03 September 2007

Pemda layak memperoleh Otonomi E-government

Meskipun otonomi daerah sudah diterapkan sekian lama, namun e-government merupakan salah satu sektor yang masih dipegang ekornya. Tidak sepenuhnya dilepaskan, meskipun kenyataan membuktikan tidak sedikit Pemerintah Daerah yang mampu mengembangkan e-government, lebih handal dan lebih mampu memberikan hasil bagi pemerintahan dan pelayanan umum.

Bahkan selama ini terbukti beberapa terobosan lahir dari Pemerintah Daerah, seperti e-procurement Surabaya, pelayanan satu pintu Sragen, jaringan enterprise jogja, administrasi kependudukan Balikpapan dan banyak lagi. Implementasi integrasi database pun berjalan baik di beberapa daerah, seperti Kebumen yang mampu mengintegrasikan database kepegawaian bagi 5 aplikasi, Kota Semarang dan kota Magelang yang mengintegrasikan database kependudukan dan pendidikan, dan sebagainya. Semua hasil kerja mandiri daerah tanpa ada campur tangan pusat. Dengan biaya yang jauh lebih efisien namun efektif. Rule yang diterapkan pun tidak atau belum diatur oleh Pusat. Tapi semua itu berjalan baik dan mendapat dukungan masyarakat penggunanya.

Mari kita bandingkan dengan implementasi Siskomdagri (1995) yang dilanjutkan dengan Jarkompusda (2006), SIM Kesehatan (ICDC) tahun 2002, KTP Nasional yang diganti SI Kependudukan (SIK) dan berubah menjadi SIAK online (2003) bahkan berlanjut mengalami perubahan prinsipil hingga tahun 2007 (SIAK Versi II), Sistem Informasi (SI) Pertanian (2002) dengan GIS Pertanian, SI Strategis (2006) Depdagri, SI pendidikan dengan berbagai aplikasi yang beraneka ragam dibawahnya, dan sebagainya.

Hampir semua itu gagal dan tentu saja Pemda menjadi kambing hitam yang selalu dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab atas gagalnya proyek e-government mercusuar tersebut. Meski orang-orang Pemda barangkali memang punya kontribusi terhadap gagalnya proyek, namun faktor utama kegagalan proyek prestisius orang-orang pusat justru terletak pada kurangnya pemahaman konsep kerja Teknologi Informasi, kultur budaya birokrasi dan kebijakan “gebyah uyah” (menyamakan) potensi Pemda, juga regulasi yang remang-remang.

Pemerintah Daerah lebih banyak disuguhi dengan teknologi dan content yang kaku, yang barangkali belum bahkan tidak dibutuhkan bagi kepentingan daerah. Pemerintah Daerah tidak punya pilihan lain. Keterbatasan anggaran Pemda dan tawaran menarik pusat dalam kemasan pilot project, menjadikan Pemda saling berlomba dan tutup mata terhadap isi kebijakan project pusat tersebut. Apalagi ada iming-iming bantuan finansial bagi operasional project selama kurun waktu beberapa lama.

Dalam beberapa hal ada ketidaktepatan dan inkonsistensi implementasi project top down berbiaya malah ini, antara lain :

1. Ketidaktepatan content. Beberapa aplikasi pusat cenderung tidak konsisten dan tidak mengakomodir database yang sudah susah payah dikoleksi Pemerintah Daerah. Seperti Sistem Informasi Strategis yang berisi database potensi, pendidikan dan kesehatan. Aplikasi ini sama sekali tidak memberi solusi pemanfaatan database yang sudah di-entry melalui profil daerah, SI kependudukan dan SI Pendidikan. Begitu juga SIAK yang tidak mengindahkan kekayaan database kependudukan dari aplikasi yang dimiliki Pemda. Tak heran bila tidak sedikit Pemda yang “mbalelo” (tidak loyal) dan terjadi kekacauan pelayanan kependudukan di banyak daerah.

