17 January 2008

Keuntungan E-Government bagi Rakyat

Sampai tahap sekarang ini sebagian besar komponen pemerintahan mengoperasikan E-Government lebih bagi kepentingan internal pemerintahan atau komunikasi yang cenderung lebih banyak satu arah kepada rakyat. Meski ber-milyard dana rakyat telah dibelanjakan, namun rakyat belum banyak memperoleh kemudahan dan bantuan solusi dalam pelayanan umum secara signifikan.

Pemahaman yang sempit juga masih dianut oleh sebagian besar satuan pemerintahan, bahkan pada level pemerintahan pusat, sehingga tidak jarang ada suatu award E-Government namun dengan tolok ukur penilaian hanya dari sisi performa dan feature-feature website atau website portal-nya saja. Hampir tidak menyentuh kombinasi back office dan front office yang menjadi inti dari E-Government. Bahkan belakangan ada sebuah acara E-Government award yang diidentikkan dengan website Pemerintah Daerah, dimana substansi penilaiannya didasarkan dari banyak sedikitnya kiriman SMS, bukan dari sejauh mana produk E-Government itu mampu mengakomodir kepentingan Pemerintah dan masyarakat serta implementasi pelayanan umum. Kelihatannya E-Government mulai dilirik sebagai sebentuk entertainment baru.

Kesalahan persepsi dan kelemahan pemahaman serta penguasaan manajemen dan teknis Information and Comunication Technology dan E-Government menyebabkan ternyadinya foya-foya anggaran pemerintahan bagi pembangunan E-Government yang tidak jarang hanya menghasilkan website, sebuah software pengganti brosur plus, bahkan belum berfungsi sebagai front office. Tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan, terutama dengan masih banyaknya keluhan Pemerintah Daerah berkenaan dengan rendahnya komitmen pimpinan dan terbatasnya anggaran bagi pengembangan E-Government.

Lalu apa yang sebenarnya menjadi tuntutan rakyat dengan implementasi E-Government ini? Apakah rakyat hanya perlu membaca brosur online yang dikemas dalam teknologi canggih bernama website? Ataukah rakyat ingin segala keperluan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah dapat diselenggarakan secara mudah, murah dan cepat? Seberapa penting koordinasi dikedepankan mengalahkan ego sektoral yang justru merugikan rakyat? Mampukan E-Government memperkecil peluang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ? Bagaimana bila pelayanan publik diselenggarakan tanpa E-Government?

Proses birokrasi pada dasarnya berlaku pada dua kondisi, pertama dari sudut pemerintah, dimana terjadi satu Satuan Kerja/Departemen yang harus berhadapan dengan banyak orang (one departemen, many citizen), dan kedua, dari sisi publik dimana masyarakat harus menuju dari satu meja ke meja yang lain, bahkan dari satu Satuan Kerja ke Satuan Kerja lain (one citizen, many point of contact). Setiap proses tentu saja memerlukan sebuah biaya, baik langsung maupun tidak langsung.

Skema 1















Skema 2








Pada skema 1 terlihat bahwa masyarakat harus berinteraksi secara langsung dengan Sakter/Dinas/Departemen dan birokrat-birokrat untuk memperoleh layanan umum, meskipun dibelakang mereka telah dibangun Sistem Informasi E-Government. Keterlibatan birokrat yang notabene juga manusia dengan gaji rendah dan rawan moril memiliki tingkat kerawanan tinggi terjadinya KKN. Hal berbeda akan terjadi bila publik secara tidak langsung berinteraksi dengan birokrat, namun dijembatani dengan sebuah Sistem Informasi E-Government terintegrasi. Publik tidak harus lagi berjalan dari satu meja ke meja yang lain, kecuali pada pendataan awal.

Melihat bahwa rakyat telah membayar pajak yang ternyata menjadi salah satu penopang utama berlangsungnya penyelengaraan negara ini, maka selayaknya rakyat memproleh pelayanan terbaik. Namun kondisi negara ternyata membangun toleransi rakyat, sehingga rakyat tetap rela mengeluarkan biaya bagi pelayanan umum yang diselenggarakan oleh para abdi negara dan abdi masyarakat. Pada kenyataannya kembali rakyat dikalahkan oleh sebuah kondisi yang menuntut rakyat mengeluarkan dana ekstra agar pelayanan publik terbaik yang menjadi hak mereka ini dapat berlangsung dengan mudah dan cepat, meski tidak murah dan harus mau bertepuk tangan melanggengkan KKN demi segera beresnya urusan mereka.

Tidak sedikit pimpinan pemerintahan, terutama di daerah yang menikmati pelayanan umum melalui proses konvensional meski ditopang perangkat dan infrastruktur Teknologi Informasi. Bila dilihat ternyata banyak pelayanan umum yang sudah computerize, namun tidak sedikit yang hanya mengotomatiskan proses manual dengan sistem informasi yang tidak transparan dan memiliki kekuatan hukum timbal balik, misalnya kompensasi yang berhak diterima masyarakat atas keterlambatan penerbitan dokumen publik mereka. Sistem Informasi pelayanan publik pun tidak terintegrasi, sehingga masyarakat tetap harus mengulangi proses yang sama untuk layanan yang berbeda, seperti masyarakat harus menempuh 2 birokrasi yang sama dari tingkat RT s/d Kecamatan untuk proses pembuatan KTP dan pendaftaran tenaga kerja di kantor tenaga kerja pemerintah.

Mari kita menghitung berapa uang rakyat yang harus dikeluarkan untuk proses birokrasi yang tidak ditopang dengan E-Government dengan permisalan pembuatan KTP di daerah. Proses ini diawali dengan verifikasi penduduk di tingkat RT, RW dan kelurahan yang menghasilkan surat keterangan benar-benar warga masyarakat atau penduduk setempat. Selanjutnya dokumen harus dibawa sendiri oleh masyarakat ke Kecamatan dan membayar biaya resmi KTP dan biaya lain-lain sukarela. Biaya administrasi sukarela ini biasanya disangkal, dan memang sulit dibuktikan. Kecuali pada tingkat RT yang pada beberapa tempat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat langsung. Maka hitung-hitungan matematikanya adalah :

Birokrasi/keperluan

Biaya

Keterangan

Administrasi RT

Rp. 1.000,-

Sukarela

Administrasi RW

Rp. 2.000,-

Sukarela

Administrasi Kelurahan

Rp. 2.000,-

Sukarela

Biaya KTP

Rp. 5.000,-

Resmi

Lain-lain sukarela

Rp. 2.500,-

Supaya urusan cepat tuntas

Biaya perjalanan

Rp. 2.500,-


Jumlah

Rp. 15.000,-

Berlaku juga untuk perpanjangan

Rakyat seharusnya hanya menanggung beban pembuatan KTP sebesar Rp. 5000, namun pada kenyataannya terjadi selisih biaya sebesar Rp. 10.000,- Apabila dalam satu hari terjadi 250 proses pembuatan KTP baru maupun perpanjangan, maka :

250 x Rp. 10.000,- = Rp 250.000,-

è Rp. 250.000 x 25 hari kerja sebulan = Rp. 6.250.000

è Rp. 6.250.000 x 12 bulan = Rp. 75.000.000,-

Apabila kita asumsikan prosedur birokrasi dengan biaya yang sama untuk 10 layanan pemerintah setiap hari, maka diperoleh hasil :

Rp. 75.000.000 x 10 = Rp. 750.000.000,- (setahun)

Secara nasional è 400 kab/kota x Rp. 750 juta = Rp. 300 Milyard pertahun (Fantastis). Sebuah nilai yang lebih dari cukup untuk membangun Sistem Informasi E-Government terintegrasi nasional.

Nilai tersebut adalah jumlah beban yang ditanggung rakyat dari konsekuensi tidak diterapkannya E-Government secara tepat dengan nilai pesimistis. Untuk wilayah jawa tentu akan lebih besar.

