Pengelolaan data kependudukan di Indonesia telah lama menjadi ladang masalah, lahan basah dan tidak pernah tuntas dengan memuaskan. Selalu diindikasikan terjadi “sesuatu” dibalik setiap kebijakan, relative mahal dan daerah lebih banyak menjadi korban kebijakan top down yang tidak menentu ini. Hasilnya, banyak kebijakan nasional yang memerlukan data kependudukan turut bermasalah, mulai dari kebijakan Subsidi Langsung Tunai (SLT), Pendataan pemilih bagi pemilu/pilkada, hingga pendataan nomor selular. Semua menghasilkan masalah baru dan dampak yang cukup luas. Lalu, seperti apa ribat-ribet kebijakan nasional dan local di Indonesia ini?
Kebijakan Nasional
Kebijakan kependudukan di Indonesia boleh jadi dianggap sebagai salah satu sector yang pertama kali mengimplementasikan e-government, bahkan dapat dikatakan senantiasa mengadopsi high end Information Technology. Sejak tahun 1990an implementasi Teknologi Informasi (TI) sudah dijalankan dan mengalami beberapa kali perubahan. Sejak mengadopsi TI, pengelolaan data kependudukan mulai memiliki nama spesifik, seperti KTP computer, Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), Sistem Informasi Kependudukan (SIK) dan akhirnya menjadi Sistem Informasi Administrasi kependudukan (SIAK) yang diluncurkan pada tahun 2003.
Tidak tanggung-tanggung, kebijakan SIAK yang dikeluarkan oleh Depdagri ini diembel-embeli dengan istilah online, meski pada implementasinya system online ini “tidak terlalu laku” oleh banyak Pemda yang memang saat itu masih belum mengenal online murah. Bahkan ada statement pejabat pengelola SIAK di Depdagri yang dengan tegas tidak mentolerir system offline dengan alasan data kependudukan harus diverifikasi nasional realtime. Sampai dengan tahun 2007 ini, kebijakan SIAK ini mengalami beberapa perubahan fundamental. Kebijakan offline mulai ditoleransi dan permasalahan sarana kerja computer dan perlengkapannya dibantu melalui subsidi dari Depdagri. Namun itu bukan berarti menyelesaikan semua masalah, sebaliknya, berpotensi melahirkan masalah-masalah baru.
Kebijakan SIAK baru saat ini dilaksanakan dengan membagikan satu unit server yang dibundle dengan Microsoft Windows Server 2000, Database Oracle dan Beaweb Logic, ditambah 8 unit clients. Aplikasi SIAK diberikan gratis. Sekilas kebijakan ini menuntaskan masalah dana dalam implementasi pengelolaan layanan public sector kependudukan. Kenyataannya masih ada beberapa masalah yang harus dipecahkan daerah, antara lain :
1. Jumlah kecamatan yang lebih dari 8 (dibandingkan dengan subsidi 8 unit PC). Selayaknya ini memang dianggap sebagai stimulant bagi Pemda. Banyak Pemda harus mengadakan perangkat baru bila harus memenuhi standar dasar software yang disyaratkan Depdagri.
2. Penggunaan software proprietary berkualifikasi tinggi yang memang tidak menjadi masalah bila Pemda sudah memiliki system online antara Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan ke Kecamatan, namun menjadi pilihan berat bila Pemda tidak memiliki system online tersebut.
