03 September 2007

Open Source E-Government, Mengapa Takut?

Semenjak Perusahaan Operating System (OS) maupun aplikasi terutama yang tergabung dalam Business Software Aliance (BSA) mulai melakukan razia, tidak hanya kalangan masyarakat umum atau pengusaha besar, menengah maupun kecil saja yang mulai khawatir. Pada kenyataannya kalangan pemerintah pun mulai gerah.

Meski resiko politik selalu ada, mencoba menjadi pioner, Ristek telah berani menyatakan bahwa OS di Ristek telah menggunakan Open Source Software (OSS). Namun demikian di kalangan Pemerintah Daerah, kelihatannya belum banyak terpengaruh dengan kekhawatiran ini. Kebanyakan selalu beralasan, komputer yang menggunakan software bajakan tersebut digunakan untuk pelayanan umum dan belum ada anggaran untuk berbelanja OS propietary.

Baiklah, alasan klise itu barangkali bisa dikesampingkan dengan mengharapkan “pengertian dari BSA dan pihak kepolisian. Lalu bagaimana dengan kebijakan menjadikan e-government sebagai Open Source Software (OSS)? Kelihatannya kebanyakan pihak setuju meng-open source-kan e-government pada dataran lips service, tapi tidak banyak yang mau atau berani dalam strata action. Siapa dan mengapa?

Mengapa Open Source ?

Kiranya sudah banyak dipahami mengapa aplikasi e-government Indonesia selayaknya menjadi OSS. Secara prinsip proyek e-government dibiayai oleh rakyat atau dana hutang yang harus dibayar rakyat, atau dana hibah dari negara lain bagi rakyat yang dikelola oleh pemerintah, karena itu sudah sewajarnya menjadi milik rakyat Indonesia. Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah yang mengembangkan e-government pada dasarnya menggenggam amanah rakyat, meski secara realitas, hingga saat ini kebanyakan produk e-government belum banyak memberi manfaat signifikan bagi rakyat.

Ketergantungan Pemerintah terhadap rekanan/vendor dalam berbagai proyek e-government membuktikan bahwa disamping ketidakmampuan personil pada lembaga Teknologi Informasi pemerintahan dalam mengelola e-government dengan berbagai variasi teknologinya, ketergantungan itu ditenggarai sebagai bagian dari taktik bisnis yang tidak sehat guna mempertahankan penghasilan berkelanjutan bagi vendor dengan mengerjai pemerintah. Sehingga bukan merupakan hal yang mengherankan bila upaya pemberdayaan dan alih teknologi oleh rekanan/vendor kepada pengelola e-government dari kalangan pemerintahan dilakukan sekedar memenuhi kewajiban hukum saja, namun tetap dengan strategi mempertahankan aspek ketergantungan. Transfer knowledge and technology pun tidak jarang dilakukan setengah hati.

Memang tidak sedikit lembaga Teknologi Informasi/e-government di pemerintahan yang menjadi institusi “tempat sampah”, sehingga kualitas personil lembaga yang harusnya profesional secara teknis ini tidak mendapat perhatian serius. Tidak heran bila komitmen untuk menguasai pekerjaannya menjadi relatif rendah dan sulit untuk diharapkan menguasai teknologi dari hasil belanja e-government.

Namun demikian, semestinya penetapan e-government sebagai OSS akan mampu menggalang kekuatan masyarakat untuk berpartisipasi menyempurnakan aplikasi ataupun menyesuaikannya dengan kebijakan pemerintah yang memang sangat sering berubah-ubah. Selama ini hampir keseluruhan lembaga Pemerintah mengeluarkan biaya tambahan bila melakukan penyesuaian aplikasi.

Dari sisi rekanan/vendor pun, kebijakan menjadikan aplikasi e-government sebagai OSS diyakini akan menjadi bagian dari kontrol sosial, dimana masyarakat dan profesional Teknologi Informasi dari berbagai kalangan (termasuk saingan vendor) akan bisa melihat sejauh mana sebuah aplikasi e-government dibangun dan dikembangkan. Dengan demikian dapat diketahui berbagai kemungkinan celah, bug atau kualitas secara keseluruhan dari aplikasi e-government yang telah dibangun tersebut.

Bagaimana aplikasi, bisnis proses maupun berbagai fitur e-government yang dibuka secara luas bagi berbagai kalangan untuk menilai dan turut mengembangkan dapat menjadi tolok ukur kredibilitas rekanan/vendor, dibandingkan dengan biaya pembangunan/pengembangan. Singkatnya, masyarakat bakal tahu kualitas aplikasi e-government dan kemungkinan terjadinya “ketidak-beresan” dalam proyek e-government tersebut. Bisa jadi ketidak beresan bukan sekedar menyangkut masalah penggunaan anggaran saja, namun adanya upaya “menyabot” juga bakal diketahui publik. Dengan demikian, rekanan akan terpacu untuk memberi yang terbaik atau kredibilitasnya jatuh.

Kebijakan aplikasi e-government tertutup selama ini menyebabkan terjadinya duplikasi proyek e-government antar daerah yang sebenarnya tidak perlu terjadi dalam kaitannya dengan eksistensi NKRI. Bisnis proses yang dijalankan pada aplikasi e-government pada dasarnya mengacu pada kebijakan nasional meskipun dalam koridor otonomi daerah, walaupun terdapat variasi-variasi tertentu pada beberapa daerah, namun akan simple tertanggulangi dengan adanya open source.

Kebijakan open source e-government juga memungkinkan tumbuhnya standarisasi minimal e-government yang selama ini tidak kunjung berani ditetapkan Pemerintah Pusat secara nasional dengan alasan tidak ingin mengintervensi otonomi daerah, karena pembangunan aplikasi e-government akan melahirkan “pasar bebas e-government” yang akan menjadi pilihan selektif lembaga pemerintah yang belum mampu memiliki software dengan anggaran sendiri.