Komponen perjalanan menjadi sangat relatif karena pada beberapa daerah komponen biaya perjalanan lebih besar dari biaya resmi pelayanan umum itu sendiri, seperti pada daerah-daerah terpencil. Jumlah pengguna layanan juga sangat relatif, sehingga hanya daerah sendiri atau wakil-wakil rakyat yang bisa menghitung berapa biaya informal yang sudah ditanggung rakyat yang taat membayar pajak, yang tidak jarang diperlakukan tidak adil dalam mengurus dokumen publik mereka sendiri. Nilai yang cukup untuk membangun sebuah Sistem Informasi E-Government terintegrasi dan membantu mewujudkan good governance.

Upaya mengotomatiskan proses manual melalui penggunaan komputer cukup membantu proses pelayanan umum, namun tidak menjamin mampu menekan biaya informal publik karena Sistem Informasi E-Government yang tidak terintegrasi dengan pelayanan lainnya akan menyebabkan masyarakat harus kembali menempuh proses birokrasi dari tingkat pemerintahan terendah.

Dengan demikian kita dihadapkan pada dua pilihan, implementasikan E-Government atau pertahankan apa yang ada dan biarkan rakyat menanggung beban biaya layanan umum yang sebenarnya menjadi tugas pokok Pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Dengan E-Government mau tidak mau Pemerintah harus mengalokasikan dana pengembangan yang relatif tidak sedikit, namun rakyat tidak harus menanggung beban biaya ekstra sebagaimana perhitungan diatas.

Permasalahan keberlangsungan E-Government dalam pelayanan umum, salah satunya berasal dari lemahnya koordinasi akibat ego sektoral. Permasalahan internal pemerintahan. Ego sektoral pada umumnya disebabkan karena keinginan memperoleh prestasi terbaik, ketidakinginan campur tangan orang dari Satuan Kerja lain dan ketertutupan dalam pengelolaan anggaran. Untuk membangun sebuah E-Government yang baik, ego sektoral harus mulai dikalahkan demi kepentingan rakyat. Sudah saatnya birokrat pusat dan daerah membangun prestasi terbaik secara bersama-sama, karena untuk itulah rakyat menggaji mereka. Komitmen pimpinan barangkali akan menjadi pengerak utama, tapi tanpa adanya kemauan dan kerelaan untuk melepaskan lahan penghasilan tambahan yang bukan menjadi haknya, kerjasama internal birokrat dalam menciptakan pelayanan terbaik akan sangat sulit diwujudkan.

Implementasi E-Government memang tidak menjamin publik tidak akan mengeluarkan biaya ekstra, namun diyakini akan menekan biaya ekstra. Setidaknya publik tidak perlu lagi mengulangi proses birokrasi mulai dari tingkat RT hingga Kecamatan untuk berbagai urusan mereka.

Website hanyalah salah satu media front office, dan penguatan back office terintegrasi antar Satuan Kerja dan antar Sistem Informasi pelayanan umum akan meningkatkan kewibawaan pemerintah. Melalui implementasi E-Government secara tepat, maka akan lebih ringan menciptakan pemerintahan yang bersih. Sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia berbenah dan serius mengelola birokrasi modern.

Sistem Informasi Nasional E-Government, mungkinkah?

Gagasan untuk membangun sebuah Sistem Informasi Nasional sebenarnya sudah mulai ada pada era 1997-an ketika telematika masih menjadi wilayah proyek Departemen Dalam Negeri. Cikal bakal Sistem Informasi back office pemerintahan beberapa diantaranya sudah dirintis, seperti Sistem Informasi Kepegawaian, Sistem Informasi Perlengkapan/inventaris dan Sistem Informasi monografi. Ada beberapa hal yang menyebabkan Sistem Informasi tersebut tidak dapat berlanjut hingga saat ini antara lain :

1. Sentralistis pada propinsi. Sistem Informasi dibuat oleh propinsi tanpa adanya standarisasi antar propinsi sehingga sulit diintegrasikan secara nasional. Kabupaten tidak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan atau sekedar menerima dari pemerintah atasnya

2. Sistem Informasi yang single user, sehingga sulit untuk dikerjakan secara kolektif. Pemberdayaan team menjadi sulit dikembangkan. Banyaknya data akan menjadi pekerjaan yang tidak kunjung tuntas dikerjakan oleh sebuah Personal Computer. Sebuah kebijakan yang menumbuhsuburkan ego sektoral

3. Sebagai suatu teknologi yang relatif baru dalam kalangan pemerintahan, telematika serasa dipaksakan untuk diimplementasikan secara top down tanpa memperhatikan kualifikasi personil yang dilibatkan, sehingga berjalan ala kadarnya atau bahkan macet sama sekali.

Kegagalan implementasi Sistem Informasi E-Government pada awal pengembangannya menyebabkan banyak daerah yang menilai proyek telematika hanya sekedar mengikuti tren atau proyek gagah-gagahan saja tanpa menghasilkan sesuatu yang memberi arti bagi pemerintahan. Instruksi sentralistis pusat kepada daerah untuk membentuk institusi daerah dengan nama Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) disikapi loyal oleh daerah tanpa memperhatikan siapa-siapa yang layak dipercaya mengembangkan teknologi informasi dalam jajaran pemerintahan. Hal tersebut menyebabkan KPDE sering dianggap sebagai institusi kering, bahkan lembaga pemerintahan “tempat sampah”. Dengan kondisi tersebut tidak heran bila setelah lebih dari sewindu, apa pun nama lembaga pengelolaan data elektronik atau pengelola E-Government kurang mampu memberi banyak arti dalam pemerintahan.

Kini era itu sudah berubah. Pusat tidak lagi punya kuasa besar di daerah. Otonomi memberi kesempatan daerah untuk mengembangkan E-Government-nya tanpa harus “mungguk-mungguk” (baca : membungkuk-bungkukkan badan bak rakyat jelata melihat rajanya) kepada pusat. Sebaliknya, banyak daerah mampu membuktikan bahwa tanpa campur tangan pusat mereka mampu lebih maju, layak untuk membusungkan badan dan memimpin dalam pengembangan E-Government nasional. Membuktikan bahwa daerah mampu lebih maju dibanding Pemerintah pusat. Dan sudah saatnya pusat tidak lagi menganggap pengelola telematika/E-Government daerah sebagai bawahan, namun lebih pantas disejajarkan sebagai partner.

Sebenarnya banyak daerah mencari profile Pemerintahan yang mampu mengkoordinasikan E-Government secara lebih luas. Masih terlalu banyak persoalan dalam pengembangan E-Government, bukan hanya sekedar Sistem Informasi Nasional dan aksi riil justru lebih banyak ditunjukkan oleh daerah melalui komunikasi terbatas antar dua atau beberapa pengelola E-Government daerah.

Kominfo yang memiliki posisi paling strategis lebih banyak berbicara secara makro dan hampir tidak pernah menyentuh sisi teknis yang sebenarnya merupakan ciri khas lembaga Teknologi Informasi. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung terlambat.

Serba terlambatnya kebijakan dan strategi pengembangan E-Government nasional menyebabkan pengelola E-Government daerah asyik dengan pengembangan E-Government-nya masing-masing. Namun kondisi ini ternyata justru membuat kesenjangan dalam pengembangan E-Government secara nasional. Hasilnya, kompleksitas integrasi database yang menjadi urat nadi Sistem Informasi Nasional makin menciptakan jurang pemisah antar daerah yang cukup tinggi. Sungguh disayangkan kreatifitas daerah dalam pengembangan Sistem Informasi E-Government justru menyebabkan permasalahan Sistem Informasi Nasional makin kompleks.

Kondisi Sistem Informasi daerah secara nasional serba terlanjur. Banyak daerah membangun Sistem Informasi sesuai kepentingan mereka atau pasrah pada keahlian rekanan yang notabene kurang memahami lika-liku birokrasi pemerintahan dengan berbagai venomena persoalannya. Dari yang sederhana sampai dengan yang sangat kompleks. Tergantung kemampuan analisa pengelola E-Government setempat.

Sebagai sebuah prestasi, kemampuan pengelola E-Government daerah harus diacungi jempol. Mereka mampu membangun sebuah Sistem Informasi yang diantaranya terintegrasi, yang bahkan untuk tingkatan departemen atau Pemerintah pusat pun tidak banyak yang mampu. Tidak hanya back office, front office pun sudah diimplementasikan di beberapa daerah dan berjalan baik.

Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh sebuah kebijakan pengembangan Sistem Informasi Nasional? Apakah akan membuat Sistem Informasi yang akan diimplementasikan dengan sebuah tongkat komando ke daerah? Dan mengharapkan daerah akan loyal? Apakah akan membuat komponen-komponen Sistem Informasi yang dapat digunakan dalam pembangunan Sistem Informasi yang berskala nasional?

Dari sisi daerah, bagaimana dengan Sistem Informasi Pemerintah Daerah yang sudah berjalan dan running well? Apakah harus diganti secara serta-merta? Bagaimana pengaruh terhadap database yang sudah diintegrasikan? Haruskah integrasi database yang sudah membuktikan efektifitas dan efisiensi implementasi E-Government dikorbankan oleh Sistem Informasi nasional yang masih sepotong-sepotong? Bagaimana biayanya? Sementara untuk meng-gol-kan sebuah proyek Teknologi Informasi banyak daerah harus ber”mandi-darah” melawan panitia anggaran dan legislatif yang mayoritas kurang memahami apa itu Teknologi Informasi. Sebuah proyek yang kurang populer untuk sebuah kampanye politik.

Secara nyata kita melihat bagaimana Pemerintah pusat mengalokasikan Milyard-an rupiah untuk membangun sebuah Sistem Informasi dan tidak jarang mengarahkan beberapa daerah untuk menjadi pilot project. Beberapa kegagalan implementasi pilot project tidak jarang ditimpakan kesalahannya kepada daerah dengan berbagai alasan seperti ketidakbecusan personil daerah untuk menerima transformasi Teknologi Informasi, ketiadaan dukungan dana pendamping daerah, dan lain-lain. Lalu, seperti apakah bentuk Sistem Informasi Nasional itu?

Namun, bagaimana pun juga harus ada keberanian untuk mengambil langkah strategis guna membangun sebuah E-Government Nasional karena kita adalah NKRI. Harus ada keinginan untuk memberi dan menerima. Posisi strategis berada di Pusat, Kominfo tentunya. Hanya saja perlu dibuat sebuah action plan yang jelas. Batasan pengertian antara komunikasi dan informasi ala Departemen penerangan dan telematika yang memang secara background ilmiah berbeda harus ditegaskan. Kominfo harus berani berbicara teknis dan kongkrit, bukan sibuk dengan konseptual dan wacana, apalagi tidak melibatkan daerah dalam penyusunan kebijakan atau strategi nasional, sehingga pusat dan daerah tidak sehati meski sebidang pekerjaan.

Upaya riil yang dapat ditempuh antara lain diawali dengan menyusun daftar database yang dibutuhkan dalam skala nasional dan daerah. Kemudian dipilih database yang paling memungkinkan dan menjadi basic dari database E-Government. Selanjutnya disusun draft format standar database & aplikasi E-Government yang mencakup design, struktur database, struktur coding dan sebagainya. Bahkan bila perlu jenis dan penamaan database serta field-field-nya distandarkan, sehingga membantu daerah dalam membangun sebuah Sistem Informasi E-Government. Juga bukan hal yang tabu untuk menetapkan standar waktu pembuatan sebuah aplikasi, agar kemerdekaan melakukan mark up proyek Sistem Informasi E-Government dapat mulai ditekan.

Upaya ini memang sebuah pekerjaan besar yang tidak mungkin dilakukan oleh pusat sendirian. Karena itu peran daerah sebenarnya lebih diutamakan, sebab tanpa suplay database dari daerah, pusat tidak akan memiliki data nasional yang up to date. Terutama daerah harus mengorbankan Sistem Informasi yang telah dibangunnya untuk dikonversikan ke Sistem Informasi Nasional. Untuk membantu daerah agar tidak kacau, perlu dipertimbangkan untuk membangun sebuah sistem konversi database yang didukung oleh team nasional yang handal.

Database exchange menjadi pekerjaan lanjutan setelah beberapa tahap implementasi Sistem Informasi Nasional menunjukkan hasil. Pertimbangan ketersediaan dan kemampuan membangun infrastruktur menjadi pertimbangan yang seharusnya dipecahkan secara nasional. Opsi online – offline database exchange harus ditetapkan bila disandarkan pada kemampuan daerah dalam membiaya E-Government-nya. Karena offline menjadi salah satu opsi, maka harus ditetapkan format file yang mampu diakomodir pusat. Pembentukan kelompok kerja-kelompok kerja menjadi solusi efektif.

Jadi, mungkinkah Sistem Informasi Nasional diwujudkan? Tentu saja mungkin, sejauh Sistem Informasi Nasional ditetapkan sebagai proyek nasional, bukan proyek pusat. Perlu dipahami bahwa dalam beberapa daerah dan dalam beberapa segi teknis, daerah lebih unggul dan lebih paham pekerjaannya daripada pusat. Harus diakui bahwa implementator sesungguhnya dari E-Government adalah daerah yang harus mengelola berbagai Sistem Informasi turunan departemental. Sudah selayaknya daerah menjadi partner pusat.

Potensi dan kemampuan daerah dalam implementasi E-Government masih terpendam dan menunggu untuk dimobilisasi dan diberdayakan secara nasional. Pusat selayaknya tergerak untuk mengambil posisi koordinator, atau daerah akan bergerak sendiri membangun Sistem Informasi Nasional dengan proyek yang dibiayai secara urunan. Urunan Project ? Mengapa tidak? Sistem Informasi E-Government Open Source? Bukan hal tabu yang harus dipilih. Terutama dalam kondisi keaungan negara yang relatif tidak stabil ini, sementara Teknologi Informasi dalam jajaran pemerintahan bukan merupakan prioritas penting dalam mewujudkan good governance dan pelayanan umum yang terbaik.



www.ibenkda.info




(DImuat Majalah Biskom Oktober 2005)

09 January 2008

TOOLS Vs ENABLER

Banyak pertanyaan mengapa e-government yang dikembangkan di Indonesia belum memberikan hasil yang optimal. Bahkan kesan e-government menjadi cost-center sulit dihilangkan dari para pengambil kebijakan dan penganggaran. Prestasi yang dihasilkan oleh beberapa Pemerintah Daerah yang menonjol dengan pengembangan e-government nya pun lebih disikapi dengan asumsi resiko belanja biaya tinggi.

Dari berbagai diskusi ilmilah tentang e-government di Indonesia, hampir keseluruhan komunitas menyimpulkan bahwa lemahnya e-leadership merupakan factor paling dominan kurang optimalnya pengembangan e-government pada berbagai level. Tidak sedikit yang menuntut Presiden hingga Bupati harus bisa computer dan menyempatkan diri online setiap hari untuk memotivasi bawahannya. Hasil akhirnya tentu saja semua meja pegawai akan terpasang computer dengan system online yang canggih.

Pendapat tersebut tentu tidak salah. Kemampuan menggunakan komputer para pemimpin negeri ini dan statement politis yang mendukung pengembangan e-government akan mampu mendorong pertumbuhan e-government secara signifikan. Seperti halnya ketika Presiden SBY mengeluarkan statement supaya Pemerintah Daerah mengembangkan One Stop Service (OSS) guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Seketika itu pula semua Pemerintah Daerah membangun OSS dengan sumber dana yang “dengan keras” diada-adakan. Tidak ada Pemerintah Daerah yang rela ketinggalan. Hasilnya positif.

Namun demikian kenyataan membuktikan bahwa tidak sedikit Pemerintah Daerah yang mengeluarkan dana besar, tetapi produk e-government nya kurang signifikan dengan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, tidak sedikit Pemerintah Daerah dengan dana pengembangan e-government sangat minim, namun mampu menunjukkan hasil yang patut dicontoh.

Penulis melihat, bahwa bekal e-leadership yang harus dimiliki oleh pimpinan pada berbagai level di pusat maupun daerah, perlu ada penyamaan persepsi antara melihat Teknologi Informasi (TI) bagi e-government sebagai tools (alat bantu) atau sebagai enabler, sebuah system yang memungkinkan kebijakan tertentu dapat dijalankan.

TOOLS

Persepsi seorang pimpinan yang melihat perangkat TI sebagai tools akan membawa dampak pada belanja TI sebagai satuan lepas atau system pada skala kecil yang kurang mampu membangun solusi komprehensif, terutama dihadapkan pada core business pemerintah, yaitu menjalankan pemerintah kenegaraan dan pelayanan umum.