2. Stimulan anggaran yang diskoordinatif. Beberapa pilot project memberikan bantuan biaya operasional, seperti penyewaan bandwidth internet dan sewa VSAT. Seperti project ICDC Depkes dan Siskomdagri. Namun setelah masa subsidi selesai, selesai pula operasional project. Sewa internet banyak tidak bisa dilanjutkan, sebab disamping mahal karena diarahkan ke ISP tertentu oleh pelaksana proyek juga pada umumnya menyebabkan duplikasi penganggaran sewa bandwidth yang sudah dialokasikan pada lembaga Teknologi Informasi Pemerintah Daerah (PDE).

3. E-government biaya tinggi. Kebijakan pusat yang menentukan spesifikasi tinggi bahkan menunjuk merk produk hardware dan software tertentu (biasanya high end technology) tidak memberi pilihan bagi Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan resources yang sudah ada dan running well dan harus belanja Teknologi Informasi yang dipersyaratkan tanpa kompromi. Seperti kebijakan SIAK versi II misalnya, meski Pemerintah Daerah memperoleh stimulan satu unit server dan beberapa client, namun kebijakan ini hanya ideal pada Pemerintah Daerah yang telah memiliki sistem online setidaknya pada level kecamatan. Untuk Pemerintah Daerah yang tidak memiliki sistem online, harus mengeluarkan biaya besar untuk belanja hardware dan software proprietary. Anehnya justru tidak sedikit project pusat yang mendistribusikan software ilegal.

4. Training operator. Training bagi operator seringkali tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, bagaimana bisa seorang PNS yang sekedar mampu membuat surat mampu mengikuti training GIS dan database yang sudah masuk pada kelas advance? Belum lagi faktor usia dan latarbelakang pendidikan yang nyaris tidak menyentuh Teknologi Informasi. Monitoring pasca training juga kurang diperhatikan, bahkan tidak ada. Training-training TI umum yang dilakukan pusat juga dirasakan banyak Pemda kurang berkualitas dan tidak mendukung pekerjaan. Berbanding terbalik dengan biaya mahal yang harus dikeluarkan.

5. Keengganan bekerjasama dengan lembaga TI Pemda (PDE). Ego sektoral seolah sudah mendarah daging. Pesan sponsor departemen tertentu untuk tidak melibatkan lembaga TI Pemda (PDE) menjadikan ego sektoral terdistribusi ke daerah. Yang lebih parah, pada beberapa sosialisasi project pusat, sang Pejabat tanpa basa-basi meminta dinas terkait di daerah untuk jangan sekali-kali melibatkan PDE, dengan alasan hanya bikin ribet, seperti pada mega project SIAK. Padahal, dari sisi teknis PDE relatif lebih siap menerima transfer knowledge dan penetrasi TI Pemda, setidaknya dibanding dinas-dinas teknis dimana TI bukan menjadi core bisnisnya.

Regulator yang pemain

Keinginan pusat ikut bermain dalam kewenangan internal e-government Pemda menjadikan dinamika pengembangan e-government tidak lagi sesuai harapan. Semestinya pusat berada pada area regulator, dan memberdayakan Pemerintah Daerah untuk mampu mengelola e-government nya secara mandiri. Bukan menjadi pihak yang membuat regulasi dan sekaligus bermain dengan regulasinya sendiri pada skala sangat teknis di Pemda, apalagi membuat katabelece yang mengarahkan Pemerintah Daerah untuk bekerjasama dengan rekanan tertentu untuk project yang dijalankan.

Memang tidak semua Pemerintah Daerah memiliki kemandirian dalam pengembangan e-government, dan tetap perlu ada bimbingan dengan cara fair untuk bisa diberdayakan. Pusat tetap memiliki kewajiban dalam proses pemberdayaan ini. Bagaimana caranya menciptakan daerah yang bisa mandiri, lebih bisa diambil sebagai peluang pusat, baik melalui regulasi, subsidi pendanaan hingga peningkatan kualitas SDM.