Mengapa Takut?

Tidak mengherankan wacana menjadikan proyek e-government sebagai OSS membuat banyak kalangan khawatir akan kehilangan penghasilan. Yang unik, kekhawatiran tersebut ternyata tidak hanya dimiliki oleh kalangan vendor e-government saja. Kalangan birokrat pemerintahan pun menjadi resah bila kebijakan ini diterapkan secara nasional.

Bila dinilai bahwa semua vendor e-government menolak kebijakan open source e-government, pada kenyataannya tidak demikian. Tidak sedikit vendor yang justru memiliki keinginan untuk membuka software e-government yang mereka bangun sebagai bagian dari persaingan kualitas produk secara profesional. Barangkali ini menjadi “seleksi alam” bagi para vendor e-government dan membuka tabir tebal yang menutup rapat berbagai proyek e-government di Indonesia. Bahkan ada rekanan yang berpendapat, “Kalau bukan dari kita, cepat atau lambat Pemerintah akan mendapat source dari vendor lain!”.

Lalu, apakah dengan melakukan open source e-government, maka semua potensi proyek e-government akan tertutup? Tentu saja tidak. Disamping beragamnya kebutuhan aplikasi e-government, proyek e-government bukan sekedar software saja.

Beberapa rekanan menyatakan bahwa mereka baru memperoleh keuntungan signifikan setelah menjual software e-government pada setidaknya lima Pemerintah Daerah. Tentu saja ukuran ini menjadi sangat relatif, karena disamping arti “keuntungan” bersifat sangat relatif, hampir keseluruhan rekanan tersebut tidak berani membuka (baca “jujur”) berapa mereka menjual produk e-government mereka kepada lembaga pemerintah.

Pada kalangan birokrat sendiri, merujuk statement mereka, hampir keseluruhan pimpinan lembaga Teknologi Informasi pemerintahan setuju open source e-government, namun kebanyakan tetap mengembangkan e-government mereka secara tertutup. Tentu saja alasan yang paling gampang digunakan adalah ketiadaan ketentuan hukum yang mengatur kebijakan open source e-government ini, terutama hingga tingkatan daerah. “Bila mudah, mengapa mempersulit diri?” Adakah ini bagian dari strategi mengungguli daerah lain supaya prestasinya lebih terlihat karena kaya akan aplikasi e-government?

Banyak kalangan sudah memahami, ketiadaan standar harga khususnya aplikasi e-government menjadi “lahan basah” pimpro e-government dan rekanan. Tidak menjadi rahasia lagi bila kedipan mata sudah bisa membangun rasa saling pengertian. Yang penting adalah bagaimana cara “mengatur” agar permainan tetap cantik. Meski tidak semua pimpro bertindak demikian, namun oknum pimpro seperti tersebut di atas merupakan pihak yang paling potensial menolak upaya menjadikan e-government sebagai OSS. Tentu saja berbagai alasan “arif” menjadi landasan yang terlihat meyakinkan.

Seiring dengan sedang dibahasnya RUU ITE dan RPP E-Procurement, sudah seharusnya para petinggi pengambil kebijakan nasional mulai mempertimbangkan kebijakan yang jelas-jelas berpihak kepada rakyat ini. Meskipun dilaksanakan secara bertahap, yaitu diawali dengan kebijakan yang mewajibkan rekanan e-government menyerahkan source code kepada lembaga pemerintahan pemilik proyek.

Sangat sering penulis menjumpai sengketa source code ini, khususnya di daerah. Belum adanya ketentuan hukum yang mengatur menyebabkan panitia lelang sering kalah pamor dengan rekanan mengenai kewajiban menyerahkan source code e-government dari rekanan kepada Pemerintah Daerah setempat. Apalagi kalau politisi lokal yang berkuasa ikut bicara. Ada pertanyaan profesional yang selalu dilemparkan, “berapa banyak berani bayar untuk mewajibkan penyerahan source code?”. Pada kenyataannya ada proyek milyardan rupiah yang ternyata source code tetap ditahan rekanan e-government.

Pertanyaan tersebut tentu saja membuat minder Pemerintah Daerah “miskin”, sehingga menjadi lebih tidak berdaya. Namun demikian, sebuah jawaban dari pertanyaan diatas justru dijawab oleh vendor/rekanan e-government yang lain (pada sebuah milis), “Kalau keberatan menyerahkan source code, tidak perlu ikut proyek e-government !”.

Jadi, pada kenyataannya tidak ada satu pihak pun dalam stakeholder lingkaran setan e-government yang bersifat solid. Masing-masing pihak memiliki friksi. Dan hanya kebijakan nasional yang mampu mengatasi. Lalu apa lagi yang ditunggu?

Dengan keberanian Pemerintah secara nasional menetapkan kewajiban open source e-government, diyakini akan menciptakan efisiensi luar biasa pada lingkup nasional. Saat ini, dengan makin getolnya Pemerintah Daerah membangun e-government, maka nominal mencapai Trilyun Rupiah harus dikeluarkan untuk produk yang bisa jadi serupa antar daerah.

Pada kenyataannya otonomi daerah pada sektor e-government juga turut membangun ego otonomi dan sektoral yang menyebabkan kerjasama lintas daerah dalam pengembangan e-government sulit direalisasikan. Bayangkan bila untuk (misalkan) aplikasi keuangan daerah hanya dibangun oleh Depkeu atau satu Pemerintah Daerah saja, lalu Pemerintah Daerah lainnya bisa dengan gratis mengcopy dan memodifikasi software tersebut sesuai kebutuhan di daerahnya, maka ber-Milyard Rupiah akan dihemat setiap tahunnya.