Pilihan
Penetapan penggunaan software proprietary dasar yang relative mahal menjadi masalah besar bagi Pemda yang tidak memiliki system jaringan computer hingga Kecamatan karena untuk implementasi pada level di luar Pemerintah Kabupaten harus menggunakan software yang sekelas dengan level Kabupaten. Pada kondisi seperti ini, Pemda yang tidak memiliki system jaringan ke Kecamatan dihadapkan pada beberapa pilihan, antara lain :
1. Berbelanja software proprietary legal untuk semua Kecamatan;
2. Menggunakan software bajakan;
3. Memusatkan semua layanan kependudukan ke tingkat kabupaten, sehingga Pemda yang sudah terlanjur mendistribusikan layanan kependudukan ke Kecamatan harus menarik kembali ke Kabupaten/Kota dan masyarakat harus rela mengeluarkan dana ekstra untuk bisa mengakses layanan kependudukan yang mereka perlukan
4. Tidak menjalankan atau tidak loyal terhadap kebijakan Depdagri
Open Source Software
Sayangnya Depdagri sama sekali tidak memberi peluang bagi bagi Pemda untuk menggunakan open source software (OSS) dalam penerapan SIAK ini. Penggunaan OSS sebenarnya bisa menjadi alternative kelima yang berpotensi membantu Pemda yang “miskin” untuk tetap loyal menjalankan kebijakan SIAK sesuai aturan yang dijalankan.
Teman dari Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat bahkan membandingkan penggunaan software proprietary dan open source pada kondisi Pemda tanpa jaringan online pada 8 Kecamatan sebagai berikut :
I. Software Proprietary
No | Item | Harga satuan | Jumlah Kec | Jumlah Biaya |
A | Software | | | |
1 | MS Win Server 2000 | 6,600,000 | 8 | 52,800,000 |
2 | Bea Weblogic | 30,000,000 | 8 | 240,000,000 |
3 | Oracle | 21,000,000 | 8 | 168,000,000 |
| | | Jumlah A | 460,800,000 |
B | Hardware | | | |
1 | Server | 47,000,000 | 8 | 376,000,000 |
2 | UPS | 3,520,000 | 8 | 28,160,000 |
| | | Jumlah B | 404,160,000 |
C | Instalasi | 1,000,000 | 8 | 8,000,000 |
| | | Jumlah A+B+C | 872,960,000 |
II. Open Source Software
No | Item | Harga satuan | Jumlah Kec | Jumlah Biaya |
1 | Software kependudukan | 0 | 8 | 0 |
2 | Pelatihan | 25,000,000 | 1 | 25,000,000 |
3 | Instalasi | 1,000,000 | 8 | 8,000,000 |
4 | Akomodasi | 10,000,000 | 1 | 10,000,000 |
| | Jumlah | 43,000,000 |
Bila dilihat table-tabel di atas, barangkali memang tidak fair membandingkan rincian belanja implementasi SIAK yang mengadakan belanja hardware dengan belanja Open Source untuk kependudukan yang tidak mengadakan hardware. Namun perlu dipahami bahwa standar software yang ditentukan Depdagri memerlukan spesifikasi teknis yang cukup tinggi, yang jelas tidak mungkin dipenuhi oleh computer yang saat ini ada di kecamatan, sehingga memerlukan belanja perangkat keras. Berbeda dengan spesifikasi hardware yang diperlukan oleh Open Source, yang mampu berjalan pada computer sekelas Pentium 3, atau cukup diampu oleh computer eks Pemilu 2004.
Komunitas open source pun telah membuktikan keseriusan mereka membantu pengembangan e-government di Indonesia, yang diawali dengan data kependudukan yang memang menjadi dasar bagi banyak aplikasi pemerintahan lainnya. Komunitas ini telah menyediakan alternative implementasi kebijakan layanan public kependudukan yang dapat diperoleh secara gratis melalui website egov-indonesia.org.
Seiring dengan perkembangan Open Source Software di Indonesia, yang didukung dengan kebijakan nasional Indonesia, Go Open Source (IGOS), selayaknya penggunaan Open Source bagi implementasi e-government di Indonesia mulai serius dijalankan secara konsekuen. Dengan demikian berbagai kecurigaan bahwa e-government di Indonesia mahal karena memang dibuat mahal secara bertahap dapat diperbaiki dan menghasilkan pemerintahan yang efektif meskipun efisien.
No comments:
Post a Comment