Kita dapat melihat bahwa banyak belanja TI oleh pemerintahan dimanfaatkan sebagai perangkat kerja yang membantu apa yang sudah berjalan secara konvensional, menjadi berbasis elektronik. Misalnya, pembelanjaan notebook yang diperuntukkan bagi penyelesaian pekerjaan perorangan. Supaya tidak repot-repot membawa mesik ketik dan berkali-kali mengetik hal yang sama.

Penulis tidak menampikkan bahwa notebook memiliki peran yang besar dalam penyelesaian banyak pekerjaan. Namun dalam konteks belanja TI pemerintahan dan core bisnis pemerintahan, maka semestinya belanja notebook tersebut merupakan perangkat pendukung dari sebuah system elektronik yang lebih besar. Sebagai contoh, harus ada sebuah intranet dan internet office otomation dan berbagai Sistem Informasi pemerintahan yang sudah ada sebelumnya. Sehingga pengadaan notebook bagi kalangan personal pegawai merupakan media kerja supaya pegawai tersebut dapat melaporkan progress kerjanya melalui system online maupun offline. Bukan sekedar pengganti mesik ketik.

Demam system jaringan online di kalangan pemerintahan misalnya, juga menyebabkan tidak sedikit strata pemerintahan membangun system jaringan komputer tercanggih. Namun, tidak sedikit pula yang tidak memiliki konsep yang jelas, setelah jaringan komputer tersebut digelar, akan dimanfaatkan untuk apa saja. Sekedar sharing konsumtif internet, teleconference atau ada Sistem Informasi terintegrasi yang siap dijalankan?

Bahkan teknologi teleconference juga kurang dapat dimanfaatkan secara optimal. Kelihatannya budaya “cukup suara saja” masih sangat kuat. Belum banyak quick win (manfaat instant) dihasilkan dari pembangunan system teleconference, baik yang dibangun oleh pusat maupun daerah.

Pandangan TI bagi e-government adalah sebagai sekedar tools lebih banyak menghasilkan elektronisasi konvensional, atau komputerisasi konvensional. Tidak membangun sebuah system baru yang memungkinkan peningkatan kualitas layanan umum atau efektifitas dan efisiensi roda pemerintahan.

ENABLER

Pada dasarnya, Teknologi Informasi yang digunakan oleh kalangan pemerintahan tidak beda dengan apa yang digunakan oleh kalangan non pemerintahan lainnya. E-government bukan sekedar menerapkan TI bagi berjalannya roda pemerintahan. Lebih dari itu implementasi TI dalam pemerintahan tersebut harus mampu melahirkan efektifitas dan efisiensi dan mendukung terobosan kebijakan birokratis guna melahirkan good government.

Banyak kalangan pemerintahan mengutamakan belanja e-government dari sisi belanjan perangkat TI. Kurang memperhatikan core bisnis pemerintah itu sendiri. Pandangan enabler mengutamakan goal suatu kebijakan pemerintah sebagai prioritas. Selanjutnya menyusun sebuah system komprehensif yang memungkinkan tujuan tersebut dapat dicapai. Dari tujuan yang ingin dicapai dan metode yang akan dilakukan, maka belanja TI dapat dilaksanakan secara lebih tepat, efektif dan efisien.

Bukan sebaliknya. Belanja dulu, tujuan dibangun sambil jalan. Bukan belanja Teknologi Informasi supaya bisa ber-teleconference, namun harus disepakati dulu mengapa harus teleconference, baru belanja Teknologi Informasi sesuai kebutuhan. Adakah telepon saja belum cukup? Atau, apakah teleconference tersebut bisa melayani rakyat?

Sebagai perumpamaan, misalkan suatu Pemerintah Daerah ingin membangun sebuah layanan Umum yang terbaik. Metode yang akan dipilih adalah melalui One Stop Service (OSS). Kebijakan yang diambil adalah menyatukan layanan pada satu atap. Artinya, Unit layanan satu atap menjadi front office, dan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD/Instansi) sebagai back office melalui teknologi online.

Dari kebijakan umum tersebut, harus dibangun secara sinergis aplikasi front office yang mencakup semua layanan yang secara administrative dilayani oleh masing-masing instansi, serta membangun aplikasi back office sesuai sector masing-masing instansi. Dengan demikian dapat ditentukan kebutuhan belanja secara lebih riil. Dalam pengembangan lebih lanjut, barangkali bisa dipertimbangkan, mengapa tidak meletakkan front office OSS tersebut di Kecamatan, bahkan Kantor Desa sebagai upaya mendekatkan layanan kepada masyarakat?

TI sebagai enabler bagi e-government lainnya dapat dicontohkan melalui pengelolaan kependudukan. Seperti pemberian bea siswa bagi siswa miskin melalui sinergi data kependudukan dan pendidikan, pemberian askeskin melalui kolaborasi database kependudukan dan data kesehatan, memungkinkan Bupati memantau pendapatan daerah, memungkinkan legislative melihat perkembangan APBD, memungkinkan orang tua siswa memantau pendidikan anak-anak mereka, memungkinkan seorang penduduk dapat berobat di mana saja dengan medical record yang selalu mengikutinya,dan banyak lagi.

Sebagai enabler, focus pengembangan bukan pada belanja TI bagi kebijakan e-government, namun bagaimana e-government tersebut mampu mendukung kebijakan pemerintahan secara lebih efektif dan efisien. Ibaratnya seorang Bupati harus mampu mimpi melayani rakyatnya melalui sebuah terobosan pembangunan, maka Teknologi Informasi harus bisa menjawab. Kelenturan birokrasi barangkali diperlukan. Bahkan keberanian politis membuat aturan sendiri atas apa yang belum di atur secara nasional, juga diperlukan. Seperti keberanian Walikota Surabaya menerapkan e-Procurement.

Karena itu, untuk mampu menjadikan e-government sebagai enabler sebuah terobosan kebijakan yang berujung pada manfaat seluas-luasnya bagi rakyat dan good governance, diperlukan sebuah e-leadership yang sangat kuat dan konsisten. Seorang Bupati tidak harus pintar bermain internet dan memahami teknis pengembangan TI, meski itu lebih baik. Namun seorang Bupati harus berani memerintahkan jajarannya menjawab kebijakannya melalui implementasi Teknologi Informasi secara bertanggungjawab dan professional. Karena itu, berapa pun biaya, layak di dukung, karena kepercayaan masyarakat menjadi taruhannya.


(Dimuat di Majalah Biskom edisi Januari 2008)

11 December 2007

SISTEM ROAMING ANTAR PEMDA

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ya, itulah negeri tercinta kita. Kita pernah bersatu dalam komitmen bersama untuk merdeka. Tidak sedikit tentunya pengorbanannya. Namun, pola Negara kesatuan tersebut ternyata sulit diwujudkan dalam sebuah konsep operasional kenegaraan ini, khususnya yang berkenaan dengan e-government dan layanan umum. Tentang bagaimana pemerintah melayani rakyat negeri ini.

Suatu saat seorang teman mengeluh, betapa ribet memindahkan nomor polisi mobil yang baru dibelinya di Jakarta ke nomor baru di Semarang. Teman lain mengeluhkan ketika harus mudik jauh-jauh hanya untuk memperpanjang KTP. Tetangga sebelah mengeluh, karena meski punya KTP Kebumen tetap saja kena “perlakuan khusus” pada razia ketika liburan pasca lebaran di Jakarta. Seorang bapak mengeluh karena harus repot-repot meminta surat keterangan medic ketika hendak periksa ke rumah sakit di kota lain lantaran khawatir harus menjalani diagnose dari awal lagi atau bahkan salah analisa.
Banyak warga harus berdemo ke KPUD supaya dimasukkan ke daftar pemilih, bahkan seorang gadis diteror oleh sms yang ternyata berasal dari nomor handphone dengan identitas pemilik palsu. Dan lain-lain.Begitu rumitnya, sehingga masyarakat lebih memilih mengeluarkan sedikit uang supaya urusan lebih mudah, dengan cara : memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) lebih dari satu. Dari pada saya harus mudik jauh-jauh untuk perpanjang KTP, daripada saya tidak bisa beli rumah di perantauan, supaya saya mudah daftar CPNS di Pemerintah Daerah lain, dan banyak lagi daripada-daripada lainnya.Begitu parahkan sinergi layanan negeri ini sampai-sampai masyarakat belum dapat menikmati kemudahan layanan sebagaimana diceritakan bangsa-bangsa maju tetangga kita, apalagi di negeri barat?