Keberanian Departemen Komunikasi & Informatika menetapkan proyek e-government di internal Departemen Komunikasi & Informatika sebagai Open Source Software atau setidaknya menyerahkan source code, kurang ter-sosialisasikan dengan baik hingga daerah. Semestinya Departemen Komunikasi & Informatika berani mengambil inisiatif me-nasionalkan kebijakan open source e-government guna menepis tudingan e-government sebagai cost center dan menjadi lahan korupsi karena tidak adanya standar harga e-government Indonesia dan acap kali dicurigai menjadi media politisi untuk mengembalikan modal menjadi Kepala Daerah.

Secara politis pun, kebijakan meng-open e-government tidak akan merugikan negara, karena e-government tidak sepenuhnya masuk Operating System, sehingga Pemerintah RI tidak perlu takut dengan tekanan negara superpower yang menjadi backing perusahaan Operating system dunia. Lalu, mengapa takut?

Publish : Biskom September 2006

Nasib Intranet di Pemerintahan

Dalam beberapa aktifitas, pengembangan e-government di Indonesia terjadi loncatan-loncatan aktifitas yang ternyata kurang diimbangi dengan penguatan tahapan sebelumnya. Ambil contoh misalnya : pesatnya pengembangan aplikasi atau sistem informasi e-government sementara masterplan dan blueprint belum ada. Kemudian pembangunan network Teknologi Informasi antar instansi Pemerintah tanpa ada content e-government dan fokus front office (website) dengan kurang memperhatikan back office, baik intranet maupun berbagai aplikasi pemerintahan dasar yang menjadi motor penggerak efisiensi dan efektifitas pelayanan internal (birokrasi) maupun publik.

Idealnya untuk bisa berinteraksi dan bertransaksi dengan publik melalui Teknologi Informasi, Pemerintah harus memiliki kesiapan yang cukup di internal terutama berkaitan dengan mindset pegawai, infrastruktur, prosedur layanan dan protap koordinasi berbasis Teknologi Informasi. Bila pun tidak harus menunggu kesiapan secara total, namun kesiapan internal menjadi kunci sukses front office.

Sejak Departemen Dalam Negeri menginstruksikan Pemerintah Daerah untuk membangun lembaga pengelola Teknologi Informasi atau lebih dikenal Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) pada era 1995-an, istilah intranet sudah dikenal di kalangan pemerintahan. Bahkan pada tahun 2000-an, keberadaan intranet ini menjadi salah satu “gengsi” yang sering dibanggakan antar sesama KPDE. Namun, sejauh mana intranet itu benar-benar dijalankan? Berapa luas cakupan pemanfaatannya?

Sebenarnya meski website internet makin berkembang pesat, tidak sedikit lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah yang masih mempunyai perhatian terhadap implementasi intranet di daerahnya. Namun pada kenyataanya implementasi intranet tidak semulus seperti kelihatannya. Musuh besarnya adalah “kesulitan merubah budaya birokrasi”. Yang lebih menyedihkan, pada kenyataannya kesulitan merubah budaya itu justru berawal dari pimpinan lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah yang “buta” atau tidak melihat manfaat dari intranet bagi lembaga yang dipimpinnya. Bila benar demikian, bagaimana bisa diharapkan bisa berkembang luas di luar lembaga Teknologi Informasi hingga ke pimpinan tertinggi Pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Keseriusan lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah terhadap pengembangan website di internet yang memang lebih menarik dan mampu mengangkat gengsi dalam lingkup yang lebih luas makin membuat intranet makin terlantar. Lalu, bagaimana posisi intranet dalam pemerintahan? Seberapa besar birokrasi memperoleh manfaat dari implementasi intranet?

Tentang Intranet

Dari berbagai definisi intranet, barangkali secara umum intranet dapat dipahami sebagai jaringan komputer private yang menggunakan IP, koneksi jaringan, dan dimungkinkan sistem jaringan telekomunikasi publik sebagai media akses informasi internal dengan sistem pengamanan tertentu antar pegawai. Pada umumnya memiliki konsep yang serupa dengan website pada umumnya. Http dan berbagai fitur internet, seperti FTP dan email juga dapat berfungsi di intanet.

Dalam implementasinya intranet dapat berfungsi sebagai media komunikasi, media interface manajemen dokumentasi berbagai media, hingga menjadi asisten pribadi. Intranet menjembatani komunikasi internal melalui fungsi email lokal, chatting, teleconference, nota dinas, pengumuman hingga iklan internal. Melalui intranet fungsi server data juga dapat diatur, sehingga keamanan data (berbagai format) menjadi relatif dapat dijamin keamanannya, karena hanya user yang bersangkutan yang dapat mengakses data tersebut.

Sebagai asisten pribadi, intranet menyediakan fitur kalender kegiatan yang dapat memberi “alarm” kepada user berbagai appointment yang sudah dijadwalkan. Fungsi komunikasi tertulis pun pada umumnya telah disediakan, sehingga staf bisa memberi telaahan kepada atasan dan sebaliknya atasan dapat memberikan nota dinas kepada bawahannya maupun nota dinas horisontal.

Manfaat bagi Birokrasi

Intranet menjadi salah satu solusi efisiensi yang cukup luar biasa dampaknya. Di era bandwidth mahal saat ini, intranet menjadi media irit yang mampu mengurangi akses internet, karena berbagai kebutuhan organisasi sedapat mungkin disediakan di internal. Dalam birokrasi pemerintahan, kolaborasi antar pegawai-antar pejabat cenderung terjadi internal, sehingga akan lebih bijak bila komunikasi tersebut dibangun melalui intranet, bukan berfoya-foya melalui internet. Disamping isue mahal, penggunaan intranet memungkinkan akses komunikasi berjalan lebih cepat.