Pusat tidak perlu mesti membangun sebuah aplikasi seragam untuk daerah bila yang dituju adalah penggalangan database nasional. Departemen cukup membuat sebuah kebijakan e-government tentang suatu hal, kemudian memerintahkan daerah untuk memenuhi sesuai standar minimal yang ditetapkan, melalui format tertentu yang digunakan pusat (bisa melalui beberapa opsi), melalui mekanisme transmisi (pengiriman) tertentu, dan dalam kurun waktu (timing) tertentu. Masalah bagaimana Pemerintah Daerah akan memenuhi permintaan Departemen, serahkan kepada daerah. Tidak perlu distir lagi bila memang daerah mampu. Tidak perlu menentukan daerah belanja software tertentu untuk mewujudkannya. Kewajiban daerah adalah memenuhi permintaan departemen sesuai rule yang telah ditetapkan. Mengenai bagaimana caranya, itu adalah otonomi Pemda.

Tidak menutup kemungkinan pusat membuat suatu aplikasi tertentu untuk membantu daerah yang kesulitan untuk mengadakan aplikasi dengan berbagai latar belakang, seperti pendanaan. Namun aplikasi tersebut bersifat tidak mengikat dan memungkinkan daerah untuk memodifikasi sesuai kebutuhan dan kultur lokal.

Ketidakmerataan dan kurangnya perhatian pimpinan daerah terhadap e-government salah satunya mungkin disebabkan kurang kompaknya kebijakan pengembangan e-government di level pusat. Bila pusat tidak terlalu campur tangan secara teknis, namun secara kompak mengeluarkan regulasi dan menginstruksikan pimpinan daerah untuk serius mengimplementasikan kebijakan nasional melalui e-government Pemerintah Daerah menurut format tertentu, sangat diyakini kemandirian e-government Pemerintah Daerah akan lebih mudah diwujudkan.

Keterbukaan ilmu TI dan makin melimpahnya SDM lulusan TI dari berbagai perguruan tinggi secara positif memperkaya resources Pemda. Infrastruktur TI pun makin dikuasai dan diimplementasikan Pemda. Keberanian Pemda untuk menyusun aturan TI yang belum diatur Pusat juga sudah ditunjukkan oleh beberapa Pemda. Hasilnya pun diadopsi pusat untuk kebijakan nasional. Dengan demikian, Pemda memang sudah layak menjalankan otonomi e-government. Dan pusat mesti belajar untuk menghargainya. Ke-legowo-an pusat untuk duduk sejajar dengan Pemda dalam pengembangan e-government akan menjadi sesuatu yang indah. Dan itu bukan mustahil.

Publish : Wartaegov September 2007

1 comment:

uwodeyen said...

Mantab's bang, saya pernah mencak-mencak di dirjen adminduk gara-gara SIAK On-Line, waktu itu ketemu langsung dengan Kabid & Pimpronya inisial FX....,

Saya tanya, Bapak pernah ke turun ke daerah-daerah di luar jawa?????? jawabannya BELUM... bah

Bah... macam mana pulak bapak Pimpro ini, bikin proyek tapi ga pernah liat lokasi???.. saya kasi tau Bapak ya, kalo di ibu kota kabupaten saya masih ada kantor Dinas/Badan/Kantor yang belum ada sambungan telepon?????? (saking tertinggalnya :d) bagaimana mau On-Line ????

jawabnya : software SIAK itu nanti akan dibangun 2 versi On-Line & Off-Line pak.

Haiyyyaaaa.... dasar orang Pusat, apa ga pernah liat peta kali ya?
mungkin dalam otaknya kecamatan di daerah2 itu sama kondisinya seperti kecamatan di JAKARTA???? asal Bapak tau aja yah, 1 kecamatan di Kabupaten ku, itu sama luasnya dengan 1 Kota di jakarta, belum ada listrik, belum ada jalan aspal bah.......


capek aku ....

Darurat Birokrasi Indonesia

Syukurlah, akhirnya Presiden SBY menyadari bahwa Birokrasi merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hal tersebut disampaikan pada Sidan...