NEGERI LUAS
Memang tidak mudah mengelola negeri nan luas, seperti NKRI ini. Sejak merdeka telah terjadi beberapa kali pemberontakan. Beberapa ketidakpuasan muncul berkaitan dengan bagaimana Negara ini mengurus rakyatnya. E-government dengan belanja yang tidak sedikit pun masih menyisakan banyak keluhan. Bahkan muncul pernyataan : Nusantara ini terlalu luas untuk bisa dilayani oleh e-government.
Banyak layanan pemerintah yang hanya berlaku untuk level Kabupaten/Kota saja. Ketika masyarakat menuntut layanan lintas Pemerintah Kabupaten/Kota, maka masalah baru muncul dan tak kunjung terselesaikan, bahkan setelah merdeka 62 tahun. Belum lagi layanan lintas provinsi dan lintas pulau.
Bukan masalah biaya, namun lebih mengemuka pada masalah kemauan. Bahkan hampir tidak ada kampanye politik yang menjanjikan layanan terbaik antar daerah. Hampir Tidak ada calon Bupati yang dengan lantang mengkampanyekan akan mempermudah layanan public yang berhubungan dengan Kabupaten lain. Tidak ada calon gubernur yang menjanjikan kemudahan layanan public antar Kabupaten/Kota di wilayahnya. Bahkan belum ada presiden yang secara serius menghimbau (semestinya : memerintahkan) penyusunan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam bidang kemudahan akses layanan public bagi pemohon antar daerah.
Maka jadilah birokrasi Indonesia yang melestarikan budaya layanan public tradisional.Pendapatan daerah dalam layanan public masih dianggap sebagai prestasi kerja. Akibatnya keuangan menjadi masalah yang perlu diurus serius. Transaksi keuangan menjadi jauh lebih penting daripada transaksi data elektronik. Tidak terjadi keseimbangan. Kurang adanya perhatian terhadap transaksi data elektronik dan kurangnya pemahaman terhadap kemampuan Teknologi Informasi modern yang mampu mengakomodir kerjasama lintas organisasi secara lebih baik, menyebabkan kesepahaman dan kolaborasi lintar organisasi birokrasi sulit diwujudkan.
Koordinasi menjadi sesuatu yang mahal. Payahnya lagi, system transaksi keuangan lintas Pemerintah Daerah, khususnya dalam pelayanan umum belum terbangun mantap. Sehingga, para pengelola keuangan enggan mau repot-repot menyusun sendiri mekanisme transaksi keuangan dalam layanan umum antar Pemerintah Daerah. Bila system keuangan seperti ini sulit diwujudkan, lalu bagaimana bisa diharapkan kerjasama transaksi data elektronik bisa dikembangkan?
Beberapa DInas Provinsi, seperti Samsat sudah mengembangkan transaksi antar Samsat Kabupaten/Kota, seperti yang dijalankan di Jawa Tengah. Saat ini warga Jawa Tengah bisa membayar pajak kendaraan bermotor lintas Kabupaten/Kota, dengan cepat dan transparan, bahkan nyaman. Layanan pada fungsi sejenis pada instansi provinsi ini ternyata sangat sulit ditiru oleh layanan-layanan public lain bila menyangkut birokrasi local antar Pemerintah Daerah.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebenarnya sangat memungkinkan terwujudnya layanan public antar Pemerintah Daerah, tanpa perlu ada kekhawatiran seperti kehilangan pendapatan daerah karena layanan Pemerintah Daerah A dilayani Pemerintah Daerah B, tanpa ada kekhawatiran kurang tertibnya system administrasi, bahkan masalah privacy and security. Yang mahal adalah : memberi kepercayaan kepada Pemerintah Daerah lain untuk menjadi front office layanan public, kemauan untuk membangun kerjasama saling menguntungkan, dan menambah kerepotan baru pada sisi back office demi pelayanan umum yang terbaik bagi masyarakat.

ROAMING
Sistem roaming dalam kontek tulisan ini diasumsikan sebagai sebuah model layanan suatu Pemerintah Daerah yang dilakukan dengan meminjam teknologi, system atau layanan Pemerintah Daerah lain. Luasan NKRI dan sebaran penduduk dengan tingkat perantauan yang cukup tinggi, semestinya antar Pemerintah Daerah membangun kerjasama saling menguntungkan guna melayani rakyat. Dengan demikian suatu Pemerintah Daerah tetap mampu “berhubungan” dengan warganya, dimana pun warga tersebut berada. Kebanggaan positif kedaerahan akan terbangun.
Duplikasi dan pemalsuan data menjadi relative lebih sulit dilakukan. Biaya murah jelas sangat mungkin diwujudkan, baik dari sisi operasional birokrasi maupun dari sisi masyarakat, pelanggan setia Pemerintah Daerah.Layanan KTP misalnya. Seorang warga Kebumen tidak perlu mudik untuk memperpanjang, namun yang bersangkutan cukup datang di DInas Kependudukan DKI Jakarta (misalnya) untuk memperpanjang KTP.
Dia juga bisa meminta perubahan Kartu Keluarga (KK) bila ada penambahan keluarga di Pemerintah Daerah lain. Penduduk yang ditetapkan berstatus miskin tetap dapat memperoleh haknya (seperti raskin, askeskin, dan lain-lain) meski dia tidak berada di daerahnya, karena pada dasarnya kebijakan untuk warga miskin berlaku nasional.
Mengenai pembiayaan, pemohon dapat dikenakan biaya sesuatu aturan di Pemdanya ditambah biaya layanan (roaming) dimana dia mengajukan. Memang lebih mahal dari tariff resmi di daerahnya, tapi jauh lebih murah daripada harus kembali ke daerah. Mengenai kop dokumen, tanda tangan dan cap basah semua bisa diatur melalui payung hukum.
Yang perlu diyakinkan pada setiap Pemerintah Daerah adalah, bahwa system roaming tersebut bisa dilaksanakan. Pada tahap awal, sementar Pemerintah melengkapi payung hukum yang memungkinkan e-government berjalan dengan lebih dinamis, Memoradum of Understanding (MoU) barangkali bisa digunakan sebagai jembatan dalam kebijakan roaming e-local government.
Tidak mudah dilaksanakan memang. Infrastruktur Teknologi Informasi dan e-government menjadi prasarat supaya roaming government dapat dijalankan. Payung hukum menjadi wajib guna melindungi Pemerintah sendiri dari berbagai komponen penentang. Komitmet kuat antar Kepala Daerah menjadi pendorong yang efektif. Kebijakan roaming antar level instansi Pemerintah justru akan menjadi pemicu berkembangnya kebijakan, bahkan efisiensi dan efektifitas lainnya, misalkan: system roaming membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai, dimana infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk komunikasi internal yang lebih efisien melalui VoIP.

Sebenarnya, layanan umum tidak kalah strategisnya dengan kebijakan mendasar lainnya, seperti pendidikan, kesehatan dan pertanian. Mempertanggungjawabkan kenyataan bahwa pajak rakyat merupakan salah satu sumber terbesar bagi keberlangsungan NKRI ini. Barangkali rakyat masih cukup bersabar dilayani secara tradisional dengan tools paling canggih. Namun, Negara ini harus mau berbenah bila ingin selalu dibanggakan oleh warga negaranya sendiri.