Proses surat menyurat pun secara efektif dapat dilakukan melalui intranet, sehingga penggunaan kertas pada teknologi konvensional dapat lebih diirit. Disadari atau tidak penggunaan kertas di kalangan pemerintahan untuk kebutuhan internal memakan biaya yang masih signifikan. Ada yang berujar bahwa dokumen hitam di atas putih adalah yang utama, karena dokumen semacam itu dapat menjadi bukti kongkrit yang belum dapat dijawab oleh payung hukum Teknologi Informasi di Indonesia.

Barangkali memang benar demikian, namun pada dasarnya tidak semua dokumen internal memiliki sensitifitas sejauh itu, sehingga tetap ada hitam di atas putih. Melalui intranet pun berbagai nota dinas, disposisi serta dokumen-dokumen rutin tetap dapat dicetak dengan signature didalamnya. Pada dasarnya, selama disepakati secara kelembagaan, dokumen elektronik yang belum memiliki payung hukum kuat secara nasional, tetap memiliki kekuatan yang barangkali bisa disetarakan sesuai porsi lokal.

Bukan hanya masalah efisiensi penggunaan kertas, kecepatan komunikasi pun terjawab dengan intranet. Bila mengandalkan birokrasi konvensional, maka sebuah lembar disposisi misalnya memerlukan waktu yang relatif kurang cepat karena adanya ketergantungan terhadap personil yang bertugas mendistribusikannya. Di kalangan birokrasi, lembar disposisi pada umumnya dikelola oleh Tata Usaha. Sehingga cepat atau lambatnya sebuah disposisi sampai kepada personil/staf dimaksud tergantung dari kesigapan dan kemauan personil ketata usahaan yang harus mengagendakan secara manual setiap proses alur lembar disposisi. Melalui intranet dengan sistem yang baik, setiap disposisi yang dikeluarkan pimpinan secara otomatis bisa diagendakan secara elektronik, dan dengan kecepatan yang nyaris realtime bisa sampai kepada personil yang dituju.

Intranet juga membantu mengatasi kendala bagi personil yang memiliki mobilitas cukup tinggi, sehingga tidak setiap saat bisa duduk di meja dan membaca setiap lembar disposisi. Melalui intranet yang terkoneksi dengan jaringan publik, staf dalam birokrasi tetap dapat men-cek disposisi maupun berbagai instruksi pimpinan dimana pun dan kapan pun.

Dari sisi monitoring pun keberadaan intranet menjadi sangat membantu, karena intranet juga mampu memonitor tindak lanjut dari disposisi, instruksi maupun pekerjaan rutin yang telah diberikan sebelumnya. Dengan demikian bawahan pun menjadi terpacu untuk menjalankan tanggungjawabnya dengan baik.

Melawan Kearifan Konvensional

Seringkali pembangunan infrastruktur jaringan Teknologi Informasi di pemerintahan diperperdebatkan oleh beberapa kalangan dengan isue pokok, miskinnya content yang memanfaatkan infrastruktur tersebut. Intranet merupakan sebuah jawaban sederhana, murah bahkan softwarenya bisa didapatkan secara gratis (open source). Disamping proses yang sesuai Standard Operasi dan Prosedur birokrasi yang harus dijalankan, salah satu permasalahan pokok dalam birokrasi adalah lemahnya koordinasi. Proses komunikasi dalam koordinasi seringkali dikalahkan oleh birokrasi internal pemerintah sendiri yang tidak jarang berbalut ego dan sok priyayi, sehingga alur yang mestinya sederhana menjadi tidak mudah.

Alasan klasik, bahwa dengan teknologi konvensional hasil juga sama saja, pada dasarnya justru bertentangan dengan maraknya belanja perangkat Teknologi Informasi di setiap kantor bahkan notebook khusus bagi para pejabat yang nyatanya lebih banyak dipakai untuk pengetikan surat-menyurat (mail/email) dan multimedia pasif. Karena itu memaksimalkan fungsi PC bukan sekedar sebagai pengganti mesin ketik, melalui peran komunikasi berbasis Teknologi Informasi bisa menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban moral atas penggunaan uang rakyat.

Pemanfaatan bandwidth internet sekedar memberi fasilitas browsing non pekerjaan terutama pada jam dinas bagi pegawai juga memiliki resiko kecenderungan konsumtif. Karena itu komunikasi internal memang lebih optimal melalui intranet, bukan internet. Dengan membagi kepentingan melalui intranet dan internet, maka beban bandwidth bisa dikurangi dan dananya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan e-government produktif lainnya.

Berbagai aplikasi intranet, mulai dari yang propietary maupun yang Open Source Software (OSS) tersedia cukup banyak dan bervariatif. Untuk Pemerintah Daerah yang memiliki anggaran terbatas juga tidak perlu berkecil hati, karena tetap bisa memanfaatkan software intranet yang cukup powerfull secara gratis dengan memilih mana yang paling dianggap tepat melalui bantuan search engine.

Departemen Komunikasi & Informatika sendiri pernah memanfaatkan hal ini melalui office automation. Aplikasi sejenis lainnya misalnya smart office dan kantaya. Berbagai produk intranet gratis berbasis office automation dapat dengan cukup mudah dikonversi sesuai kepentingan standar kantor pemerintahan di Indonesia.

Dalam kondisi dimana banyak lembaga Pemerintahan yang sudah terlanjur mengembangkan e-government, bukan hal yang tabu intranet kembali menjadi perhatian untuk kembali ditata dan dibudayakan dalam birokrasi pemerintahan.


publish : Biskom Oktober 2006

TI, Core Government?

