah" tersebut tidak menimbulkan banyak masalah. Tapi bagi Pemda miskin, itu awal masalah baru. Untuk bisa menggunakan aplikasi-aplikasi secara offline, pemda memiliki empat opsi :
1. Membeli lisensi (mahal) bagi setiap Kecamatan
2. Menggunakan bajakan
3. Menggunakan versi lain (dgn catatan bila berani)
4. Tidak loyal kepada Adminduk Depdagri.

Sungguh pilihan yang sulit dan tidak berpihak kepada Pemda.

Dari beberapa Pemda yang sudah m enerima dan mengikuti training yang diselenggarakan oleh Depdagri, kenyataanya aplikasi SIAK terbaru ini juga belum dapat berjalan sebagaimana seharusnya. Info terbaru ternyata aplikasi SIAK masih dalam versi beta.

Yang lebih heboh, ternyata dana pengembangan SIAK tahun 2007 ini mencapai hampir 4 Trilyun rupiah. Uang semua itu lho......

Melihat fenomena seperti itu, saya dan teman-teman dari komunitas open source membangun aplikasi "seperti" SIAK plus. DIbangun dengan PHP + My SQL. Untuk membantu kepentingan pelaporan ke Depdagri, sudah disiapkan aplikasi service yang mengkonversi dari My-SQL ke Oracle yang mudah digunakan. bahkan soal interoperabilitasnya pun sudah diuji di depan teman-teman dari DepKominfo pada awal Mei 2007 yang lalu. Semuanya free dan didukung pengembangan sesuai kebutuhan (kultur) Pemda. Bahkan siap untuk di-open source-kan. Kami beri nama AKSI Nasional (Administrai kependudukan terintegraSI Nasional).
Penggunaan aplikasi ini jelas akan menghemat banyak biaya. DIbandingkan penggunaan Windows Server 2003, Oracle dan Bea WebLogic, setidaknya bisa menghemat hingga Rp. 90 juta per titik lokasi.

Dengan penuh rasa hormat saya kepada Depdagri, khususnya Yth. Bapak Dirjen Adminduk, kami menawarkan aplikasi ini sebagai pengganti biaya software mahal yang dibundle dalam proyek SIAK 2006/2007. All free. Mari kita jadikan ini sebagai open source supaya Pemda bisa memodifikasi sesuai karakteristik/Kultur yang berkembang di Pemda. Distribusi aplikasi ini juga di bawah bendera Depdagri. Bukan atas nama pribadi. Memang Pemda masih perlu training, dan mohon training yang dijalankan benar-benar bisa memintarkan para operator dan teknisi egov Pemda.

Kepada Yth. Bapak Mendagri, mohon dicermati secara khusus kebijakan kependudukan ini, supaya lebih berpihak kepada rakyat, menghargai asas otonomi dan mendukung kemandirian Pemda.
Sebaiknya Depdagri tidak mengurusi masalah teknis, hingga menentukan rekanan dan pengadaan security paper bagi aktifitas pengelolaan data kependudukan Pemda. Pusat sebaiknya lebih fokus pada rule umum. Kepentingan teknis diserahkan kepada Pemda. Misalkan : Depdagri menetapkan data apa saja yang harus di setor, dalam format seperti apa saja, periode waktu updating dan cara update serta sinkronisasi database. Biarkan Pemda yang menterjemahkan kebijakan tersebut dalam action-action sesuai kemampuan mereka. Dengan bantuan rakyat yang peduli pada efisiensi dan efektifitas birokrasi, Insya Allah semua berjalan dengan lancar.
Meski mohon tetap membantu Pemda-Pemda yang memang belum bisa mandiri dan miskin. Bila diperlukan, komunitas juga siap menyediakan server sebagai bank data sekaligus verifikasi server yang mendukung konsep interoperabilitas SIAK. Termasuk helpdesk sebagai support bagi Pemda yang memerlukan bantuan dan konsultasi.
Kami yakin Bapak tidak menghendaki laporan Asal Bapak Senang (ABS). Mohon dicek langsung ke Pemda-pemda mengenai implementasi SIAK Nasional. Berapa yang jalan dan berapa yang tidak jalan. Dan mohon coba memahami suara para birokrat Pemda yang sering dibingungkan dengan kebijakan kependudukan yang sering berubah-ubah dan tidak konsisten. Yang sering takut dianggap tidak loyal, namun hanya bisa mengeluh. Data kependudukan yang ada di Adminduk sekarang adalah data P4B produk Pemilu 2004 yang relatif kurang terbaharui. tak heran bila digunakan dalam Pilkada, sering menuai masalah.

Akan lebih cantik bila implementasi SIAK ini diselaraskan dengan kebijakan Depdagri "Jarkompusda", sehingga bisa membantu Pemda dalam membangun sistem online Pusat Daerah, dan Jarkompusda bukan hanya dipakai untuk Teleconference yang belum tentu dilakukan setengah tahun sekali.

Semoga tulisa ini bisa menggugah rakyat untuk bisa mendukung dan mengawasi pekerjaan profesional birokratnya. Juga supaya pemerintah tidak dianggap lagi "tidak becus" mengurusi database rakyat.
Semoga makin maju Egov-Indonesia.

Sukses selalu,
Ibenk
www.ibenk.info
www.egov-indonesia.org
email : bbdw1@egov-indonesia.org

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...