(Sebagaimana dimuat majalah Biskom edisi Desember 2007)

25 November 2007

“Mengunci” Lelang Proyek E-government

Pada tulisan saya sebelumnya, saya mengasumsikan setidaknya ada lima modus operandi dalam e-corruption, antara lain :

- Markup,

- High End fever,

- Licence Trap

- Arogansi pemerintah level atas memaksakan proyek ke pemerintahan dibawahnya

- Copy & paste, dan

- Jebakan training

Ternyata berkembang trend tersembunyi yang barangkali tidak baru, yaitu melakukan “kuncian” terhadap proyek e-government. Kuncian ini menyebabkan suatu proyek e-government mengarah pada upaya memenangkan pihak yang sebenarnya ikut bermain pada munculnya proyek tersebut atau bahkan yang meng-“create” teknis proyek e-government tersebut. Suatu bentuk KKN gaya baru. Pada umumnya kuncian ini dilakukan pada proyek-proyek dengan nilai rupiah besar.

Modus

Kuncian ini dijabarkan melalui Term Of Reference (TOR) atau Kerangka Acuan Kerja (KAK). Perilaku ini terjadi baik pada lelang proyek infrastruktur maupun software (COntent). Metode kuncian yang dilakukan antara lain :

1. Spesifikasi yang mengarah pada produk tertentu

Metode ini barangkali sudah sangat dianggap “lazim” guna menyikapi aturan Kepres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah yang melarang penyebutan merk tertentu. Akhirnya muncul spesifikasi teknis yang teramat spesifik pada TOR. Bahkan pada beberapa proyek menyebutkan ukuran kotak (box) IT active device hingga dimensi millimeter (mm).

Lemahnya kemampuan SDM PNS yang bertanggungjawab di bidang e-government menyebabkan tidak sedikit dari pengelola uang rakyat ini memasrahkan sepasrah-pasrahnya TOR suatu proyek e-government kepada “partner kerja” dari swasta. Akhirnya, tentu saja si “teman baik” ini akan menyusun TOR yang memungkinkan hanya dia yang paling berpotensi untuk menang. Tahu sama tahu lah….

2. Pasal khusus dengan “persyaratan khusus”

Kepres 80 tahun 2003 sebenarnya tidak melarang adanya aturan tambahan dalam sebuah proyek e-government sejauh masih dalam skala wajar dan tetap menjamin fairplay. Sayangnya definisi wajar ini menjadi sangat relative dan fairplay terlupakan. Salah satu contoh perilaku ini adalah munculnya pasal TOR pada suatu Pemerintah Daerah yang mensyaratkan rekanan yang boleh ikut tender adalah yang pernah memenangkan proyek dan mengjalankan proyek sejenis di Pemerintah Daerah lain. Bahkan ada yang mensyaratkan pernah menang pada dua atau tiga Pemerintah Daerah.

“Kebijakan” ini menutup peluang perusahaan Teknologi Informasi yang belum memiliki aplikasi dimaksud untuk ikut tender. Padahal tidak ada yang berani menjamin bahwa aplikasi yang berhasil di suatu Pemerintah Daerah akan menjamin keberhasilan di Pemerintah Daerah lain, meski dasar aturan yang diacu secara nasional tidak berbeda. Kultur dan kebijakan local menyebabkan munculnya relatifitas keberhasilan ini.

Kondisi ini melahirkan diskusi serius di milis egov-indonesia@yahoogroups.com dengan polemic : aplikasi e-government yang sudah jadi (paket) lebih mapan disbanding tailormade, yang membutuhkan waktu lama pada kondisi kecepit.

3. Gelar

Fenomena mensyaratkan rekanan yang ikut tender harus memiliki team leader dan pendukungnya dengan gelar sangat tinggi, barangkali dalam asumsi positif diperlukan guna mensukseskan proyek. Namun seringkali terlihat lucu ketika sebuah proyek yang tidak terlalu besar, atau proyek aplikasi yang relative sederhana, mensyaratkan team leader dengan gelar S3 dan pengalaman 10 tahun di bidangnya. Bahkan ada yang mensyaratkan lima programmers yang masuk dalam team harus bergelar S2 dengan pengalaman 10 tahun.

Niat baik yang berbalut kuncian ini menyebabkan hal logis menjadi dikesampingkan. Perkembangan Teknologi Informasi dewasa ini memungkinkan tidak sedikit gelar S1 Teknologi Informasi tertentu sangat mampu mengerjakan aplikasi e-government. Penentapan team rekanan dengan spesifikasi gelar tinggi juga berdampak pada tingginya nilai proyek, karena tentu berbeda honor programmer S1 dan S2.

4. Waktu pengerjaan Pendek

Teknik ini juga bagian dari konsep kuncian lelang proyek e-government. Mekanisme penganggaran dan pencairan dana, ditambah proses lelang yang berbelit dijadikan kambing hitam mengapa suatu proyek dilaksanakan dengan tengat pengerjaan yang sangat pendek. Terlupakan bahwa bisa jadi mepetnya pengerjaan proyek adalah suatu kengengajaan.

Tidak dipungkiri bahwa pada proses penyusunan anggaran Pemerinta, khususnya di daerah, berlangsung sangat terlambat. Konsekuensinya adalah terlambatnya pembangunan daerah, termasuk didalamnya sector e-government. Ketakutan PNS menjadi panitia lelang menjadi pelengkap keterlambatan proses tender. Akhirnya pada triwulan terakhir, bom lelang Pemerintah relative tinggi.

Kondisi kecepit ini menjadi legalisasi terhadap penetapan waktu pengerjaan proyek e-government menjadi kurang masuk akal. Sehingga tidak heran bila resiko kegagalan menjadi relative tinggi. Modus ini melengkapi item modus nomor 2 di atas.

Fenomena “pemerintah tidak boleh memilih merk” sebagai jaminan fairplay dalam proses lelang melahirkan boomerang bagi pemerintah sendiri, dikarenakan produk yang beredar tidak sedikit yang memiliki spesifikasi dasar sama, namun berbeda harga, dan tentu saja kualitas dan fitur-fiturnnya. Kondisi ini menyebabkan lahirnya patriotisme kalangan Pemerintah untuk memanfaatkan uang rakyat guna menghasilkan belanja yang terbaik. Sayangnya semangat ini tidak jarang dicurigai ternodai dengan niat terselubung.

Time schedule yang pendek dan menjalankan mekanisme lelang proyek e-government pada triwulan terakhir dikhawatirkan akan menjadi trend baru e-corruption. Kondisi darurat sendiri sebenarnya sudah di atur dalam Kepres tersebut. Dan waktu pendek mendekati akhir anggaran tahunan tidak dapat dijadikan pembenar untuk kondisi darurat.

Beberapa trend modus yang sudah berjalan antara lain :

Memberikan laporan fiktif bahwa proyek seolah-olah sudah selesai, sehingga SPJ (Surat Pertanggungjawaban) diterima/sah dan anggaran dapat dicairkan. Dana ini selanjutnya disimpan di rekening tertentu dan baru dibayarkan kepada rekanan bila pekerjaan sudah selesai. Seolah kondisi ini dianggap bijak, namun dari sisi akuntabilitas jelas tidak benar.

Trend lebih berbahaya lainnya dari waktu pendek ini adalah adanya aturan addendum atau penambahan aturan susulan dalam kontrak. Tren ini dibagi dalam dua modus, yaitu : Pertama, Pekerjaan dianggap selesai sampai dengan batas waktu akhir tahun anggaran. Sehingga yang dibayarkan hanya sebanyak persentase dari pekerjaan yang diselesaikan. Yang belum selesai tidak dibayar. Lalu, bagaimana nasib aplikasi ini nantinya. Akankan berfungsi sebagaimana mestinya? Yang kedua, merevisi target, atau menurunkan kualitas pekerjaan yang semestinya diselesaikan dengan berbagai alasan teknis.

Fatwa Bappenas

Banyak kelemahan dirasakan dalam proses lelang pemerintahan. E-government yang dianggap masih muda (trend baru) dirasakan masih miskin aturan tegas dan lengkap. Akibatnya kebijaksanaan untuk membijaksanai aturan menjadi longgar dan melahirkan trend baru. Jika tidak segera dibenahi, maka dinamika lelang e-government akan cenderung tidak sehat.

Bappenas sebagai “bidan” Kepres 80 tahun 2003 perlu mengeluarkan “fatwa” guna menjamin permainan yang fair dalam proses lelang e-government di negeri ini. Berbagai modus baru dikhawatirkan akan muncul seiring makin pintarnya para pemain tender e-government dalam menyikapi kelonggaran aturan.