Banyak pihak menyangsikan bahwa pemerintah kita serius dan mampu mengelola TI secara mandiri bagi penyelenggaraan pemerintahan. Bukti pengembangan TI Pemerintahan yang sudah berlangsung memang sulit dijadikan ukuran dan alasan untuk membela diri. Dari sekian banyak lembaga Negara, baik pusat maupun daerah, tidak banyak, bahkan untuk ukuran sukses yang sebenarnya dapat dibilang sedikit yang mampu memanfaatkan TI secara professional. Sementara soal pendanaan, dapat dibilang tidak sedikit.

Beberapa event nasional yang memanfaatkan TI juga dinilai banyak pihak kurang optimal memberikan hasil, seperti permasalahan TI pada Pemilu 2004 lalu, kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan data keluarga miskinnya, data pengangguran dan kemiskinan yang ramai akhir-akhir ini di banyak media massa, kebijakan kependudukan (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan/SIAK) hingga belum optimalnya pelayanan umum berbasis TI.

Tak heran bila banyak pihak menyatakan ketidak relaan untuk mempercayakan data mereka kepada pemerintah. Bahkan secara ekstrim ada yang memvonis Pemerintah tidak becus dan gagal mengembangkan TI Pemerintah.

Diskusi ini mengembangkan wacana untuk melakukan optimalisasi outsourcing implementasi TI dalam pemerintahan. Outsourcing e-government, bila perlu dari hulu hingga hilir. Yang jadi pertanyaan sekaligus introspeksi selanjutnya adalah : bagaimana posisi TI dalam pemerintahan di Negara kita. Apakah TI merupakan core pemerintah, atau bukan?

Kinerja

Banyak pihak melihat kinerja SDM pemerintahan kurang optimal. Sementara bukti-bukti privatisasi pada beberapa sector, seperti perkereta-apian menunjukkan bahwa swasta yang dipercaya mengelola asset pemerintah tetap Berjaya meski memberikan kontibusi pendapatan Negara yang lebih besar daripada ketika dikelola pemerintah. Kinerja ini juga bisa dilihat dari keunggulan perusahaan nasional swasta dibanding Badan Usaha Milik Negara.

Bisnis proses yang dijalankan swasta pada umumnya relative lebih efisien dan efektif. Swasta juga memiliki kemampuan melakukan akses infrastruktur secara luas. Bahkan swasta memiliki kemampuan financial yang tentu saja sulit dipenuhi banyak lembaga pemerintah bagi pembangunan infrastruktur TI secara enterprise. Dukungan lembaga financial juga relative lebih fleksible. Kondisi ini berbanding terbalik dengan realita pemerintahan yang sarat dengan keterbatasan anggaran, kinerja SDM yang rendah dan berbagai permasalahan kronis lainnya.

Aspek Legal

Banyak kalangan pemerintah yang melihat bahwa bisnis proses yang dijalankan pada internal pemerintahan, dari satu instansi ke instansi yang lain, dari network yang satu ke network yang lain, ke Sistem Informasi yang satu ke system informasi yang lain adalah aktifitas rahasia, private dan menutup habis intervensi apapun dari eksternal non pemerintah. Beberapa bagian dan beberapa bisnis proses memang benar, namun tidak berarti tidak ada celah bagi komponen luar untuk menjadi bagian dari proses tersebut.

Beberapa operasi pemerintah di bidang TI pada beberapa lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah bahkan sudah menjalankan kolaborasi saling menguntungkan. Seperti Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Depdagri yang mempercayakan system jaringan mereka kepada swasta. KPU Pusat dan BPS yang mempercayakan entry data kepada swasta atau dunia pendidikan, dan lain-lain.

Simple saja, banyak daerah masih menjalankan birokrasi by public, seperti pengurusan KTP, dimana pemohon harus membawa dokumen permohonan KTP dari RT, ke RW, ke Kelurahan dan baru diterbitkan KTP di tingkat Kecamatan. Bukankan birokrasi itu menggunakan pemohon sebagai tenaga outsourcing dalam distribusi dokumen?

Kunci sebenarnya adalah pada aspek legal. Semestinya pada level proses peluang untuk outsourcing dapat dijalankan. Namun ketika memasuki proses legalisasi, fungsi tersebut mutlak menjadi peran pemerintah. Pada layanan KTP misalnya. Dari mulai layanan front office di tingkat kecamatan, entry data hingga transmisi database ke server dan verifikasi dapat dijalankan oleh swasta. Ketika permohonan KTP disetujui, maka KTP di cetak dan ditandatangani oleh Camat. Dengan demikian terlihat bahwa secara proses outsourcing bisa jadi lebih efisien dan efektif dan aspek legal tetap terpenuhi.

Kekhawatiran bahwa pola outsourcing ini akan melibas habis peran PNS pengelola data elektronik juga tidak beralasan. Kemampuan personil birokrat untuk mengelola TI secara professional juga tetap diperlukan Namun perannya bukan lagi sebagai operator langsung, namun lebih banyak memposisikan diri sebagai supervisor.

Dalam beberapa aspek data memang terdapat klasifikasi rahasia dan bersifat terbatas, dan memang bukan berarti outsourcing berarti memberikan seluas-luasnya resources pemerintah kepada pihak swasta. Regulasi yang adil dan ketat tetap diperlukan sehingga mampu memaksa swasta menjaga kepercayaan dan profesionalisme. Tidak seperti yang banyak dikhawatirkan dan beberapa terjadi, outsourcer akan ingkar janji dan bekerja semau gue. Perangkat keras operasional juga tidak harus milik swasta. Pemerintah tetap bisa melakukan investasi secara lebih professional. Bukan asal belanja high end technology namun miskin manfaat.