Memang sudah saatnya dilakukan banyak pembenahan pada lelang proyek e-government. Pengalaman yang terjadi selama ini barangkali sudah cukup menjadi pealajaran berharga: Bahwa Cost center dalam pengembangan e-government Indonesia bukan hanya disebabkan karena biaya operasional dan duplikasi proyek e-government, namun karena kebocoran dalam proses tender.


(Sebagaimana dimuat di majalah Biskom edisi 2007)

26 October 2007

PARADOKS PRODUKTIFITAS E-GOVERNMENT

Masuknya teknologi canggih bagi upaya pengelolaan informasi di kalangan Pemerintahan ditanggapi sangat antusias pada satu sisi, namun juga sangat dingin pada sisi berbeda. Berbagai statement bahwa Teknologi Informasi akan mampu mewujudkan mimpi pemerintah untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi operasional pemerintahan dimunculkan sebagai alasan pengkucuran dana besar pusat dan daerah untuk membangun Teknologi Informasi Pemerintah Daerah, dan e-government. Namun kenyataan berbicara berbeda. Benarkan pengembangan Teknologi Informasi Pemerintah Daerah dan e-government terlalu prematur?
Fenomental
Sayangnya hingga saat ini belum ada penelitian secara mendalam mengenai hasil riil implementasi Teknologi Informasi bagi Pemerintahan. Namun secara kasar dapat dilihat, bahwa belanja besar-besaran Teknologi Informasi tidak hanya terjadi di pusat. Pemerintah Daerah pun sudah mulai tertular penyakit ini.
Permasalahan yang ingin penulis angkat bukan pada inefisiensi karena korupsi pada e-government (e-corruption), namun pada sisi kesiapan aturan main, regulasi teknis yang sinkron terhadap pengembangan Teknologi Informasi dan e-government.
Terdapat beberapa contoh simple ketidak-sinkronan antara Teknologi Informasi yang dibangun dengan biaya besar dengan aturan main. Al-hasil efektifitas dan efisiensi pun tidak terwujud. Bahkan terkadang terasa konyol. Terdapat banyak kasus, sebagai contoh :
1. e-Procurement. Lelang berbasis Teknologi Informasi ini sebenarnya sangat efektif dan terbukti mampu menghasilkan efisiensi yang relatif tinggi. Pemkot Surabaya melaporkan bahwa efisiensi yang dihasilkan dari implementasi e-Procurement mencapai 30% anggaran Pembangunan Daerah. Luar biasa. Namun, implementasi e-Procurement gagal di banyak Pemerintah Daerah lainnya, alasannya : banyak Pejabat Pemerintah Daerah yang takut masuk penjara gara-gara kalah argumentasi politik melawan rekanan, LSM dan legislatif lantara Pemerintah Pusat belum mengatur implementasi e-Procurement di pemerintahan. Bahkan banyak Departemen yang belum mempersiapkan diri untuk implementasi e-Procurement. Kreatifitas dan keberanian Kota Surabaya dilandasi dengan pemikiran : “Kalau tidak diatur, maka apa yang dilanggar?”.
2. Kepegawaian. Dapat dikatakan aplikasi ini adalah salah satu yang tertua dari semua aplikasi khas Pemerintahan. Otomatisasi yang dijanjikan Teknologi Informasi memudahkan pengelolaan kepegawaian. Tapi tidak semudah itu kemudahan itu diterapkan, karena dokumen kertas dengan cap dan tandatangan “basah” harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum sebuah mutasi kepegawaian dapat dijalankan. Setelah dijalankan lebih dari 10 tahun, aturan kepegawaian yang bersahabat dengan Teknologi Informasi dan e-government tidak juga muncul. Maka, Teknologi Informasi tak lebih dari pengganti mesin ketik dan mesin hitung gaji saja.
3. Sistem Jaringan Komunikasi. Tren pengembangan jaringan komputer menggejala di hampir semua level Pemerintah. Namun kekayaan fungsi yang ditawarkan tidak termanfaatkan dengan baik. Pada banyak instansi Pemerintah pusat maupun daerah, jaringan komputer tidak lebih dari media share file dan internet. Tidak produktif. Manajemen perubahan sama sekali terkalahkan oleh gengsi memiliki teknologi network tercanggih. COntent? Urusan nanti.
4. Komunikasi. Kurang apa Pemerintah kita terhadap infrastruktur komunikasi. Tapi semua tidak saling terkoneksi dan menghasilkan biaya mahal untuk komunikasi. Struktur organisasi Pemerintah seringkali menjadi dinding tebal yang membatasi ego sektoral instansi yang satu dengan instansi yang lain. Masing-masing ingin dinilai hebat. Beberapa Pemerintah Daerah menghasilkan karya memuaskan melalui efisiensi dan optimalisasi sistem jaringan komputer. VoIP berjalan dengan baik. Bahkan Pemerintah Provinsi Jogja melaporkan bahwa efisiensi dari hasil implementasi VoIP mencapai 60%. Adakah ini menjadi panduan baru Pusat untuk mengeluarkan regulasi interkoneksi Teknologi Informasi Pemerintah bagi komunikasi internal? Belum, barangkali.
5. Keuangan. Dari beberapa kali aturan baru mengenai keuangan pusat dan daerah, hingga saat ini belum ada satu pun yang melakukan pendekatan berbasis Teknologi Informasi. Setiap aturan yang diterbitkan selalu berbasis konvensional. Teknologi Informasi hanya sekedar pelengkap. Bahkan untuk menyesuaikan gaji pegawai pun, lagi-lagi hardcopy dengan cap basah harus diajukan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyesuaian. Sebenarnya aplikasi sudah mampu memberikan rekomendasi dan penjagaan, namun tetap saja Teknologi Informasi menjadi komputerisasi proses konvensional.
6. One Stop Service (OSS). Sebuah tren baru layanan publik. Teknologi Informasi menjadi salah satu solusi dalam operasionalisasi OSS. Harapannya, Pemerintah Daerah mampu memberikan layanan dengan lebih baik. Lagi-lagi, pada banyak daerah implementasi Teknologi Informasi lebih banyak hanya mengkomputerisasi proses konvensional. Pemotongan birokrasi dan pengembangan jaringan komputer lintas instansi untuk mempercepat proses birokrasi kurang dioptimalkan. Hasilnya, pada beberapa Pemerintah Daerah implementasi OSS justru dianggap memperpanjang birokrasi. Bagaimana tidak, bila biasanya masyarakat bisa langsung datang ke instansi dimaksud dan langsung dilayani, sekarang harus ke OSS yang tentu saja memperpanjang proses.
7. Belanja komputer. Bahkan belanja komputer pun bisa jadi bukan menghasilkan efisiensi dan efektifitas, sebaliknya menjadikan pembayaran listrik makin mahal. Tidak signifikan dengan manfaat yang dihasilkan. Pemerintah tidak terlalu ketat mengawasi belanja komputer yang disesuaikan beban kerja suatu instansi.
8. Internet. Hampir semua instansi Pemerintah pusat maupun daerah sudah menggunakan internet bagi operasional pemerintahan. Namun, berapa banyak internet tersebut digunakan untuk bekerja dan proses pembelajaran? Internet juga belum menghasilkan produktifitas yang signifikan. Regulasi yang mengatur belanja internet instansi Pemerintah pun belum lahir hingga kini. Berbeda dengan e-Procurement yang Pemerintah tidak berani berimprovisasi dengan ketiadaan regulasi e-Procurement, belanja internet Pemerintah merdeka dari segala kekhawatiran.