Menilik keterbatasan personil internal pengelola TI pemerintah, nampaknya pemerintah perlu mempertimbangkan opsi ini. Tidak mudah memang, karena tidak sedikit kerjasama pemerintah swasta ini berlangsung tidak sehat karena berbagai hal.

Core Bisnis

Secara prinsip, Negara memiliki tugas pemerintahan umum dan kesejahteraan social. Pelayanan umum menjadi salah satu bagian pemerintahan umum. Melalui TI, pelayanan umum semestinya menjadi lebih optimal. Posisi pemerintah dan birokrat memposisikan diri sebagai operator pelayanan umum, baik dengan teknologi informasi maupun teknologi konvensional. Dengan demikian, pada skala umum (kecuali Ristek, barangkali), pemerintah lebih memposisikan diri sebagai pengguna, atau menempatkan TI sebagai tools.

Meski menempatkan TI sebagai perangkat kerja, penguasaan terhadap TI dan pemaksimalan fungsi TI juga menjadi bagian tugas pemerintah. Namun demikian, belum tentu harus menjadi operator secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir.

Outsourcing bisa jadi tidak murah. Namun bila dengan outsourcing pelayanan umum yang diidam-idamkan public bisa diwujudkan, biaya tersebut akan sebanding. Yang diperlukan public adalah layanan terbaik dan legalitas. Dan pemerintah berkewajiban memberi layanan terbaik. Mengenai cara bagaimana pelayanan umum terbaik bisa diwujudkan, perlu sebuah cara terbaik. Dan outsourcing bisa menjadi salah satu opsi. Dan sebagai pemilik tugas pokok, pemerintah tetap harus semaksimal mungkin menguasai TI sebagai bagian dari urat nadi birokrasi pemerintahan.

Pembentukan Dewan Teknologi Informasi Nasional (DeTIKNas) pada akhir 2006 yang lalu memberikan harapan baru bagi pengembangan Tektonogi Informasi dan

Pengelolaan data kependudukan di Indonesia telah lama menjadi ladang masalah, lahan basah dan tidak pernah tuntas dengan memuaskan. Selalu diindikasikan terjadi “sesuatu” dibalik setiap kebijakan, relative mahal dan daerah lebih banyak menjadi korban kebijakan top down yang tidak menentu ini. Hasilnya, banyak kebijakan nasional yang memerlukan data kependudukan turut bermasalah, mulai dari kebijakan Subsidi Langsung Tunai (SLT), Pendataan pemilih bagi pemilu/pilkada, hingga pendataan nomor selular. Semua menghasilkan masalah baru dan dampak yang cukup luas. Lalu, seperti apa ribat-ribet kebijakan nasional dan local di Indonesia ini?

Kebijakan Nasional

Kebijakan kependudukan di Indonesia boleh jadi dianggap sebagai salah satu sector yang pertama kali mengimplementasikan e-government, bahkan dapat dikatakan senantiasa mengadopsi high end Information Technology. Sejak tahun 1990an implementasi Teknologi Informasi (TI) sudah dijalankan dan mengalami beberapa kali perubahan. Sejak mengadopsi TI, pengelolaan data kependudukan mulai memiliki nama spesifik, seperti KTP computer, Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), Sistem Informasi Kependudukan (SIK) dan akhirnya menjadi Sistem Informasi Administrasi kependudukan (SIAK) yang diluncurkan pada tahun 2003.

Tidak tanggung-tanggung, kebijakan SIAK yang dikeluarkan oleh Depdagri ini diembel-embeli dengan istilah online, meski pada implementasinya system online ini “tidak terlalu laku” oleh banyak Pemda yang memang saat itu masih belum mengenal online murah. Bahkan ada statement pejabat pengelola SIAK di Depdagri yang dengan tegas tidak mentolerir system offline dengan alasan data kependudukan harus diverifikasi nasional realtime. Sampai dengan tahun 2007 ini, kebijakan SIAK ini mengalami beberapa perubahan fundamental. Kebijakan offline mulai ditoleransi dan permasalahan sarana kerja computer dan perlengkapannya dibantu melalui subsidi dari Depdagri. Namun itu bukan berarti menyelesaikan semua masalah, sebaliknya, berpotensi melahirkan masalah-masalah baru.

Kebijakan SIAK baru saat ini dilaksanakan dengan membagikan satu unit server yang dibundle dengan Microsoft Windows Server 2000, Database Oracle dan Beaweb Logic, ditambah 8 unit clients. Aplikasi SIAK diberikan gratis. Sekilas kebijakan ini menuntaskan masalah dana dalam implementasi pengelolaan layanan public sector kependudukan. Kenyataannya masih ada beberapa masalah yang harus dipecahkan daerah, antara lain :

1. Jumlah kecamatan yang lebih dari 8 (dibandingkan dengan subsidi 8 unit PC). Selayaknya ini memang dianggap sebagai stimulant bagi Pemda. Banyak Pemda harus mengadakan perangkat baru bila harus memenuhi standar dasar software yang disyaratkan Depdagri.

2. Penggunaan software proprietary berkualifikasi tinggi yang memang tidak menjadi masalah bila Pemda sudah memiliki system online antara Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan ke Kecamatan, namun menjadi pilihan berat bila Pemda tidak memiliki system online tersebut.

Pilihan

Penetapan penggunaan software proprietary dasar yang relative mahal menjadi masalah besar bagi Pemda yang tidak memiliki system jaringan computer hingga Kecamatan karena untuk implementasi pada level di luar Pemerintah Kabupaten harus menggunakan software yang sekelas dengan level Kabupaten. Pada kondisi seperti ini, Pemda yang tidak memiliki system jaringan ke Kecamatan dihadapkan pada beberapa pilihan, antara lain :

1. Berbelanja software proprietary legal untuk semua Kecamatan;

2. Menggunakan software bajakan;

3. Memusatkan semua layanan kependudukan ke tingkat kabupaten, sehingga Pemda yang sudah terlanjur mendistribusikan layanan kependudukan ke Kecamatan harus menarik kembali ke Kabupaten/Kota dan masyarakat harus rela mengeluarkan dana ekstra untuk bisa mengakses layanan kependudukan yang mereka perlukan

4. Tidak menjalankan atau tidak loyal terhadap kebijakan Depdagri

Open Source Software

Sayangnya Depdagri sama sekali tidak memberi peluang bagi bagi Pemda untuk menggunakan open source software (OSS) dalam penerapan SIAK ini. Penggunaan OSS sebenarnya bisa menjadi alternative kelima yang berpotensi membantu Pemda yang “miskin” untuk tetap loyal menjalankan kebijakan SIAK sesuai aturan yang dijalankan.

Teman dari Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat bahkan membandingkan penggunaan software proprietary dan open source pada kondisi Pemda tanpa jaringan online pada 8 Kecamatan sebagai berikut :

I. Software Proprietary

No

Item

Harga satuan

Jumlah Kec

Jumlah Biaya

A

Software

1

MS Win Server 2000

6,600,000

8

52,800,000

2

Bea Weblogic

30,000,000

8

240,000,000

3

Oracle

21,000,000

8

168,000,000

Jumlah A

460,800,000

B

Hardware

1

Server

47,000,000

8

376,000,000

2

UPS

3,520,000

8

28,160,000

Jumlah B

404,160,000

C

Instalasi

1,000,000

8

8,000,000

Jumlah A+B+C

872,960,000

II. Open Source Software

No

Item

Harga satuan

Jumlah Kec

Jumlah Biaya

1

Software kependudukan

0

8

0

2

Pelatihan

25,000,000

1

25,000,000

3

Instalasi

1,000,000

8

8,000,000

4

Akomodasi

10,000,000

1

10,000,000


Jumlah

43,000,000

Bila dilihat table-tabel di atas, barangkali memang tidak fair membandingkan rincian belanja implementasi SIAK yang mengadakan belanja hardware dengan belanja Open Source untuk kependudukan yang tidak mengadakan hardware. Namun perlu dipahami bahwa standar software yang ditentukan Depdagri memerlukan spesifikasi teknis yang cukup tinggi, yang jelas tidak mungkin dipenuhi oleh computer yang saat ini ada di kecamatan, sehingga memerlukan belanja perangkat keras. Berbeda dengan spesifikasi hardware yang diperlukan oleh Open Source, yang mampu berjalan pada computer sekelas Pentium 3, atau cukup diampu oleh computer eks Pemilu 2004.

Komunitas open source pun telah membuktikan keseriusan mereka membantu pengembangan e-government di Indonesia, yang diawali dengan data kependudukan yang memang menjadi dasar bagi banyak aplikasi pemerintahan lainnya. Komunitas ini telah menyediakan alternative implementasi kebijakan layanan public kependudukan yang dapat diperoleh secara gratis melalui website egov-indonesia.org.

Seiring dengan perkembangan Open Source Software di Indonesia, yang didukung dengan kebijakan nasional Indonesia, Go Open Source (IGOS), selayaknya penggunaan Open Source bagi implementasi e-government di Indonesia mulai serius dijalankan secara konsekuen. Dengan demikian berbagai kecurigaan bahwa e-government di Indonesia mahal karena memang dibuat mahal secara bertahap dapat diperbaiki dan menghasilkan pemerintahan yang efektif meskipun efisien.

Dewan TIK Daerah

Pembentukan Dewan Teknologi Informasi Nasional (DeTIKNas) pada akhir 2006 yang lalu memberikan harapan baru bagi pengembangan Tektonogi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional. Apa yang selama ini terkesan lebih banyak dilakukan secara sporadis khususnya di kalangan Pemda, dengan keberadaan DeTIKNas, aktifitas pengembangan TIK menjadi lebih sinergis dan terpola dengan baik. Meruntuhkan berbagai ego sektoral dan ego otonomi yang dituduh sebagai salah satu sulitnya pengembangan TIK secara komprehensif nasional. Meskipun sebenarnya, bagi banyak Pemerintah Daerah, lembaga sejenis DeTIK ini bukan merupakan hal yang baru. Banyak Pemerintah Daerah yang sudah jauh-jauh tahun telah memiliki Dewan TIK Daerah (DeTIKDa) dengan berbagai nama seperti Team Telematika, Pokja TIK, dan lain-lain.

Meski tidak sepenuhnya memiliki Tugas pokok dan fungsi yang sama persis dengan DeTIKNas, DeTIKDa juga memiliki tugas membantu Kepala Daerah dalam mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Beberapa Pemerintah Daerah menyempitkan fungsi DeTIKDa hanya pada dataran e-government saja.

Sejak era 2000an, DeTIKDa ini sudah dibentuk di beberapa Pemerintah Daerah melalui berbagai variasi dokumen legal, seperti Perda, SK Kepala Daerah hingga sekedar SK Kepala Kantor (Satuan Kerja). Namun demikian lembaga ini kurang bisa berperan optimal. Tentu saja banyak sebabnya.