Inkonsistensi
Pengembangan Teknologi Informasi pemerintah khususnya e-government memang terkesan setengah-setengah, khususnya dari sisi dukungan aturan. Apakah mungkin ini disebabkan isue gaptek yang menanungi banyak pejabat negara atau karena project oriented yang cuma ingin proyeknya, nggak peduli berhasil or gagal. Yang jelas banyak Teknologi Informasi tergelar di jajaran pemerintah negeri ini, namun masih miskin fungsi.
Yang jelas e-government masih terkesan eksklusif untuk kalangan tertentu saja. Teknologi Informasi dan e-government belum “dimiliki” oleh kalangan pejabat strategis pemerintahan, baik pusat dan (apalagi) daerah. Semestinya Teknologi Informasi dan e-government menjadi bagian dari tugas pokok dan fungsi dari semua level Pemerintah. Bukan sekedar berisi pekerjaan dasar saja.
Loyalitas pejabat pemerintahan terhadap aturan lebih tinggi daripada loyalitas terhadap komitmen melayani masyarakat dan menjalankan roda pemerintahan secara lebih efektif dan efisien. Repotnya, e-government mustahil optimal tanpa regulasi yang bersahabat terhadap Teknologi Informasi.
Budaya memasukkan kewajiban suatu instansi untuk melayani instansi lain belum lahir pada sebagian besar Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOT) Pemerintahan. Lihat saja, setiap tugas pokok dan fungsi suatu instansi selalu mengurusi “urusan sendiri”, belum membudaya adanya tugas pokok dan fungsi yang mewajibkan suatu instansi mendukung pekerjaan instansi lain.
Kurang optimalnya belanja Teknologi Informasi dan implementasi e-government merupakan kesalahan kolektif Pemerintah sendiri. Kurang kompak. Kelihatannya Pemerintah perlu bergerak lebih cepat menerbitkan berbagai regulasi nasional maupun daerah yang mendukung kemampuan Teknologi Informasi bagi kepentingan pemerintahan itu sendiri. Sehingga paradoks produktifitas bisa diminimalisir.

DImuat di Majalah Biskom edisi Oktober 2007

28 September 2007

Semestinya Government kita sudah Online

Ya. Ditengah perjuangan banyak pihak untuk bisa mewujudkan Indonesia yang maju melalui Teknologi Informasi, pengembangan e-government di Indonesia tidak mampu memberikan manfaat optimal. Besarnya dana yang telah dikeluarkan dimubazirkan dengan keengganan melakukan koordinasi lintas sektoral. Akibatnya hanya sebagian kecil komunitas yang bisa merasakan dari sebuah produk yang semestinya bisa dirasakan banyak kalangan. Indonesia online bagi kalangan pemerintahan sebenarnya sudah terwujud sejak 2006 yang lalu. Tapi itu tidak dijadikan momentum kerjasama lintas departemen dan lintas Pemerintah Daerah.

Gebyah Uyah

Kebijakan nasional bidang e-government mentargetkan Indonesia online pada 2015. Berbagai aktifitas partial pun telah dilaksanakan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Namun ketiadaan acuan yang jelas yang dapat dijadikan pedoman dan ditaati oleh berbagai kalangan Pemerintahan belum tersedia. Akibatnya terjadi improvisasi pada berbagai sektor dengan mengangkat isue digital divide.

Pada strata departemen, beberapa program kebijakan nasional telah digulirkan ke daerah. Dengan sedikit melupakan berbagai latarbelakang terbitnya suatu proyek Teknologi Informasi nasional, sistem jaringan komputer berbiaya fantastis tersebut dilakukan tanpa pertimbangan dan survey mendalam, sehingga hasilnya pun kurang optimal. Bahkan pada beberapa sektor menyebabkan duplikasi yang semestinya tidak terjadi pada pemerintahan miskin yang bernama Indonesia ini. Saat ini tidak sedikit Pemerintah Daerah yang memiliki akses internet dan jaringan Wide Area Network, bahkan berskala enterprise. Jauh lebih hebat daripada subsidi pusat. Kebijakan “gebyah uyah” (pukul rata) sudah bukan jamannya lagi.

Tabel berikut menjelaskan beberapa kebijakan nasional bidang Teknologi Informasi yang terkesan kurang koordinas dan miskin content sampai dengan tahun 2007.

NO

NAMA PROYEK

TAHUN

PENGEMBANG

MUATAN

1

Siskomdagri (Sistem Komputerisasi Dalam Negeri)

1997 - 1999

Depdagri

· VSAT

· Komunikasi suara antar Sekda, Bupati dan Santel seluruh Indonesia

2

Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional)

2006-2007

Depdiknas

· Jaringan kabel Telkom

· Koneksi internet 512 Kbps bagi SLTA

3

INHERN

2006 - 2007

Depdiknas

· Jaringan kabel Telkom

· Koneksi internet 512 Kbps bagi Perguruan Tinggi

4

Jarkompusda (Jaringan Komputer Pusat – Daerah)

2006

Depdagri

· VSAT

· Komunikasi teleconference beberapa Pemda dengan 512 Kbps intranet

Siskomdagri mengalami kegagalan karena user merasa kurang memiliki kepentingan terhadap keberadaan alat komunikasi suara tersebut. Bahkan belum tentu sebulan sekali perangkat tersebut digunakan. Seorang Sekda menyatakan bahwa tidak banyak kepentingan berkomunikasi dengan Sekda lain. Sementara untuk komunikasi Sekda dengan Bupati pada suatu Pemerintah Daerah sudah diakomodir dengan teknologi PABX yang ada. Lebih efisien dan efektif.

Kebijakan Siskomdagri digantikan dengan Jarkompusda pada 2006 melalui subsidi VSAT dan fasilitas teleconference. Alasan utama munculnya proyek ini adalah untuk memantau secara real time berbagai kondisi darurat, seperti bencana pada daerah terpencil. Namun kenyataannya, belum tentu perangkat ini digunakan Pemerintah Daerah setengah tahun sekali. Selain fasilitas teleconference, teknologi ini tidak menawarkan fasilitas lainnya.

Jarkompusda dan Inhern merupakan kebijakan pemberian fasilitas internet bagi dunia pendidikan melalui dinas pendidikan pada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. Pada Inhern, fasilitas jaringan dilengkapi dengan teleconference. Konten pendidikan yang sebenarnya merupakan komponen penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tidak disertakan. Akibatnya setiap sekolah penerima hanya memanfaatkannya bagi akses internet. Dan tentu saja tidak ada yang bisa menjamin “muatan-muatan” yang akan diakses oleh siswa dan guru. Kekayaan informasi positif dan negatif memiliki peluang yang sama untuk mempengaruhi siswa. Adakah interkoneksi sekedar mengenalkan dan memberi fasilitasi internet kepada siswa dan guru?

Pada tahun 2007 ini juga beberapa Departemen sedang menyiapkan proyek jaringan komputer hingga Kab/Kota dan Provinsi. Dan terbukti ketidak-kompakan dalam pemerintahan juga buah “didikan” pusat. Dan Pemerintah Daerah selalu menjadi obyek.

Kolaborasi

Saat ini, sesungguhnya hampir seluruh Pemerintah Daerah sudah saling terhubung. Namun kebijakan sektoral menyebabkan bangsa ini tidak melihat kenyataan dan potensi itu. Seolah-olah kolaborasi untuk saling mengisi adalah sesuatu yang sangat mahal. Bila memang prestasi dan pujian yang diharapkan oleh pencetus proyek, maka prestis tersebut terlalu mahal bagi bangsa ini.

Depkominfo dan jajaran lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah bersusah payah membangun konten aplikasi pemerintahan, baik bagi kepentingan internal maupun pelayanan umum. Dan selama itu juga komunitas ini mendambakan interkoneksi nasional. Dan sayangnya ego kedua pihak, yaitu mereka yang punya potensi dan mereka yang mendambakan potensi, terlalu sayang untuk dikalahkan bagi integrasi aplikasi e-government nasional. Termasuk bagi integrasi komunikasi nasional.

Saat ini bila ketiga potensi interkoneksi yang ada dimanfaatkan secara optimal, misal bagi kepentingan komunikasi suara (VoIP), integrasi aplikasi dan database pemerintahan, bahkan bagi kepentingan event lintas Pemerintah Daerah seperti Pilkada, barangkali rakyat telah membayar wajar bagi belanja Teknologi Informasi.

Pemerintah perlu lebih tegas mengawasi proyek top down sehingga memberi hasil maksimal, bukan sekedar mengikuti tren saja. Alangkah baiknya bila mega proyek interkoneksi pusat bagi daerah dikelola dan diturunkan pada satu pintu. Dengan demikian satu masalah dalam pengembangan e-government, yaitu saling keterhubungan Pemerintah Daerah melalui Teknologi Informasi dapat diatasi dengan lebih bijak.

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...