Meskipun DeTIKDa sudah banyak dimiliki oleh Pemerintah Daerah dengan berbagai nama, pada kenyataannya tidak semua atau bahkan dapat dikatakan hampir keseluruhan lembaga ini kurang berdaya. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain :

1. Kelembagaan. Pada umumnya lembaga ini dipimpin oleh Pimpinan Lembaga TI Pemerintah Daerah dengan menempatkan Bupati sebagai penanggungjawab. Keanggotaan lembaga ini bervariasi antara simple dan kompleks. Mulai dari melibatkan pejabat strategis saja hingga terdiri dari team teknis yang ditunjuk pada semua Satuan kerja. Belum banyak Pemerintah Daerah yang melibatkan unsur masyarakat, seperti dari unsur pendidikan (perguruan tinggi) atau dari komunitas pebisnis sektor TIK.

Keterlibatan seseorang dalam DeTIKDa yang lebih banyak dikarenakan jabatan terbukti menyebabkan lembaga ini kurang optimal. Menempatkan tugas sebagai anggota DeTIKDa hanya sebagai sambilan dengan latarbelakang pengetahuan TIK yang terbatas jelas menjadikan lembaga ini sebagai lembaga tidak efektif, bahkan tidak efisien karena beberapa Pemerintah Daerah memberikan honor.

2. Tupoksi. Tugas Pokok dan Fungsi yang diemban DeTIKDa sangat bervariasi antar Pemerintah Daerah yang disebabkan tidak adanya ketentuan yang jelas di tingkat nasional. Beberapa daerah sudah memposisikan team DeTIKDa sebagai lembaga yang mengatur berbagai kebijakan pengembangan TIK Pemerintah Daerah, bukan hanya internal Pemerintah Daerah saja. Namun demikian dengan tidak melibatkan stakeholder secara luas, target meningkatkan dan mengatur kebijakan ke-TIK-an masyarakat dan Pemerintah menjadi kurang efektif. Apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan berbagai fenomena TIK publik menjadi kurang ter-cover.

3. E-leadership. Kurang optimalnya pengembangan TIK di daerah juga disebabkan oleh lemahnya e-leadership. Belum banyak pimpinan daerah yang menunjukkan kepeduliannya pada pada TIK. Bahkan tidak sedikit yang menilainya sebagai cost center, beban anggaran saja. Dukungan yang minim nin menyebabkan berbagai produk DeTIKDa hanya sebagai dokumen mimpi dan menumpuk sebagai arsip.

4. Kemampuan SDM. Ini merupakan permasalahan mendasar. Sehebat apa pun DeTIKDa dibentuk, tanpa didukung oleh person-person yang benar-benar memahami seluk beluk TIK, hasilnya tidak akan optimal. Keanggotaan DeTIKDa yang melibatkan pejabat struktural tanpa memperhatikan si pejabat mampu atau tidak, tapi karena jabatannya yang bersangkutan harus masuk dalam dewan TIK jelas kurang efektif. Bagaimana mungkin Kepala Daerah meminta rekomendasi TIK dari orang yang tidak paham TIK.

5. Kepedulian Masyarakat. Lembaga DeTIKDa semestinya terdiri dari berbagai komponen ABG (Akademisi, Bisnis dan Government). Namun ketiga komponen utama masih banyak tersekat-sekat, sehingga masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing. Kurangnya sosialisasi lembaga DeTIKDa juga menyebabkan lembaga yang bisa menjembatani kepentingan masyarakat dan Pemerintah dalam pengembangan TIK menjadi kurang efektif.

Kurang berdayanya DeTIKDa menyebabkan peran lembaga TI Pemerintah Daerah menjadi sangat dominan. DeTIKDa lebih sekedar sebagai lembaga legalisasi saja. Produk yang dihasilkan juga kurang melibatkan semua komponen stakeholder. Akibatnya, berbagai rekomendasi yang dihasilkan lebih cenderung mewakili kepentingan lembaga TIK Pemerintah Daerah, kurang mengakomodir kepentingan publik.

Profesional.

Untuk mengoptimalkan DeTIKDa, sebaiknya lembaga ini terdiri dari orang-orang profesional, baik dari kalangan Akademisi, Bisnis maupun Government. Bukan hanya birokrat saja. Personil yang ditunjuk dapat memanfaat perguruan tinggi setempat, sebagaimana dilakukan Pemprov Jogja, Komunitas bisnis TIK dan LSM TIK yang ada di wilayahnya. Dengan demikian lembaga ini bersikap netral dan memandang pengembangan TIK Pemerintah Daerah apa adanya, tanpa dimuati kepentingan pihak-pihak tertentu, tak terkecuali kepentingan Lembaga TIK Pemerintah Daerah. Karena memang muncul kecurigaan bahwa legalitas yang dikeluarkan oleh DeTIKDa digunakan untuk mengajukan berbagai proyek yang belum tentu bermuara bagi kepentingan rakyat.

Bila perlu DeTIKNas melakukan “intervensi” regulasi umum ke lembaga ini guna pertimbangan “kultur” yang bervariasi antar Daerah. Bagaimana pun juga, kenyataan menunjukkan, meski pun terdapat Depkominfo dan Departemeni Dalam Negeri sebagai Bapak TIK, masih banyak Pemerintah Daerah yang belum melengkapi tupoksi lembaga TIK Pemerintah Daerah sebagai regulator dan perpanjangan tangan TIK Nasional, masih banyak berkutat ke pengembangan internal birokrasi. Belum banyak aksi mengembangkan TIK masyarakat. Alhasil, Masyarakat sendiri yang harus bangkit membangun TIK mereka sendiri.

Karena itu keberadaan DeTIKDa yang terdiri dari berbagai kalangan profesional termasuk dari kalangan Masyarakat, akan menjamin hak dan kepentingan masyarakat terwakili dalam setiap kebijakan TIK oleh Kepala Daerah.

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...